Menulis adalah talenta
Ketika menginjak remaja, menjadi
seorang penulis adalah sebuah impian. Karena cita-cita, penulis pernah terpilih
menjadi juara ke 3 mengarang tingkat nasional yang diadakan Kantor Pos
Indonesia. Tulisan itu bertemakan ‘menuju abad 20. Begitulah intinya.
Kegemaran ayah yang selalu
membaca ditambah buku-buku yang memenuhi ruang tengah rumah, menumbuhkan kehausan
membaca. Kata ayahku, bahwa karena menulis seseorang dapat mengelilingi dunia
dan sebaliknya karena menjelajah dunia ia dapat menuangkan melalui tulisan.
Ayahku memang hobi melancong.
Seandainya tiada #WFH sejak April
lalu, tak akan tercipta tulisan di blog pribadiku. Itulah titik awal bangkitnya
gairah baru menulis. Work from home melahirkan semangat
baru bagi seseorang yang memiliki bakat terpendam.
Pembedaharaan kata yang minim dan
penguasaan tata Bahasa Indonesia menjadi kendala bagiku. Hal ini disebabkan
penggunaan berbahasa Inggris dan Melayu lebih dominan dalam keluarga.
Walau kemampuan berbahasa yang sekedarnya
dan amburadul itu namun keinginan pandai berbahasa yang baik adalah tetap
keharusan bagi penulis. Tertatih-tatih memang. Apa daya, harus ada usaha. Tentu
saja!
Menulis harus dimengerti pembaca
Kemampuan menuangkan tulisan yang
apik dan dimengerti adalah suatu talenta. Bakat yang disiram terus menerus
menumbuhkan karya terpuji bagi seseorang. Orang-orang demikian memiliki
kemampuan unggulan. Selain keharusan gemar membaca, seorang penulis juga harus menuangkan
dalam kalimat yang seharusnya bertata-bahasa yang rapih. Tidak saja apik
dikemas bahkan harus dapat dimengerti pembaca.
Cara mengukur kepiawaian mengolah
tata kalimat ini dalam tulisan adalah dengan mencoba mengirimkan konten melalui media sosial. Bila
pembaca sepi, no reaction, berarti tak menarik bagi audience. Hal Ini pernah
penulis lakukan melalui blog pribadi yang hasilnya masih minim. Dari waktu ke waktu berlalu tampak tiada perubahan.
Akhirnya dengan mengerahkan segala upaya,
penulis mengirimkan ke WAG Sales Marketing Hotel Indonesia (SMHI), terbaca lebih dari 200 pembaca. Dan artikel itu
menjadi yang ‘terpopuler dengan judul ‘The 10 Golden Rules of Sales
Marketing’ Itulah kesempatan pertama kali mendapat viewer terbanyak
dari blog pribadiku.
Setiap minggu minimum 2 artikel
tayang sebab masih disibukan oleh pekerjaan kantor. Akan tetapi tetap tak
menarik pembaca. Mungkin tata Bahasa yang semrawut, pikirku.
Suatu hari, penulis teringat
Ayahku kerap membuat artikel di koran ‘Kompas. Tanpa pikir panjang kemudian
penulis mencari cara agar artikel ini dapat dibaca kepada khalayak pembaca. Pucuk
di cinta ulam tiba, bertemulah dengan Kompasiana.
Tulisan pertama berjudul
‘Kontak” mendapatkan viewer 86 di
Kompasiana. Lumayan.
Semakin banyak sentuhan klik jari tangan pembaca, semakin meningkatkan gairah menulis. Semakin banyak komentar semakin menunjukan ketertarikan para pembaca. Entah itu komentar baik atau kritik membangun. Yang penulis pahami bahwa Isi konten sangat berpengaruh terhadap mood para pembaca.
Sebagai pemula, penulis sungguh sama
sekali kurang memahami tata Bahasa Indonesia. Satu hal bagi penulis mula-mula
sepintas hanya membuat artikel agar dapat dibaca pembaca dan dimengerti melalui
isi tulisan itu. Terpikir sederhana ketika itu.
Proses merangkai kata dan kalimat,
menggunakan pembedaharaan kata sebanyak mungkin adalah kuncinya. Tidak hanya
bertaburan kata-kata namun mengerti penggunaannya. Kata-kata seperti: kendati,
sejatinya, contoh kata sederhana
yang bagi penulis harus membuka kamus online di awal menulis.
Suatu hari penulis membuka blog
sewaktu awal kubuat. Oh no!. Sulit dimengerti dengan tata bahasa yang tak dapat
diterima oleh diri sendiri, penulisnya. Disitulah penulis yakin, dengan
berjalannya waktu telah menunjukan perubahan
dalam kemampuan mengolah tata Bahasa. Betapa cepat perubahan itu terjadi. Tekuni
saja.
Gaya
Bahasa seseorang amat berpengaruh terhadap tata Bahasa dalam penulisan.
Membaca dahulu, menulis kemudian
Makananku buku-buku setiap hari,
membaca online dan offline. Yang buruk kusingkirkan. Berhari-hari,
berbulan-bulan sejak April 2020 guna menghasilkan tulisan yang menarik.
Sama halnya dengan seseorang
musisi yang menciptakan irama musik agar menjadi ciri khas-nya. Begitupun gaya
seorang penulis akan terlihat kaku bila menjiplak gaya penulis lain. Terutama slang yang melekat pada setiap blogger.
Disadari atau tidak, seringnya
membaca ulasan yang menggunakan tata bahasa yang tidak baik dan benar akan
menularkan kepada pembaca. Lambat laun akan mempengaruhi gaya dan tata bahasa
yang buruk terhadap tulisan kita.
Menulis adalah seni mengolah kata dan kalimat
Bahasa yang amburadul tata
bahasanya terkadang membuat pembaca mengerti juga, namun terasa tidak bernyawa. Bahkan dengan gaya dialogpun
masih dapat dimengerti. Cara kita menggunakan bahasa menunjukan kadar intelektual
seseorang. Dari pembedaharaan kata-katalah seseorang diketahui bernilai atau
tidak. Ini pendapat saja. The limits of my language means the limits
of my world.
Seorang penulis yang menyuguhkan
konten dengan Bahasa Indonesia sederhana justru akan mudah dicerna, lebih disukai daripada panjang dan
berputar-putar.
"Tim kecil yang kompak" menarik 150 reader dalam satu hari. (courtesy Linkedin)
Menulis menunjukkan bakat dan
talenta seseorang. Memaksakan keahlian ini pada seseorang yang tak memiliki
antusias merupakan paksaan dan tak akan berhasil maksimal. Terkadang faktor mood harus tetap prima sehingga menghasilkan
tulisan yang ‘memiliki aura.
Perubahan faktor bahasa gaul dan
perbedaan jaman menjadi penyebab
munculnya sengkarut bahasa ngeblog. Jaman now membuat kaum milenial ingin bergerak
instant. Terkadang dilakukan secara nyeleneh, sehingga penulisan Bahasa gaul
mempengaruhi Bahasa formal. Ah!
Para senior Kompasianer sering
mendapat tempat dalam headline dan artikel utama atau terpopuler. Artikel semacam
itu adalah kesempatan memberikan contoh penggunaan tata bahasa yang baik.
Melalui tata Bahasa yang baik, pembaca akan mengerti maksud dan isi konten
tulisan dengan benar.
Bahasa adalah dinamis seiring perubahan jaman
Setidaknya bahasa ngeblog yang
semrawut akan ditinggalkan pembacanya karena monoton dan tak ‘menggigit. Tata
Bahasa memang harus terangkai baik sehingga mudah dimengerti para pembaca.
Sejatinya seorang blogger memang harus memiliki kemampuan menuangkan tata bahasa
yang baik dan benar kedalam konten sesuai kaidah berbahasa Indonesia. Harus
diasah terus menerus serta memiliki pembendaharaan kata sebanyak-banyaknya.
Berbahasa satu, Bahasa Indonesia.
Selamanya memang harus berbahasa Indonesia. Kemanapun dan dimanapun tetap
berbahasa Indonesia. Petualangan penulis ke luar pulau betahun-tahun
menggantungkan pada modal bahasa dalam bergaul.
Hal sengkarut dalam berbahasa di
blog? Santuy saja. Lambat laun kita pasti berubah seperti para senior K yang
telah berpengalaman. Tulisan mereka banyak yang menjadi tulisan favorit. Baik
tata Bahasa maupun isi konten. Kenali gaya menulis mereka satu persatu
menjadikan suasana menjadi semarak.
Cara yang rapih adalah dengan
memasukan tulisan mereka kedalam laman ‘favorit. Baca berulang-ulang. Selain
belajar tata bahasa juga memahami secara cepat maksud konten.
Platform blog yang memunculkan bakat terpendam
Menginjak bulan ke-7 dalam
pencarian bakat terpendam ini, penulis menemukan Kompasiana sebagai wadah para penulis yang tepat bagi
seluruh kalangan, mulai dari pemula hingga penulis senior di seluruh jagat
raya.
Para senior menuntun pemula,
memberikan dukungan semangat kepada sesama penulis. Sebaliknya penulis pemula harus
giat belajar untuk meningkatkan kualitas tulisan sehingga menghasilkan irama
dan gaya yang merdu.
Biarlah kami belajar. Ada
ubi ada talas, Ada budi, ada balas.
Kompasiana telah menjadi wadah kreasi
menulis bagi mereka yang tak ingin biasa-biasa saja. Trims K.
A different style of language is
a different vision of art.
(courtesy Kompasiana)
Comments