Ada kisah tak terlupa tentang
satpam si urang Sunda. Rasanya baru kemarin terjadi.
Usai rapat dengan klien di Artha
Graha SCBD pukul 16:00, bulan Juli tahun 2014, saya menunggu taksi. Ruas
jalanan macet total. Antrian taksi mengular termasuk taksi di sebrang gedung, Pacific
Palace.
Taksi kosong tak kunjung datang.
Tentu saja, sebab mereka akan dihadang kemacetan di sana sini.
Dua jam sudah, tanda-tanda
mendapat tumpangan, zonk. Sudah 3 jam menunggu.
Pukul 20:00 saya menyusuri jalan
ke arah Rasuna Said. Hanya itu yang dapat dilakukan ketimbang berdiri
berjam-jam tanpa hasil. Saya tak sendirian. Banyak juga pejalan kaki menuju
jalan itu.
Sambil berdoa, membayangkan sudah
dalam taksi, saya menyusuri jalan.
Kakiku lecet. Sudah pegal karena
lama berdiri, sekarang lecet pula.
Melihat jalanku pincang dari
kejauhan, seorang satpam di salah satu kantor jalan itu, langsung berdiri. Saya
ge-er.
Benar saja. Saya terkejut, ia
menarik kursi plastik yang hanya satu-satunya itu, untukku.
“Tak apa Non, duduk aja di situ,”
katanya. Terdengar suara Pak Satpam berlogat Sunda.
Pak Aep, satpam yang baik hati.
Ia langsung mencarikan taksi untukku. Sambil tengok kanan kiri jalanan, ia
sibuk dengan handphonenya. Hampir 30 menit lamanya menunggu, tetiba taksi
muncul.
“Pak, hartunuhun,” saya tersenyum
senang.
Ketika ku beri uang tip, dia
menolak. “Teu kedah Non,” katanya. Artinya gak usah.
Waktu menunjukkan hampir pukul
21:00, saya tiba di rumah.
Saat sales call, peristiwa ini
amat menyedihkan. Kini? Saya asyik mengenangnya. Dan aku bersyukur, ini terjadi.
Segala sesuatu tak gampang diraih
dan sukses hanya dapat dicapai bagi mereka yang sabar dan tahan banting.
Salam hospitality
Comments