“Tadi saya cek di aplikasi
harganya beda, lebih murah kok”, begitu komentar walk-in guest.
Walk-in guest, artinya
tamu check-in langsung ke hotel tanpa melakukan pemesanan kamar terlebih
dahulu. Tamu ujug-ujug datang.
“Go show aja yuk!”. Artinya
ajakan untuk datang langsung. Namun jarang disebut go show guest.
Saat Reita walk-in, kok harga
kamar lebih mahal dari Online Travel Agent (OTA)? Padahal tadi pagi harga di online cukup murah.
Traveloka, Tiket.com, Agoda, Booking.com,
dan teman-temannya itu dari market online. Disebut online travel agent karena memang sebagai
agen hotel.
Reita tak nyaman juga di depan
kaunter resepsionis, bertanya, kadang debat ringan perihal harga. Tamu yang
antri bisa saling bisik, “Yah, gitu aja jadi masalah”.
Ketika saya check-in di salah
satu hotel berbintang 4 di Batam. Saya minta harga lebih murah dari OTA, kok
dijawab, “Maaf Bu, gak tembus harganya”.
Apa arti ‘gak tembus? Saya
menebak, ya kalau mau booking via OTA, silahkan saja, tapi tak bisa dipakai walk-in.
Weleh.
Paham harga agar gak kecele
Dalam marketing hotel kita
mengenal rate structure atau rate grid. Harga-harga disusun
sedemikian rapi sehingga tidak saling bertabrakan antar market segmentation.
Harga yang berlaku untuk market segmen offline, diantaranya:
· Harga umum, publish rate atau rack rate. Diterapkan jika hotel dalam kondisi high season atau peak season. (New Year, Event International)
· Harga korporat (Corporate Rate) setelah tim penjual blusukan atau bagi perusahaan yang tak diragukan lagi reputasinya.
· Harga walk-in.
Banyak segmen lainnya seperti
airlines, pemerintahan, namun itu diluar bahasan.
Mempelajari susunan harga kamar, mari
kita perhatikan contoh harga kamar hotel berbintang 4 berikut:
Harga kamar umum: IDR 1.200.000
Net/kamar/malam
Harga OTA: IDR 991.200 Net (Harga
korporat ditambah komisi 18% - 22%)
Harga walk-in: IDR 891.000 Net
(Harga OTA dikurangi sekitar IDR 50.000 - IDR 100.000).
Harga korporat: IDR 840.000 Net (Harga
kamar umum diskon 30% - 35%).
Format susunan harga di atas,
bagian dari pricing strategic. Strategi harga-harga yang diterapkan.
Bagi hotel, rate structure
bersifat rahasia.
Analisa tren market online
Sebagai penjual, bukankah kita
ingin banyak pelanggan? Semakin mengenal, semakin mulus ketika mereka check-in.
Hanya 4 menit, langsung masuk kamar.
Mengamati trend market online, harga
kamar selalu dinamis mengikuti pasar. Harga pada pagi dan siang hari bisa berbeda.
Pagi hari, harga-harga lebih menggiurkan.
Belum lagi tawaran paket flash deal di tengah malam, akan penuh kejutan.
Analisa sederhana terkait tren
market online:
Pertama, jika harga kamar statis,
tak bergerak, dipastikan kamar-kamar tak banyak terjual.
Kedua, absennya staf
e-commerce pun penyebab harga statis di layar. Harga-harga jadi mandek, sepi
pengunjung, takada pergerakan.
Ketiga, tak sedikit manajemen
hotel memasang harga tinggi di OTA dengan alasan prestise. Hal ini biasanya
terjadi pada hotel-hotel yang menjaga gengsi terutama di tengah hotel pesaing (positioning).
Keempat, harga tinggi pada
periode tertentu, disebabkan kamar hotel sudah penuh.
Kelima, jika kamar ‘not
available, coba saja ujug-ujug datang ke hotel. Biasanya tersedia namun harga
dipasang lebih tinggi.
Sebaliknya, jika perubahan harga
kamar pada pagi hari, siang, malam semakin atraktif, artinya kamar banyak
peminat alias laris manis.
Nah yang dimaksud Reita, memohon harga
kamar setidaknya sama dengan harga OTA, sebenarnya hotel diuntungkan. Bahkan
harga diskon menjadi daya tarik menarik returning guests.
Diskon IDR 50 ribu hingga IDR 100
ribu dari harga online, nilai yang tidak besar dan dapat diterima. Anggap saja
sebagai pengganti komisi pada agen.
Jika tamu masih enggan menerima
tawaran resepsionis, mintalah harga paket untuk tamu yang kepepet, bisa menjadi
penghibur di kala kocek pas-pasan.
“Dek, ada harga paket gak untuk
hari ini?”, tanya Pak Geri.
“O, baik Pak. Saya cek dulu ya”.
Semenit kemudian.
“Pak, untuk hari ini kami beri
harga khusus ya. IDR 800 ribu saja termasuk makan pagi”. Ini lebih baik daripada tamu kabur.
Tamu walk-in senang memandang manajemen
lebih perhatian. Apalagi GRO (Guest Relation Officer) menyambut sembari senyum
membawa welcome drink. hmm
Sayangnya terkadang resepsionis kurang
cermat dan peka terhadap permintaan tamu. Tamu walk-in manteng, kamar ditawar
50 ribu, masih geleng kepala.
Rate structure bisa jadi
berantakan jika front liner tidak mengerti atau penjelasan yang blur kepada
tamu.
Sama halnya dengan tamu yang
loyal kok dipatok harga lebih tinggi daripada tamu yang hanya sesekali check-in?
Tamu walk-in kok harganya lebih
mahal dari online? Jelas-jelas rupiah di depan mata.
Harga yang dinamis akan
menaikkan rating dan popularitas hotel.
Tim marketing, reservasi, front
liner yang paham, akan menerapkan harga-harga kamar sesuai segmen, pun sebaiknya
lebih fleksibel. Harga BAR (best available rate) dapat menjadi alternatif.
Hindari kesimpangsiuran harga
antar segmen. Bagaimanapun pasar OTA lebih luas dalam membantu hotel mengejar tingkat
hunian.
Tak mau kalah bersaing, promosi
OTA pun amat gencar. Banyak pelanggan yang difasilitasi paylater, diskon besar-besaran
dari kartu kredit.
Ya, untuk apa bayar tunai jika
harga beti alias beda tipis. Toh Traveloka, Tiket.com, Agoda, Booking.com, dan
lainnya menawarkan harga promo yang menarik pula bagi member setianya.
Demikian harga antar segmen tidak
saling bertubrukan. Marketing memerlukan bantuan OTA, tamu walk-in pun ingin
mendapat harga pantas.
Salam hospitality
*Artikel ini pertama kali ditayangkan di Kompasiana
Comments