Sekitar 15 tahun silam, saya bertemu
teman semasa SMP di lift hotel. Rencanaku hendak check-out setelah menginap semalam
di Hotel Bunga.
Hotel Bunga bukan nama asli.
Lokasinya di Jakarta Utara, kelas hotel budget.
Peranku sebagai mistery guest
sebelum direkrut. Tujuannya mengenal lebih detail tentang produk hotel yang
akan dipasarkan.
Namanya mistery guest,
tentu saja tak seorang pun tahu tujuanku menginap kecuali general manager Hotel
Bunga, Pak Indra.
Saya check-in, makan siang di
restoran, pesan makan dari Room Service. Ke spa, night club, layaknya tamu
biasa. Esoknya, makan pagi sebelum check-out.
Kemudian membuat laporan tentang kualitas
produk, kualitas pelayanan outlet serta pelayanan staf.
Laporan ini akan menjadi penentu apakah
saya lulus direkrut atau ditolak. Apakah saya bisa menjual kamar berikut
fasilitasnya? Berapa harga kamar yang akan dijual?
Manajemen berharap, dari laporan
didapat penilaian untuk meningkatkan tingkat hunian hotel. Laporan akan berbentuk
action plan.
“Kamu kok ada di sini?”, tanya Ben,
sedikit kaget.
“Hi Ben, apa kabar?”, kubalik
tanya, sok akrab.
Ternyata Ben, direktur operasional
Hotel Bunga. Tugasnya mengatur sistem manajemen hospitality. Artinya jabatan
Ben, di atas GM.
Hotel Bunga bertetangga dengan
hotelku, Sheraton Media Hotel & Towers. Konon hotel ini tak beroprasi lagi
sejak pandemi.
Sistem bajak membajak staf,
terjadi pada zaman itu. Impianku pindah hotel, siapa tahu karir lebih moncer.
Akhirnya tergiurlah bujukan Indra.
Saya ikuti tahap demi tahap proses perekrutan.
Aturan yang kebablasan
Di sebelah kiri dan kanan Hotel
Bunga, padat rumah penduduk. Meski bangunan hotel cukup jauh dari tembok
gedung.
Menurutku, konsep hotel ini agak nyeleneh.
Hotel lebih menonjolkan bangunan night club ketimbang kamar. Dalam hati kubertanya, siapa
konsultannya ya?
Ragam konsep hotel misalnya hotel
yang menonjolkan art, seni, unik, jadul. Ada pula konsep minimalis, butik, mewah,
atau konsep mengusung sejarah.
Indra menemani saya berkeliling
dari satu kamar ke kamar lain. Room inspeksi dimulai.
Di mini bar tersedia air mineral,
minuman soda dan snacks. Ada botol-botol ukuran mini minuman beralkohol. Tak
jauh dari mini bar, di bawah lampu tidur, terdapat kondom.
Saya mendekat agar lebih yakin.
Kaget tapi tetap kalem. Mungkin saya yang kuper alias kurang pergaulan?
“Oh itu memang kita siapkan”,
jawab Indra setelah kutanya kenapa ada barang itu di kamar.
Saya bergeming lalu berniat tak
perlu lagi melempar tanya.
Anda pernah membaca tulisan Kesan
Pertama Hospitality Sebuah Hotel Muncul Ketika Check-in, Karya Kompasianer
Syaiful W. Harahap di Hotelier Writers?
Beliau pemenang pertama event
ini. Diceritakan, sang tamu pria tersinggung ditawari kondom saat check-in. Si tamu
mengomel, marah.
Saya mengingat-ingat kejadian
masa lampau. Mengapa heboh di masa itu. Kok barang itu ada dalam kamar?
Yang saya ketahui, sekitar tahun 2000,
kondom diperbolehkan dijual di hotel. Selentingan terkait isu meningkatnya
jumlah pasien HIV yang meningkat dari tahun ke tahun.
Kesalahpahaman mesti dicegah. Gak
terpikir, bagi para istri, wanita peserta meeting, training, akan
mencibir. “lho kok ada itu?”.
Publik heboh. Dalam sekejap, aturan
larangan pun dikeluarkan. Tidak ditawarkan saat check-in, tidak juga disimpan
sebagai fasilitas di kamar.
Kebijakan menaruh kondom hanya
diperbolehkan di drug store hotel, bukan di dalam kamar.
Drug store itu sama dengan toko
kecil untuk publik. Umumnya berada di lobi, agar terlewati setiap pengunjung hotel.
Di hotel-hotel International
chains, local chains level berbintang, takkan pernah didapati barang sejenis ini
di dalam kamar.
Hotel-hotel yang telah lulus sertifikasi,
menyediakan fasilitas sesuai check list. Apakah di dalam kamar tersedia 2 tempat
sampah, 2 handuk, 2 bantal, hairdyer?
Manajemen dilarang menyediakan fasilitas
di luar standar atau di luar ketentuan sesuai level bintang, misalnya kondom.
Apakah Anda masih menemukan hotel
seperti itu? Jika ya, sila Anda menilainya sendiri.
Banyak hal tersingkap yang
semestinya tak diterapkan dalam operasional. Ada saja hotel-hotel bandel yang
merusak citranya sendiri.
Itulah pentingnya mengenal suatu brand
hotel, reputasinya di tengah masyarakat. Sebagai tamu, mari kita cermat, jeli
memilih hotel yang layak dikunjungi.
Etika menjual barang semacam itu perlu
perhatian serius. Jika tidak, hotel bisa hilang pamor.
Setelah menjalani mistery
guest, saya diperlihatkan pula bagaimana Hotel Bunga memasukkan pendapatan dari sumber yang tak lazim. Wah.
Tak panjang lebar, laporan sudah
dikirim. Saya pamit undur diri sebelum direkrut.
Salam hospitality
*Artikel ini pertama kali tayang di Kompasiana
Comments