9 Upaya agar Mal Ramai Pengunjung

 

Foto by google

Sudah lama saya ingin sekali menulis tentang gedung-gedung kokoh yang beterbaran di Jakarta.

Sejak meninggalkan Jakarta tahun 2014, saya tak begitu mengenal dekat lagi bagaimana keriaan disana. Hanya dari berita kuikuti kabar terkini.

Di Jakarta Selatan, gedung perkantoran baru bermunculan, hotel-hotel baru. Tapi mal?

Ya, itulah Jakarta, ladangku dulu. Biasalah, blusukan ke gedung-gedung mentereng itu. Pernah berjuang menapak tilas.

Di Tengah jam blusukan, pasti ke mal. Bukan belanja, apalagi nongkrong tapi pertemuan dengan 2 kolega.

Mal, plaza, disanalah tempat kami kumpul, diskusi, lalu mencatat diskusi mingguan sebagai laporan. Ya. Reporting.

Usai jam blusukan, saya, Okta, Oki, siap dengan rencana kerja minggu berikutnya. Begitulah bekerja home base office alias tak berkantor tapi ngantor di rumah. Sedangkan kantor pusat di GH Universal Hotel Bandung.

Owner bukannya tak mau menyiapkan kantor di Jakarta. Jalan ini lebih efektif, katanya. Pengeluaran tak boros. Bagiku tak masalah. Berkantor di rumah, asyik-asyik aja.

Jika makan siang tiba, itulah waktu yang pas ke mal.

“Jumat ini di FX ya, Rei”, ujar Okta.

“Gimana kalau di Blok M aja?”, timpal Oki.

Jika ada 2 usulan, sayalah penentu keputusan. Biasanya kupilih tempat yang asyik sekaligus nyaman untuk meeting bertiga. Gak perlu reservasi. Go show aja!

Kerap ke mal, kadang jadi sindiran, dibilang sales mall. Padahal jualan juga di situ.

Para pemilik kios, pemilik restoran kadang membuatku senang. Benang ketemu ujung penjahit, sang pramusaji penyambung lidahku. Ia akan memberi kode bila bos siap bertemu.

Beberapa penyewa toko, resto di mal ternyata punya anak perusahaan lain. Akhirnya saling berteman, jaringan pun meluas.

Sales call tak pandang waktu dan tempat. Kalau bisa jualan kecap, ya ngocehlah. Menyebar kartu nama, cara simpel berpromosi.

Jam makan siang waktu yang pas jumpa kawan-kawan seperjuangan dari hotel lain. Ada tim dari Makasar, Menado, Papua, Yogyakarta, Medan.

Sambil menyelam minum air, sekaligus istirahat, jualan promo hotel. Namanya sales hotel tak luput dari urusan jualan.

 

Foto by CL Patterson

 Keramaian mal mengalirkan spirit bekerja

“Rei, ke Semanggi yuk”, ajak Oki.

Oki mengajakku ke Plaza Semanggi. Ini tempat favoritku karena lokasi yang strategis dari gedung perkantoran area Sudirman dan Kuningan. Tersebab jarak dari gedung perkantoran yang tak jauh, plaza ini kerap jadi pilihan utama.

One stop shopping, segala macam keperluan tersedia. Dari peniti, kosmetik, hingga gawai. Dari baju harga discount sale, big sale, obral 200 ribuan hingga jutaan juga ada.

Masih semasa home base office, saya dan ke-2 kolega kerap ke Plaza Semanggi. Tujuan kami meeting disana. Membahas grup-grup confirm, new leads serta rencana minggu berikutnya.

Jam pertemuan pasti usai sales call. Restoran pilihannya, tidak terlalu bising, berpendingin. Minimal 3 jam nongkrong di situ. Sang pramusaji paham kalau kami pesan makan akan dilanjut diskusi serius.

Begitulah kami lakukan setiap minggu. Agar bervariasi tempat meeting berpindah dari satu resto ke resto lain.

Di Plaza Semanggi, jangan berharap dapat taksi di atas  jam 5 sore. Kita mesti antri berjam-jam yang bikin pegal kaki. Mengingatnya, gak terbayang kok bisa kulalui masa-masa itu.

Sekitar pukul 9 malam, biasanya waktu mujur. Pulang telat bukan karena diskusi yang ngaret tapi taksi yang lambat karena kemacetan di seluruh ruas jalan menuju plaza.

Setiap business trip ke Jakarta, saya pasti mampir ke mal ini. Selain hapal letak toko-toko itu, saya menjalin hubungan bisnis dengan pemilik toko yang sebagian besar dari kalangan pengusaha.

Di Plaza Semanggi, semua barang keperluan lumayan lengkap.

Terakhir saya kesana akhir tahun 2018, saat cuti. Saya ingat banget, baju hitam terusan itu kubeli di lantai 2.

Suasana mal masih ramai. Dipenuhi karyawan kantoran saat jam makan siang. Menjelang malam, pengunjung membludak. Seakan mengenang masa-masa sibuk dulu.

Waktu yang aman berbelanja, pas toko buka hingga pukul 11:30. Plaza ini tak pernah lengang kecuali di jam-jam itu.

Coba tengok keramaiannya sekarang. Wah, jauh berbeda. Kini? Kios-kios langgananku tutup. Tempat kuliner sepi. Tak seramai dulu.

Kemana perginya penyewa kios-kios itu?

“Selamat siang Bu Rei. Ini model keluaran baru. Kalau cocok saya kirim segera”.

Itu teks whatsapp dari Bu Emi, pemilik outlet baju di Plaza Semanggi. Nomornya masih kusimpan.

Kapal digulung ombak, tercapai juga tepi pantai. Ia penjual setia. Susah payah bertahan agar dapur terus ngebul.

Karena plaza sepi, ia kini berpindah-pindah tempat. Terakhir ia menggelar jualannya di bazar, disamping gedung Kementrian Pertanian, Jalan Ragunan. Saya pun berkunjung sekalian silaturahmi.

Yah, begitulah Plaza Semanggi menyimpan kenangan. Rasanya tak terpikir jika kini selengang itu. Itulah bisnis.

Siapa yang mau ke mal?

Kini, hampir semua jaringan bisnis dikendalikan pasar online yang masif.

Saking seringnya belanja online, saya pun terhipnotis program pay later. “Wah, ini cara bayar mudah dan praktis!”, bisik hati.

Walau dari bulan ke bulan selalu bertambah jumlahnya, saya enggan menggunakannya.

Belakangan kualitas dari barang-barang yang kubeli pun tak sebagus barang aslinya. Baju kekecilan, sepatu kedodoran, warna tas beda dengan foto.

Akhirnya pembelian kubatasi pada barang-barang yang umum saja daripada hati kecewa.

Belanja ke mal aja yuk? Ah, waktu terasa sempit diburu kerjaan, mobil boros bensin, cari lahan parkir lama. Wah, acara jadi ribet.

Omong-omong, kapan mal ramai lagi?

Sambil menunggu waktu yang tepat ke mal, inilah langkah menghidupkan agar mal kembali ramai, bergairah:

1. Lebih banyak tempat bagi pebisnis kuliner, restoran, food court, untuk memancing pengunjung.

2. Sebagai pembeli, harga-harga di mal, plaza, jangan terlalu tinggi. Patokannya, harga-harga sebanding di pasar online dikurangi ongkir.

3. Memberikan potongan harga bagi pembeli di seluruh outlet, resto, elektronik, dan lainnya.

4.  Bagi pebisnis, tempat sewa toko, restoran diberikan harga khusus untuk satu tahun sewa.

5. Tenan yang menyewa 2, 3, 4 tahun ke atas diberi diskon khusus.

6. Adakan acara meriah di lobi mal misalnya lomba menyanyi anak-anak. Memunculkan energi positif bagi pengunjung mal.

7. Tim marketing mal, plaza memiliki medsos yang gencar. Sampai sekarang saya masih dikirimi hot news dari Cambridge City Square di Medan.

8. Perusahaan Listrik Negara (PLN) memberi diskon khusus bagi para pebisnis

9. Memberi keringanan membayar Pajak Bumi Bangunan (PBB) hingga 2 kali pembayaran.

 Itulah upaya sederhana selama satu tahun pertama sebagai bahan pancingan. Kesampingkan dulu kesan mahal berbelanja di mal.

Malas mendayung, perahu hanyut. Mendongkrak prospek bisnis mal di masa mendatang akan terus merangkak tanpa kemauan dan kesungguhan.

Tanpa menyalahkan pihak manapun, jika pemerintah ogah rugi, akan lambat melangkah. Padahal mal sebesar ini akan menyerap banyak tenaga kerja.

Perputaran bisnisnya bila Pemerintah tak hitung-hitungan niscaya akan menghidupkan kembali mal-mal sepi ini.

Tentu saja masalah kompleks ini mesti ada rembukan berbagai pihak.

Jika kondisi ekonomi pulih, daya beli masyarakat meningkat. Sebaliknya kalau mandek, ke mal mau apa?

 

*Tulisan ini pertama kali tayang di Kompasiana

Comments