Sudah lama saya ingin sekali
menulis tentang gedung-gedung kokoh yang beterbaran di Jakarta.
Sejak meninggalkan Jakarta tahun
2014, saya tak begitu mengenal dekat lagi bagaimana keriaan disana. Hanya dari berita
kuikuti kabar terkini.
Di Jakarta Selatan, gedung
perkantoran baru bermunculan, hotel-hotel baru. Tapi mal?
Ya, itulah Jakarta, ladangku dulu.
Biasalah, blusukan ke gedung-gedung mentereng itu. Pernah berjuang menapak
tilas.
Di Tengah jam blusukan, pasti ke
mal. Bukan belanja, apalagi nongkrong tapi pertemuan dengan 2 kolega.
Mal, plaza, disanalah tempat kami
kumpul, diskusi, lalu mencatat diskusi mingguan sebagai laporan. Ya. Reporting.
Usai jam blusukan, saya, Okta,
Oki, siap dengan rencana kerja minggu berikutnya. Begitulah bekerja home
base office alias tak berkantor tapi ngantor di rumah. Sedangkan kantor
pusat di GH Universal Hotel Bandung.
Owner bukannya tak mau menyiapkan
kantor di Jakarta. Jalan ini lebih efektif, katanya. Pengeluaran tak boros. Bagiku
tak masalah. Berkantor di rumah, asyik-asyik aja.
Jika makan siang tiba, itulah
waktu yang pas ke mal.
“Jumat ini di FX ya, Rei”, ujar
Okta.
“Gimana kalau di Blok M aja?”,
timpal Oki.
Jika ada 2 usulan, sayalah
penentu keputusan. Biasanya kupilih tempat yang asyik sekaligus nyaman untuk meeting
bertiga. Gak perlu reservasi. Go show aja!
Kerap ke mal, kadang jadi sindiran,
dibilang sales mall. Padahal jualan juga di situ.
Para pemilik kios, pemilik restoran
kadang membuatku senang. Benang ketemu ujung penjahit, sang pramusaji penyambung
lidahku. Ia akan memberi kode bila bos siap bertemu.
Beberapa penyewa toko, resto di
mal ternyata punya anak perusahaan lain. Akhirnya saling berteman, jaringan pun
meluas.
Sales call tak pandang waktu dan
tempat. Kalau bisa jualan kecap, ya ngocehlah. Menyebar kartu nama, cara simpel
berpromosi.
Jam makan siang waktu yang pas
jumpa kawan-kawan seperjuangan dari hotel lain. Ada tim dari Makasar, Menado,
Papua, Yogyakarta, Medan.
Sambil menyelam minum air, sekaligus
istirahat, jualan promo hotel. Namanya sales hotel tak luput dari urusan
jualan.
“Rei, ke Semanggi yuk”, ajak Oki.
Oki mengajakku ke Plaza Semanggi.
Ini tempat favoritku karena lokasi yang strategis dari gedung perkantoran area
Sudirman dan Kuningan. Tersebab jarak dari gedung perkantoran yang tak jauh,
plaza ini kerap jadi pilihan utama.
One stop shopping, segala
macam keperluan tersedia. Dari peniti, kosmetik, hingga gawai. Dari baju harga discount
sale, big sale, obral 200 ribuan hingga jutaan juga ada.
Masih semasa home base office, saya dan ke-2 kolega kerap ke Plaza Semanggi. Tujuan kami meeting disana. Membahas grup-grup confirm, new leads serta rencana minggu berikutnya.
Jam pertemuan pasti usai sales
call. Restoran pilihannya, tidak terlalu bising, berpendingin. Minimal 3 jam nongkrong
di situ. Sang pramusaji paham kalau kami pesan makan akan dilanjut diskusi
serius.
Begitulah kami lakukan setiap
minggu. Agar bervariasi tempat meeting berpindah dari satu resto ke resto lain.
Di Plaza Semanggi, jangan berharap
dapat taksi di atas jam 5 sore. Kita
mesti antri berjam-jam yang bikin pegal kaki. Mengingatnya, gak terbayang kok
bisa kulalui masa-masa itu.
Sekitar pukul 9 malam, biasanya waktu
mujur. Pulang telat bukan karena diskusi yang ngaret tapi taksi yang lambat
karena kemacetan di seluruh ruas jalan menuju plaza.
Setiap business trip ke Jakarta,
saya pasti mampir ke mal ini. Selain hapal letak toko-toko itu, saya menjalin
hubungan bisnis dengan pemilik toko yang sebagian besar dari kalangan pengusaha.
Di Plaza Semanggi, semua barang keperluan
lumayan lengkap.
Terakhir saya kesana akhir tahun
2018, saat cuti. Saya ingat banget, baju hitam terusan itu kubeli di lantai 2.
Suasana mal masih ramai. Dipenuhi
karyawan kantoran saat jam makan siang. Menjelang malam, pengunjung membludak. Seakan
mengenang masa-masa sibuk dulu.
Waktu yang aman berbelanja, pas
toko buka hingga pukul 11:30. Plaza ini tak pernah lengang kecuali di jam-jam
itu.
Coba tengok keramaiannya
sekarang. Wah, jauh berbeda. Kini? Kios-kios langgananku tutup. Tempat kuliner
sepi. Tak seramai dulu.
Kemana perginya penyewa kios-kios
itu?
“Selamat siang Bu Rei. Ini model
keluaran baru. Kalau cocok saya kirim segera”.
Itu teks whatsapp dari Bu Emi,
pemilik outlet baju di Plaza Semanggi. Nomornya masih kusimpan.
Kapal digulung ombak, tercapai
juga tepi pantai. Ia penjual setia. Susah payah bertahan agar dapur terus ngebul.
Karena plaza sepi, ia kini
berpindah-pindah tempat. Terakhir ia menggelar jualannya di bazar, disamping
gedung Kementrian Pertanian, Jalan Ragunan. Saya pun berkunjung sekalian
silaturahmi.
Yah, begitulah Plaza Semanggi menyimpan
kenangan. Rasanya tak terpikir jika kini selengang itu. Itulah bisnis.
Siapa yang mau ke mal?
Kini, hampir semua jaringan bisnis
dikendalikan pasar online yang masif.
Saking seringnya belanja online,
saya pun terhipnotis program pay later. “Wah, ini cara bayar mudah dan
praktis!”, bisik hati.
Walau dari bulan ke bulan selalu bertambah
jumlahnya, saya enggan menggunakannya.
Belakangan kualitas dari
barang-barang yang kubeli pun tak sebagus barang aslinya. Baju kekecilan,
sepatu kedodoran, warna tas beda dengan foto.
Akhirnya pembelian kubatasi pada
barang-barang yang umum saja daripada hati kecewa.
Belanja ke mal aja yuk? Ah, waktu
terasa sempit diburu kerjaan, mobil boros bensin, cari lahan parkir lama. Wah, acara
jadi ribet.
Omong-omong, kapan mal ramai
lagi?
Sambil menunggu waktu yang tepat ke mal, inilah langkah menghidupkan agar mal kembali ramai, bergairah:
1. Lebih banyak tempat bagi pebisnis kuliner, restoran, food court, untuk memancing pengunjung.
2. Sebagai pembeli, harga-harga di mal, plaza, jangan terlalu tinggi. Patokannya, harga-harga sebanding di pasar online dikurangi ongkir.
3. Memberikan potongan harga bagi pembeli di seluruh outlet, resto, elektronik, dan lainnya.
4. Bagi pebisnis, tempat sewa toko, restoran diberikan harga khusus untuk satu tahun sewa.
5. Tenan yang menyewa 2, 3, 4 tahun ke atas diberi diskon khusus.
6. Adakan acara meriah di lobi mal misalnya lomba menyanyi anak-anak. Memunculkan energi positif bagi pengunjung mal.
7. Tim marketing mal, plaza memiliki medsos yang gencar. Sampai sekarang saya masih dikirimi hot news dari Cambridge City Square di Medan.
8. Perusahaan Listrik Negara (PLN) memberi diskon khusus bagi para pebisnis
9. Memberi keringanan membayar Pajak Bumi Bangunan (PBB) hingga 2 kali pembayaran.
Malas mendayung, perahu hanyut.
Mendongkrak prospek bisnis mal di masa mendatang akan terus merangkak tanpa kemauan
dan kesungguhan.
Tanpa menyalahkan pihak manapun,
jika pemerintah ogah rugi, akan lambat melangkah. Padahal mal sebesar ini akan
menyerap banyak tenaga kerja.
Perputaran bisnisnya bila
Pemerintah tak hitung-hitungan niscaya akan menghidupkan kembali mal-mal sepi
ini.
Tentu saja masalah kompleks ini
mesti ada rembukan berbagai pihak.
Jika kondisi ekonomi pulih, daya
beli masyarakat meningkat. Sebaliknya kalau mandek, ke mal mau apa?
Comments