Seorang kawan bertanya, “kok ada
hotel lawas, sepi pengunjung, tapi tetap bertahan?”.
Setelah percakapan, barulah saya
mengerti. Pertanyaan yang menantang pebisnis hotel.
Maksudnya, kok hotel masih tetap
eksis padahal sepi tamu. Masih ada pengunjungnya?
Usilnya konten di medol, medsos, mengaitkan
hal-hal mistik. Arsitek tempo dulu menyeramkan, katanya. Padahal di zaman itu, hasil
polesan arsitektur yang wow.
Hotel-hotel lawas, bangunannya memang
out of date alias ketinggalan zaman. Lha ada juga yang didirikan sebelum
saya lahir.
Walau pengunjung masih
berdatangan namun tak mampu bersaing diantara hotel competitors, hotel
pesaing. Sudah beda era.
Halaman sepi, lobi lengang,
koridor kamar tenang mencekam tanpa alunan in-house music. Sesekali
terdengar pintu lift buka, tutup.
Resepsionis molek yang unyu-unyu
kini berkulit keriput di balik receptionist desk. Staf bell boy
yang tampan kini hampir semua telah beruban, meski rambut memutih bukan ukuran
usia.
Terlepas dari untung rugi, bisa
jadi mempertahankan hotel lawas sebagai prestise saja.
Sebuah catatan bagi pebisnis
hotel, jangan menyerah jika hotel tak mampu lagi menggebrak pasar.
“Ujung-ujungnya kan cuan juga Rei.
Ratusan juta hingga 2 milyar lah”, kata ownerku.
Selagi masih ada modal, waktu dan
energi, kenapa tidak? Ketimbang bangunan tak berpenghuni.
Horor? Ini juga yang sering
digadang-gadang media online. Terlalu. Hotel horror, mistis, jadi konten youtuber.
Bisa jadi fantasi semata.
Tak elok konten demikian disebar sebab
tak terbukti. Yang ada mereka menyakiti ratusan karyawan. Tercemar sudah oleh
kabar angin. Meski nama hotel tak disebut, apa daya opini negatif telah
tersebar.
Hotel terpuruk, bangkrut, bukan
candaan. Memang ada dimana-mana tapi gak gembar-gembor. Akhir ceritanya bisa
ditebak, ditutup alias tak beroperasi lagi.
Ada sesuatu yang ingin saya
sampaikan bagi para pebisnis hotel lawas sebelum hotel sekarat. Bahkan sebelum pamor hotel tenggelam.
Jika ingin perubahan total, inilah
pilihannya:
Renovasi hotel
Ada satu hotel berbintang 4 di
Bandung. Hotel terfavorit di zamannya. Populer hingga ke manca negara. Beberapa
kali berganti pemilik, pun operator hotel.
Menjelang usia 8 tahun, hotel
mulai ditinggalkan tamu. Masih ada pengunjung, tapi tak sepenuh tahun-tahun
yang menggemaskan.
“This property is getting
tired, Celestine”, ujar mantan bos, yang telah pulang kampung ke UK.
Tanda-tanda kurang disukai,
umumnya didahului meroketnya daftar komplain.
Produk yang mulai renta, tempat
tidur cekung, tembok dekil, goresan furnitur
dimana-mana, fasilitas tak berfungsi baik. Cemas karena hydrant macet,
smoke detector hanya pajangan. Begitulah.
Manajemen yang sehat karena aliran
cuan yang sehat pula. Pemilik mulai berpikir untuk mengganti fasilitas modern.
Produk lama diganti baru. Seluruh
staf diberi hak membeli barang-barang hotel yang dilelang. Bed cover, sprei,
televisi, hingga lampu meja di kamar.
Lelang hanya untuk
karyawan-karyawati hotel. Harga TV IDR 150k, harga bedcover IDR 100k, semua
murah. Ini sekitar tahun 1996-an.
Di usia sekitar 22 tahun,
sementara saya kutu loncat ke beberapa hotel, dikabarkan media bahwa hotel ini
ditutup guna renovasi. Peminat saja nihil, apalagi tamu.
Sejarah ini diakhiri dengan
menonaktifkan karyawan. Pesangon ratusan juta telah siap digelontorkan.
Pilihannya, hotel tetap bertahan dengan
lemas atau tutup sementara namun melejit pada tahun-tahun berikutnya.
Kini? Coba tengok hotel mentereng
di kota itu. Hotel apa ya? Bukan tebakan, bukan pula candaan. Ya, ini hotel
tempatku berkarir pertama kali.
Rebranding
Hotel Bunga, bukan nama asli, ada
di Medan. Awal dibuka dibawah operator hotel terkenal di Indonesia.
Setelah hotel ini mendulang emas
selama 10 tahun, pemilik merasa perlu mandiri ketimbang dibawah asuhan
manajemen hospitality.
Sebagai pengetahuan, Management
hospitality International chains yang terkenal misalnya Accor Group, SwissBelhotel
International, Marriott International, Hyatt Hotels, dan lain
sebagainya.
Dibawah jaringan Accor Group
ada Fairmont, Raffles, Mercure, Novotel, Ibis, dll.
Management hospitality local
chains misalnya Santika Hotels & Resorts, Hotel Indonesia Group (HIG), Blue
Sky group, Harris Group dan masih banyak lagi.
Jaringa Santika Group memiliki 4
brand yaitu The Royal Collection, Santika Premiere, Hotel Santika dan Amaris.
“Kontrak 10 tahun cukuplah, kita
bisa mengatur sendiri. Terlalu mahal kita bayar fee”, ujar Pak Rudi, owner
Hotel Bunga.
Ya kenapa tidak, jika semua
sistem operasional telah dikuasai, bisa dikelola internal.
Namun segalanya gak langsung cling,
abracadabra. Rebranding, memulai kerja dari nol.
Hal yang mesti dipertimbangkan selama masa peralihan posisi menjadi hotel mandiri atau independen:
1. Hotel berganti website, logo-logo, head letter, brochures, yang biayanya tidak kecil.
2. Mengenalkan logo baru sebagai ciri brand, minimal perlu satu tahun agar publik klik dengan brand baru.
3. Hotel independen mesti memiliki tim audit yang mumpuni guna menghapus celah kecurangan dalam finansial.
4. Manajemen mesti memiliki lawyer, kuasa hukum terpercaya untuk antisipasi perselisihan, sengketa, salah paham, diantara pelanggan, karyawan, atau siapapun sebagai back up hotel.
5. Kekuatan terletak pada tim yang solid serta kepemimpinan kuat didukung board of directors atau pemilik (strong leadership).
Kini Hotel Bunga masih berkibar
dengan reputasi baik. Selain berada di lokasi strategis pun pemilik yang
cermat, cerdik dan teliti.
Hotel apa gerangan? Ya, ini hotel
kenanganku pada masa rebranding.
Dikelola management hospitality
sebagai operator hotel
Bila Hotel Bunga berubah haluan dari
hotel dibawah jaringan internasional menjadi hotel mandiri, maka langkah Hotel Seger
sebaliknya.
Tersebab bisnis hotel itu dinamis, bergejolak mengikuti
trend pasar, keluar, masuk operator hotel, gak masalah.
Yang menjadi problema jika hotel benar-benar lesu, mati
suri alias sekarat. Ukurannya, produk menua, sepi tamu, komplain dimana-mana.
Alternatif ini selain menjaga prestise,
brand hotel akan terus berkibar.
Cara ini pun mahal biayanya.
Beban yang harus ditanggung selama kontrak 5 tahun misalnya, wajib setor 5% hingga
7% dari seluruh revenue gross kepada operator hotel. Namun biaya itu sepadan
dengan benefit yang didapat.
Pemilik hotel duduk manis, urusan
operasional dilimpahkan operator hotel. Hal yang melenceng dalam operasional, langsung
diluruskan.
Pebisnis hotel yang sukses, mengarahkan agar manajemen berkinerja
efektif, agresif, sensitif terhadap market, pun seluruh karyawan sehat
sejahtera.
Industri hospitality yang
bergerak dalam bidang jasa, itulah hotel. Hotel menjual kenyamanan, kebersihan
dan rasa aman.
Gaya pemilik dalam mengendalikan
bisnis memang beda dari masa ke masa. Pemilik yang uzur lebih elok bila tak
mengurusi hal-hal kecil dalam operasional. Ini yang perlu direm. Jangan sampai
Manajemen dibikin pusing tujuh keliling.
Jika pemilik berlatar bidang hospitality,
pasti ada connecting. Sebaliknya bila bisnis yang dikuasai di bidang
sistem manajemen manufaktur, tentu akan bertentangan.
Masakan untuk memutus harga bagi
klien saja harus melalui persetujuan pemilik. Lho apa fungsi Manajemen? Ini
sudah melenceng Bung! Bumbu racikannya beda. Cita rasanya pun gado-gado.
Kebahagiaan bekerja yang bebas terbatas
itu, anugerah tak terhingga. Ketimbang dibawah tekanan pemilik hotel yang diktator.
Sekarang Anda paham, bagaimana
hotel lawas sebenarnya dapat dibangun guna beroleh cuan melimpah setelah masa
penderitaannya. Asal ada dana, pasti segalanya beres.
Nyatanya pemilik sering
menghambur uang kemana-mana. Bisnis baru, ladang baru, dan sister company lain.
Jadi, ya tabungan terkuras. Padahal produk lambat laun melawas.
Namun ada solusi alternatif bagi
hotel uzur tanpa kucuran ratusan juta rupiah hingga milyaran untuk menyegarkan
kembali sebelum jatuh terpuruk.
Apa saja? Kelak saya berkisah di
tulisan berikutnya.
Salam hospitality
* Artikel ini ditayangkan pula di Hotelier Writers - Temu Kompasiana, 18 Juli 2023
Comments