Bisnis Kostel Menuju Awal Hotel Berbintang

 

Bisnis kostel menuju hotel berbintang (pixabay gratis)

Rina berulang kali pindah kos. Hari Senin hingga Kamis tinggal di kos. Akhir pekan barulah pulang ke rumah. Begitu setiap minggu, selama setahun dijalani.

Alasannya jarak dari rumah ke kantor ditempuh sekitar 1,5 jam. Lewat tol bisa 40 menit, tapi bisa bikin boncos.

“Selamat pagi Kak Dena. Saya Rina, masih ada kamar kosong Kak?”, panggilan telpon saat Dena blusukan denganku.

“Saat ini penuh, dek”, jawab Dena.

“Mohon diinfo bila ada kamar tersedia ya Kak”, pinta Rina.

Rumah kos milik Dena, lokasinya dekat kampus. Di sebelahnya sekolah dasar. Kurang lebih 200 meter dari sekolah, terdapat rumah sakit.

Akhir-akhir ini Dena sibuk lantaran panggilan telpon setiap waktu.  Ya, begitulah. Kos baru jadi serbuan para mahasiswa dan karyawan.

Bangunan baru bercat putih, 2 lantai  di sebelah rumah yang semula hanya lahan yang tak terurus. Setengah biaya bangunan dari kantong Ayahnya.  

Total 6 kamar sederhana sold out.

“Idenya dariku, Ayah dan Ibu setuju aja. Akhirnya tuntas juga kostel ini. Lumayan Kak, untuk kuliah lanjutan dan tabungan menikah nanti”, katanya.

Ketika itu bisnis kos-kosan bak cendawan selepas hujan. Para mahasiswa, karyawan dari luar kota, luar pulau pasti perlu sewa kamar tahunan.

Para ortu calon mahasiswa menitipkan sementara hingga kelulusan.

Dari kamar tanpa AC hingga fasilitas lengkap berpendingin, wifi, dapur bersama, tersedia bagi penyewa.  

“That’s my boarding house!”

Kostel, gabungan kata dari kos dan hotel.  Kita biasa menyebutnya rumah kos saja, tanpa embel-embel hotel.

Konsep rumahan dan operasional ala hotel bagi long staying guests. Itu dulu.

Tidak berlevel bintang. Dimiliki oleh perorangan. Setidaknya 2 pegawai dipekerjakan. Dari 1 kamar hingga lebih dari 10 kamar, layak disebut rumah kostel.

Tidak ada hak istimewa untuk tamu karena penghuni  menetap dalam jangka lama, berbulan-bulan hingga bertahun-tahun.

“Ow that’s my boarding house!”, jawab Ms. Sherly saat kutanya dimana bule itu tinggal. Ternyata kami bertetangga.

Di Indonesia, banyak penghuni dan pemilik menjunjung kekerabatan. Ibu dan Bapak Kos dianggap seperti keluarga sendiri.

Suatu hari, iseng-iseng saya jalan melihat nyata kondisi kos ketimbang selancar online.

Bu Karni, pemilik kostel di dekat kampus terkenal, berniat membangun satu loteng lagi.

“Lumayan Dek, untuk tambah modal kafe di sebrang”.

“Ladies Kostel”, nama di plang besi. Kecil sekali tulisan itu.

“Bapak yang pasang, hehe”, begitu komentarnya, saat kudekati plang.

Suaminya, Pak Rahmat, ternyata mantan hotelier. Sejak 2 tahun lalu ganti haluan.

Sebuah rumah kos dengan 8 kamar, bercat warna krem.

“Tak perlu gembar gembor, disini selalu penuh Non”, ujarnya

Ketika ku berkantor di Jakarta Barat, kos Bu Karni adalah tempat terakhir yang kusinggahi. Saya mencari melalui media, tempat kos yang bersih, nyaman, dan khusus kos putri.

Berpindah dari kostel ke kostel lain, ternyata cukup melelahkan. Selain bosan, pemilik kos kadang tak mendengar keluhan. Duh.

Atap kamar bocor, saluran air di kamar mandi sering tersumbat, AC hanya angin semilir karena jadwal perawatan sering absen. Ya lama kelamaan lelah. komplennya itu-itu saja, tak dihiraukan.

Memahami makna hospitality

Ada owner yang galak, sangat disiplin. Saking disiplin, penghuni sering kabur setelah beberapa hari menetap, padahal bayaran penuh untuk 30 hari sudah ditransfer.

Lebih dari pukul 21:00, pintu utama dikunci. Lantai kotor, langsung ngomel. Cuci baju, airnya gak boleh lebih dari 2 ember karena saat itu belum ada bisnis laundry kiloan.

Saya pernah manteng 20 menit di luar pagar kehujanan gegara pemilik kos ketiduran. Padahal waktu menjelang pukul 8 malam.

Kok tak diberi kunci? Begitulah, apa maksud setiap penghuni tak diberi akses masuk. Takada satpam pula yang jaga. Peraturan yang aneh.

Bagai ikan pulang ke lubuk, akhirnya saya menetap di tempat kos yang apik, resik, tertata rapi. Ow senangnya!

Pemilik kostel, Bu Ratna dan suaminya ramah, perhatian terhadap seluruh penghuni kos.

Mas Sakur penjaga kostel itu. Selain sebagai satpam ia merangkap sebagai housekeeper, laundry. Tak heran multi task sebab hanya 2 karyawan bertugas setiap hari.

Kamar selalu penuh. Bila kosong, langsung terisi. Pasalnya, Pak Bahri beserta Bu Ratna kompak dalam menjalankan bisnis kostel ini.

Selama 8 bulan menetap di situ, dengan luas kamar 24 meter persegi, cukup nyaman menjadi ruang kerja saat home base office.

Namun saya menclok ke tempat lain setelah 10 bulan menetap. Manajemen kostel ganti haluan. Bu Ratna, memasarkan kostel kepada pihak lain.

Bisnis awal menuju hotel berbintang

Ketika cara pemasaran dikelola secara online, imbasnya harga kamar disewa harian.

Oh, ternyata pemilik menyewakan kamar layaknya hotel.

Hari demi hari, suasana terasa asing bagiku. Wah, ketenangan di kostel terganggu.

Siang, sore, malam, tamu datang dan pergi ke kostel. Penghuni kos, terganggu ributnya tamu saat check-in setelah pukul 21:00. Ini kan kostel Bu?

Beberapa hari setelah itu, baru kupahami, pemilik kos mempercayakan pada pihak ke-3 untuk dikelola.

Tak berapa lama promosi e-marketing gencar. Menghadang di jalanan menuju kostel.

Tak hanya kostel, guest house, homestay, hotel melati pun ikut-ikutan.

Bagi pemilik bisnis kostel, guest house, homestay, hotel melati, hotel berbintang satu, bintang dua, Berikut ini yang akan didapat:

1.       Promosi gencar e-marketing, melambungkan produk.

2.       Penjualan kamar melalui aplikasi online, menaikkan rating

3.       Meningkatkan tingkat hunian (occupancy).

Setidaknya, inilah dampaknya:

1.       Tingkat hunian meningkat, dengan ADR (average daily rate) cenderung menurun. Teliti persentase insentif, komisi yang harus digelontorkan kepada pengelola. Pertimbangkan hal ini lebih cermat.

2.       Tersebab turn over yang padat dari tamu yang check-in dan check-out, dampak kerusakan bangunan kostel, kamar, tempat tidur, kamar mandi, rentan memburuk bila pemeliharaan diabaikan. Not well maintain.

Karena itu fokus utama merapikan kos-kosan adalah ide cemerlang. Renovasi, refurbishment, dapat melejitkan brand.

Selanjutnya? Ya, sentuhan hospitality.

Secara rutin, edukasi staf tentang pelayanan terbaik kepada tamu. Smile and greet, excellent service, red carpet, dan lainnya.

Impianku menjadi owner hotel

Menangani bisnis kostel, tahap awal membangun sebuah hotel melati, hotel berbintang 1, berbintang 2, lalu berbintang 3, 4 dan seterusnya.

Prinsip hospitality terus terpancang pada setiap jenis pelayanan apapun. Memberi ruang nyaman bagi pengunjung, penyewa, tamu, pembeli.

Iklan pemasaran kamar-kamar kos bertebaran di media. Daya tarik website dengan foto-foto cantik, menjadi pusat perhatian.

Segalanya lebih simpel. Website jawabannya.

Gak punya website? Promosi dari mulut ke mulut, itu promosi jitu.

Bisnis membangun kostel, homestay, guest house, hotel melati, bisnis awal melatih para pengusaha guna membangun hotel berbintang.

Para hotelier- owners yang sukses pun meniti tahap demi tahap proses itu. Semakin diasah, semakin tajam,  peka terhadap pasar.

Tak usah hiraukan tentang isu miring dunia kostel. Sentuhan hospitality tak pernah sirna. Tengok kiri, tengok kanan, berapa harga kamar di kostel tetangga? Masih ada yang kosong?

Tak perlu menunggu masa pensiun, bisnis kostel dapat dikelola sejak dini.

Salam hospitality

Comments