Rina berulang kali pindah kos. Hari
Senin hingga Kamis tinggal di kos. Akhir pekan barulah pulang ke rumah. Begitu
setiap minggu, selama setahun dijalani.
Alasannya jarak dari rumah ke kantor
ditempuh sekitar 1,5 jam. Lewat tol bisa 40 menit, tapi bisa bikin boncos.
“Selamat pagi Kak Dena. Saya
Rina, masih ada kamar kosong Kak?”, panggilan telpon saat Dena blusukan
denganku.
“Saat ini penuh, dek”, jawab
Dena.
“Mohon diinfo bila ada kamar tersedia
ya Kak”, pinta Rina.
Rumah kos milik Dena, lokasinya dekat
kampus. Di sebelahnya sekolah dasar. Kurang lebih 200 meter dari sekolah,
terdapat rumah sakit.
Akhir-akhir ini Dena sibuk lantaran
panggilan telpon setiap waktu. Ya,
begitulah. Kos baru jadi serbuan para mahasiswa dan karyawan.
Bangunan baru bercat putih, 2
lantai di sebelah rumah yang semula
hanya lahan yang tak terurus. Setengah biaya bangunan dari kantong Ayahnya.
Total 6 kamar sederhana sold
out.
“Idenya dariku, Ayah dan Ibu
setuju aja. Akhirnya tuntas juga kostel ini. Lumayan Kak, untuk kuliah lanjutan
dan tabungan menikah nanti”, katanya.
Ketika itu bisnis kos-kosan bak cendawan
selepas hujan. Para mahasiswa, karyawan dari luar kota, luar pulau pasti perlu
sewa kamar tahunan.
Para ortu calon mahasiswa
menitipkan sementara hingga kelulusan.
Dari kamar tanpa AC hingga fasilitas
lengkap berpendingin, wifi, dapur bersama, tersedia bagi penyewa.
“That’s my boarding house!”
Kostel, gabungan kata dari kos
dan hotel. Kita biasa menyebutnya rumah kos
saja, tanpa embel-embel hotel.
Konsep rumahan dan operasional ala
hotel bagi long staying guests. Itu dulu.
Tidak berlevel bintang. Dimiliki
oleh perorangan. Setidaknya 2 pegawai dipekerjakan. Dari 1 kamar hingga lebih
dari 10 kamar, layak disebut rumah kostel.
Tidak ada hak istimewa untuk tamu
karena penghuni menetap dalam jangka
lama, berbulan-bulan hingga bertahun-tahun.
“Ow that’s my boarding house!”,
jawab Ms. Sherly saat kutanya dimana bule itu tinggal. Ternyata kami
bertetangga.
Di Indonesia, banyak penghuni dan
pemilik menjunjung kekerabatan. Ibu dan Bapak Kos dianggap seperti keluarga
sendiri.
Suatu hari, iseng-iseng saya
jalan melihat nyata kondisi kos ketimbang selancar online.
Bu Karni, pemilik kostel di dekat
kampus terkenal, berniat membangun satu loteng lagi.
“Lumayan Dek, untuk tambah modal
kafe di sebrang”.
“Ladies Kostel”, nama di plang
besi. Kecil sekali tulisan itu.
“Bapak yang pasang, hehe”, begitu
komentarnya, saat kudekati plang.
Suaminya, Pak Rahmat, ternyata mantan
hotelier. Sejak 2 tahun lalu ganti haluan.
Sebuah rumah kos dengan 8 kamar,
bercat warna krem.
“Tak perlu gembar gembor, disini
selalu penuh Non”, ujarnya
Ketika ku berkantor di Jakarta Barat,
kos Bu Karni adalah tempat terakhir yang kusinggahi. Saya mencari melalui
media, tempat kos yang bersih, nyaman, dan khusus kos putri.
Berpindah dari kostel ke kostel lain,
ternyata cukup melelahkan. Selain bosan, pemilik kos kadang tak mendengar keluhan.
Duh.
Atap kamar bocor, saluran air di
kamar mandi sering tersumbat, AC hanya angin semilir karena jadwal perawatan sering
absen. Ya lama kelamaan lelah. komplennya itu-itu saja, tak dihiraukan.
Memahami makna hospitality
Ada owner yang galak, sangat disiplin.
Saking disiplin, penghuni sering kabur setelah beberapa hari menetap, padahal bayaran
penuh untuk 30 hari sudah ditransfer.
Lebih dari pukul 21:00, pintu
utama dikunci. Lantai kotor, langsung ngomel. Cuci baju, airnya gak boleh lebih
dari 2 ember karena saat itu belum ada bisnis laundry kiloan.
Saya pernah manteng 20 menit di
luar pagar kehujanan gegara pemilik kos ketiduran. Padahal waktu menjelang
pukul 8 malam.
Kok tak diberi kunci? Begitulah,
apa maksud setiap penghuni tak diberi akses masuk. Takada satpam pula yang
jaga. Peraturan yang aneh.
Bagai ikan pulang ke lubuk, akhirnya
saya menetap di tempat kos yang apik, resik, tertata rapi. Ow senangnya!
Pemilik kostel, Bu Ratna dan
suaminya ramah, perhatian terhadap seluruh penghuni kos.
Mas Sakur penjaga kostel itu.
Selain sebagai satpam ia merangkap sebagai housekeeper, laundry. Tak heran multi
task sebab hanya 2 karyawan bertugas setiap hari.
Kamar selalu penuh. Bila kosong,
langsung terisi. Pasalnya, Pak Bahri beserta Bu Ratna kompak dalam menjalankan
bisnis kostel ini.
Selama 8 bulan menetap di situ,
dengan luas kamar 24 meter persegi, cukup nyaman menjadi ruang kerja saat home
base office.
Namun saya menclok ke tempat lain
setelah 10 bulan menetap. Manajemen kostel ganti haluan. Bu Ratna, memasarkan kostel
kepada pihak lain.
Bisnis awal menuju hotel berbintang
Ketika cara pemasaran dikelola secara
online, imbasnya harga kamar disewa harian.
Oh, ternyata pemilik menyewakan
kamar layaknya hotel.
Hari demi hari, suasana terasa asing
bagiku. Wah, ketenangan di kostel terganggu.
Siang, sore, malam, tamu datang
dan pergi ke kostel. Penghuni kos, terganggu ributnya tamu saat check-in
setelah pukul 21:00. Ini kan kostel Bu?
Beberapa hari setelah itu, baru
kupahami, pemilik kos mempercayakan pada pihak ke-3 untuk dikelola.
Tak berapa lama promosi
e-marketing gencar. Menghadang di jalanan menuju kostel.
Tak hanya kostel, guest house,
homestay, hotel melati pun ikut-ikutan.
Bagi pemilik bisnis kostel, guest
house, homestay, hotel melati, hotel berbintang satu, bintang dua, Berikut ini
yang akan didapat:
1. Promosi
gencar e-marketing, melambungkan produk.
2. Penjualan
kamar melalui aplikasi online, menaikkan rating
3. Meningkatkan
tingkat hunian (occupancy).
Setidaknya, inilah dampaknya:
1. Tingkat
hunian meningkat, dengan ADR (average daily rate) cenderung menurun. Teliti
persentase insentif, komisi yang harus digelontorkan kepada pengelola. Pertimbangkan
hal ini lebih cermat.
2. Tersebab
turn over yang padat dari tamu yang check-in dan check-out, dampak kerusakan
bangunan kostel, kamar, tempat tidur, kamar mandi, rentan memburuk bila pemeliharaan
diabaikan. Not well maintain.
Karena itu fokus utama merapikan kos-kosan
adalah ide cemerlang. Renovasi, refurbishment, dapat melejitkan brand.
Selanjutnya? Ya, sentuhan
hospitality.
Secara rutin, edukasi staf tentang
pelayanan terbaik kepada tamu. Smile and greet, excellent service, red
carpet, dan lainnya.
Impianku menjadi owner hotel
Menangani bisnis kostel, tahap
awal membangun sebuah hotel melati, hotel berbintang 1, berbintang 2, lalu berbintang
3, 4 dan seterusnya.
Prinsip hospitality terus
terpancang pada setiap jenis pelayanan apapun. Memberi ruang nyaman bagi
pengunjung, penyewa, tamu, pembeli.
Iklan pemasaran kamar-kamar kos bertebaran
di media. Daya tarik website dengan foto-foto cantik, menjadi pusat perhatian.
Segalanya lebih simpel. Website
jawabannya.
Gak punya website? Promosi dari
mulut ke mulut, itu promosi jitu.
Bisnis membangun kostel,
homestay, guest house, hotel melati, bisnis awal melatih para pengusaha guna membangun
hotel berbintang.
Para hotelier- owners yang sukses
pun meniti tahap demi tahap proses itu. Semakin diasah, semakin tajam, peka terhadap pasar.
Tak usah hiraukan tentang isu miring
dunia kostel. Sentuhan hospitality tak pernah sirna. Tengok kiri, tengok kanan,
berapa harga kamar di kostel tetangga? Masih ada yang kosong?
Tak perlu menunggu masa pensiun,
bisnis kostel dapat dikelola sejak dini.
Salam hospitality
Comments