Dua hari lalu saya menerima pesan
teks dari nomor tak dikenal.
“Bu, perkenalkan saya Dida. Saya sekarang
bekerja di hotel sebrang. Ternyata saya menemukan buku Hotelier’s Story di meja
kawan saya. Ibukah penulisnya?”
Lalu saya balas, “wah, sayang sekali
kita gak jumpa ya. Apa yang bisa saya bantu Mas?”
“Bolehkah saya telpon Ibu?,
tanyanya lagi. Tak lama gawai berdering.
Itulah awal percakapan saya dan
Dida yang tak kukenal sebelumnya.
Usia Dida sekitar 35 tahun. Ia gemar
menulis dan ingin belajar menulis. Terbakarlah semangatku, mungkin dirinya
perlu pencerahan.
Ada lagi pesan yang masuk di notifikasi Linkedin, “Bu, saya Roni. Saya bekerja di tempat Ibu dulu. Saya suka membaca artikel Ibu”, katanya sedikit menyanjung.
Awal kisahku menulis semacam blessing in disguise. Saat diambang masa pandemik, bisnis hotel yang melambung jadi limbung, nyaris terpuruk.
Pilihan pulang kampung, tak jadi
masalah pelik. Sekejap saja GM setuju kala kuputuskan undur diri sementara
waktu. Keputusan yang bijak. Lebih baik memulangkanku daripada bertahan tanpa dibayar.
Duh.
Market anjlok. Pemasukan minim. Hotel-hotel
bertahan dengan usaha mandiri.
Hotel yang sanggup menerima tamu
isolasi mandiri, cukup bertahan. Iklan hotel-hotel yang dijual, tampil di media.
Mengenaskan.
Hotelier yang menulis
Disitulah awal perkenalanku
dengan Kompasiana. Hari demi hari, tekun membaca tulisan para Kompasianer. Mengolah
kata, merangkai kalimat sambil belajar.
Hampir semua artikel, wujud dari
pengalaman berkarir di dunia hospitality. Berbagi ilmu agar publik mengenal
lebih dekat tentang hotel. Berkisah dari sudut pandang seorang hotelier.
Tahun 2021 bulan Juni, kondisi
bisnis berangsur membaik. Market mulai menggeliat. Saya kembali belajar di
salah satu hotel berbintang 4 di Balikpapan.
Dunia pariwisata pun kembali
bergairah. Hotel-hotel mulai disibukkan pelanggan. Kami bersiap kembali ke
kantor alias work from office.
Sebelum kepergianku ke
Balikpapan, Kompasianer Alip Yog Kusnandar meminangku agar artikel-artikel di
Kompasiana dibukukan.
Atas kerja keras Pak Alip Yoga yang
merangkap sebagai editor, terciptalah 2 buku, Hotelier’s Story.
Beberapa nama pemberi testimonial
yaitu Nyoman Wahyuti M.Sc – Presdir PT. Mitrasraya Adhijasa, seorang ibu,
wanita karir, kawan dan guruku.
Kompasianer Maestro Tjiptadinata
Effendi, Kompasianer Senior Roselina yang akrab dengan nama Oma Rose atau Oma
Tjip, pemberi testimoni pada kedua buku.
Demikian pula Kompasianer Tonny
Syahriel – Professional Tour Leader, yang berhubungan erat dengan dunia
perhotelan, begitu penting saya harus mendapatkannya.
Kompasianer Bobby Steven yang
akrab dipanggil Romo Bob – Rohaniwan dan Penggiat Literasi Komunitas
Inspirasiana memberi kata pengantar.
Tak luput Prof. Kumpiady Widen
MA, PhD, - akademis yang tertarik menggeluti dunia hospitality. Kini beliau
sebagai pemerhati bisnis hotel.
Sebagai ucapan terima kasih
kepada Kompasiana, The COO (Chief Operating Officer) Kompasiana – Bapak Nurulloh
menghiasi kata pengantar pada kedua buku.
Selain itu Kompasianer
Katedrarajawen, Sr. Maria Monika SND, Fatmi Sunarya dan tentu saja Alip Yog
Kusnandar dari kalangan akademis juga pemilik dari penerbit Galuh Patria.
Pada buku jilid 2, nama Kompasianer
Kris Banarto menghiasi halaman pertama. Beliau sebagai GM of Sales Marketing
Gapuraprima Group yang banyak menulis tentang marketing zaman now.
Tati Ajeng Saidah, Kompasianer
sekaligus pendidik. Dari kalangan siswa, Fatcurrochman Wibisono Alhasny,
pelajar SMK 4 Balikpapan.
“Bu, ayo menulis lagi!”, ajak Kompasianer
Ari Budiyanti.
“Siap!”, jawabku.
Tentang Ari Budiyanti, pada
peringatan Earth day di Balikpapan, saya meminta sebuah puisi untuk kubacakan
pada hari bumi sedunia itu
“Tapi bayarannya gak mahal ya
Mba”, bujukku, menawar.
Ada pula Kompasianer Wahyu Alie
yang dulu dikenal dengan Dua Sisi, Kompasianer Frederikus Suni yang kerap
mengisi ruang blognya dengan tulisan hospitality.
Waktu seakan berkejaran. Toe
to head, head to toe alias pontang panting.
Dalam beberapa bulan, bisnis di
Kalimantan Timur seakan kembali normal. Pengusaha hilir mudik. Weekender yang
staycation melimpah. Ballroom dan ruang pertemuan rata-rata penuh. Semua tampak
cerah.
“You married with the hotel!”, ujar
Mr. Paul, long staying guest yang setiap hari melihatku di hotel. Pagi, siang,
malam berkelintaran.
Saya tersenyum, lidah terasa asam.
Sindirannya kena juga.
“Yah, selama ku masih energik”, jawabku
santai.
Tetiba ada pesan di hp. Info Kompasianer
Siska, yang kubaca kilat. Kupaham maksudnya, “ayo dong aktif lagi”.
“Baik Bu Siska”, itulah jawaban
terbaik walau belum tahu bila saatnya tiba.
Kompasianer Siska Dewi pula yang
mengenalkanku pada komunitas Inspirasiana. Beserta Romo Bob yang perhatian terhadap
komunitas ini.
Seringkali terlintas di benakku,
satu persatu nama kompasianer. Rindu rasanya menyapa walau hanya terhubung
online. Waktuku hanya sebatas membaca artikel yang singkat saat itu.
Wanita berkarir, untuk apa?
Lalu lalang di dunia hotel.
Malang melintang keluar kota dan pulau, itu hobiku. Penasaran akan tempat
tertentu. Selalu ada daya tarik untuk singgah.
Demikian beberapa kota besar
telah kulalui. Ada sesuatu yang didapat. Sesuatu itu harus dimiliki dengan
pengorbanan sebab waktu tak dapat diulang.
Saya menikmatinya sambil
berpetualang. Bertemu kolega baru, memulai persahabatan.
“Bekerja ya asyik aja”, kata Halimah,
sahabatku.
“Karir moncer, fulus ada meski gak banyak. Anak-anak sehat, kalau bisa bagi waktu, kenapa tidak?”, lanjutnya, saat kutanya kenapa berlelah-lelah di kantor.
Halimah selalu menerima apa adanya. Kaki pantang terdiam, tangan turut melenggang. Nalurinya berkata, “aku ingin gapai impianku”.
Wanita berkarir tak melulu karena
alasan finansial, meski hal itu penting. Seperti kawanku, Riri yang selalu
rajin membeli buku cerita untuk
anak-anaknya.
“Masa sekolah tinggi-tinggi,
nganggur?”, ujar ayahnya suatu hari.
Kisah Riri berbeda dengan Nita. Ia
baru saja bergabung di tim marketing. Ia mengurus suami serta ke-dua anaknya,
belum lagi seabreg kerjaan di kantor. Praktis me-time berantakan.
Subari, suami Nita, ingin dirinya
meniti karir yang dulu telah dirintis. Merasa terdorong semangatnya, mereka
mengambil seorang pengasuh agar seluruh anggota keluarga nyaman. Anak-anak pun
telah beranjak remaja.
Riri, Nita, Kartini yang ingin belajar, pantang menyerah pada keadaan. Gak cengeng, manja.
Bekerja tidaklah mudah. Pikiran dan energi tercurah totalitas. Namun pandai mengatur waktu, disiplin, menjadikan wanita jempolan.
Tiga prinsip dasar bagi
wanita karir
Kumpul-kumpul bersama tim, sangat
menyenangkan. Hal kecil dibuat candaan. Tugas bejibun, ribet urusan dengan
klien, rasanya suntuk. Asal dibuat senang aja. Selain tak terbeban, juga
menjadi healing sesaat.
Ada 3 prinsip dasar yang menjadi
pegangan kaum wanita agar tahan memupuk karir:
Pertama, jaga kesehatan
tubuh disertai jiwa yang kuat. Disiplin beribadah.
Kedua, selalu ingin
belajar. Hasilnya akan cakap dalam segala hal, cerdik menaungi keluarga dalam
kondisi apapun.
Ketiga, Rajin.
Pantang mengeluh.
Terdapat seabreg prinsip dapat dicantumkan, namun hal-hal penting lain tersimpul pada ketiganya.
Telah banyak kaum wanita sukses dalam pendidikan maupun karir. Kartini tak bekerja kantoran? Gak masalah. Ibu rumah tangga pun bekerja di rumah. Pengabdian luhur pada keluarga.
Curahan perhatian pada keluarga,
sumber kekompakan. Bagaimanapun, pendidikan dasar bagi anak, dimulai dari
keluarga.
Jangan biarkan masa indah bersama
anak sejak kecil terenggut jam kerja ibunda di kantor. Waktu kan berganti. Momentum
itu tak bisa diulang.
Seorang istri, pilar keluarga,
penolong bagi suami. Suami bangga terhadapnya. Anak-anak menghargai jerih payah
ibunda. Walau sibuk, keluarga tetap harmonis.
Kartini masa kini dapat mengejar
kepandaian sejalan dengan kaum pria, namun urusan keluarga adalah utama.
Selamat memperingati Hari
Kartini.
Selamat menjelang Hari Raya Iedul
Fitri. Mohon maaf lahir dan batin kepada Manajemen Kompasiana, Inspirasiana dan
para Kompasianer tercinta.
Salam hospitality,
Comments