Sebebas Apa Tinggal Di Hotel Itu?

 

Sebebas apapun kita berlaku, tetap saja harus mengindahkan norma (dokpri)

Siang itu panas terik, tak sengaja saya bertemu Rani di lobi. Ia kolegaku saat mulai berkarir.  

Rani langsung memelukku. Sekian lama kami berpisah setelah dirinya menimba ilmu perhotelan di Switzerland.

Setahun lalu, ia berlabuh di Negri Jiran, bekerja di hotel terpopuler di sana. Sementara saya baru saja bergabung di hotel berbintang 5 di Jakarta.

Kami asyik ngobrol di sudut lobi hotel yang cukup luas. Dibalik kaca, tampak tanaman hijau nan asri, membuat mata teduh.

Cuaca panas menembus dinding kaca. Meski dilengkapi pendingin, masih terasa gerah.

“Rombongan tiba!”, komando Rifai, chief security.

Kutinggalkan Rani sekejap.

“Breekk….!”, tetiba seabreg wisatawan turun dari bis, menuju lobi.

Lobi mendadak hiruk pikuk. Para wisatawan dari luar kota, akhirnya tiba.

Tak lama tas, koper, berserakan di lantai. Ingar bingar.

Beberapa orang duduk berkelompok di lantai, selonjoran. Bahkan ada yang rebahan di sofa. Tak hanya itu, satu persatu mereka mencopot sepatu, sandal. Jaket, topi, dimana-mana.

Ada yang ganti baju, saking panasnya cuaca. Yah namanya Jakarta Bung!

Welcome drink, kini tak jelas wujudnya. Tak sabar, ingin cepat mereguk sirup warna hijau itu.

Saya melongo. Kutinggalkan Rani.

“Alamak, hotel macam apa ini!”, gerutu Richard, manajer front office.

“Ssst…, beri kunci kamar segera!,” perintah GM dari balik tembok.Semua staf sibuk, terbawa arus panik.

GM mengerahkan seluruh manajer, membantu tour leader. Membagikan kunci lalu mengantar grup ke tiap-tiap lantai. Tiga lift layanan dan 2 lift barang digunakan mengangkut rombongan hingga lantai 18.

Seruan via toa nyaris tak terdengar. Suasana semakin riuh, mirip pasar kaget.

Akhirnya satu persatu langsung ke kamar setelah 1 jam dalam penantian. Wajah-wajah lelah, antri masuk lift.

Tour leader super sibuk menenangkan rombongan. Tampak kelelahan.

“Tine, minum dulu yuk”, ajak Richard.

Binbin, sales manager telah mengatur sedemikian rapi seluruh proses check-in. Saya tahu itu. Namun pemandangan yang baru terjadi, seakan mimpi.

Hal ini kerap terjadi di berbagai hotel. Tidak peduli larangan, yang penting senang. Yang terjadi mengekor bebek, seorang berbuat, yang lain ikut-ikutan. Duh.

Feel at home, apa itu?

Hotel layaknya tempat publik bagi mereka yang berkepentingan. Pertemuan bisnis, pesta pernikahan, pesta ulang tahun, liburan keluarga, staycation, dan aktifitas lainnya.

Selonjoran, tiduran, rebahan di lobi, nyaris peraturan itu tidak tertuang secara tertulis.

Walau aturan jarang digaungkan, tidak tertulis, di hotel ada benteng pembatas. Namanya norma kepantasan. 

Mengangkat kaki ke kursi (menyantap ala warteg) saat makan di restoran, pantang dilakukan. Bagi sebagian orang, tentu asyik. Tapi tahan dululah kebiasaan di rumah.

Di beberapa hotel International chains, dalam dan luar negri, larangan memakai sandal jepit, kimono/baju tidur ke restoran, tetap diberlakukan.

Di pintu masuk, terdapat standing banner besar dengan gambar sandal jepit diberi tanda silang.

Pernah Anda lihat anak-anak masuk lift usai berenang? Dengan lilitan handuk, paling tidak lantai di lift basah. Ini akan membuat cedera tamu lain.

Bernyanyi di kamar membuat gaduh, mengganggu tamu lain. Menyetel TV dengan keras. Apalagi berbuat onar, bising karena pertengkaran di kamar.

Manajemen hotel yang disiplin, akan mendatangi perokok yang merokok dekat anak-anak. Asap terpapar lebih berbahaya.

Manajemen hotel yang tegas, akan mengusir tamu jika kedapatan pesta, mabuk-mabukkan  di kamar. Belum lagi interograsi oleh pihak sekuriti.

Manajemen hotel dan staf berhak menegur tamu yang tidak punya tata krama. Misalnya komplain dengan teriakan sopran, mengumpat, finger pointing (blame)

Seberapa banyak tamu yang tak sopan? Hmm, tak banyak, namun tak sedikit pula. Itulah.

Hotel menampung segala problema tamu dari yang sangat pribadi sekalipun hingga tuntut menuntut di meja pengadilan.

Tamu demikian, menuai gerutu di belakang layar. Membuat staf tidak respek. Kedatangannya tidak terlalu didambakan.

Lain bangsa, lain pula adab.

Pada tahun silam, hotel-hotel merasa naik daun bila kerap kedatangan grup dari Eropa : Netherland, Belgia, Perancis, Inggris. Grup ini memberi revenue terbesar pada tahun 90-an. Kota-kota yang disinggahi, Jakarta, Bandung, Pangandaran, Yogyakarta, Denpasar.

Pendapatan dari minuman beralkohol. Menu sarapan, makan makan beraneka ragam dan tentu saja mahal.

Berkeliling ke destinasi wisata dengan bus mewah. Hotel-hotel berburu grup bergengsi ini.

Grup Java Fam Trip, De Boer & Wendel, contoh grup terbilang rapi, teratur karena mau diatur dan disiplin. Bahkan tak perlu diberi wejangan. Segala sesuatu terarah.

Berbeda dengan fam trip dari Asia yang punya kebiasaan unik dan latah. Besar kecil, tua muda, saat sarapan selalu hiruk pikuk.

Meski waiter mengingatkan agar makanan tidak keluar restoran, tetap saja roti, cheese, selai, jeruk, youghurt, pisang, pancake, mavin, croissant, dibungkus.

Ada yang dimasukkan tas plastik, dibungkus tisu, dimasukan kedalam tas. Padahal mereka sudah makan di resto. Olala.

Entah kenapa tradisi bungkus membungkus dengan tisu itu telah menjadi trade mark grup ini.

Sayangnya hampir semua tamu gak mudeng bahasa Inggris. Jadi, ala bahasa tarzan. Jika tambah panik, kami panggil tour leader. Tapi ia pun tak kuasa. Kasihan.

Bagi hotelier, mari kita perhatikan 2 hal ini agar mengenal lebih dekat tamu-tamu Anda:

1.   Ketahui detail tamu dari asal wilayah, minat, kebiasaan.

2.   Beri tahu aktifitas yang nyaman dilakukan selama tinggal di hotel.

Sesuai standar pelayanan di hotel, setiap tamu dipandang setara. Tamu akan diperlakukan khusus bila  komplain dengan alasan palsu, arogan, melecehkan staf, bersikap rasis.

Hotel adalah rumah besar untuk keluarga besar. The don’t selama tinggal di hotel, hindari hal-hal yang dipandang tidak pantas dilakukan.

Ayahku bilang ora ilok , sesuatu yang tidak baik dilakukan, jangan dilakukan. Dasarnya atas penilaian orang lain terhadap seseorang.

Feel at home tercipta dari suasana ramah, rumah yang aman, nyaman. Berbuat sebebasnya dengan mengindahkan norma kepantasan. Demikian kita mampu menjunjung tinggi martabat sebagai persona yang berbudi luhur.

Salam hospitality,

Comments