“Dik, tadi siang saya minta
bantal diganti. Sampai saya kembali, belum juga diganti. Gimana nih hotel?”, pinta
Bu Rena, ketus.
“Kamar nomor berapa Bu?”, tanya
resepsionis
“627, segera ya. Dari tadi saya
tunggu, gak muncul juga!”, ia melengos sambil menggendong si kecil.
Bu Rena baru saja check-in. Bantal
di kamarnya bau apek. Merasa tak nyaman, ia menelpon petugas hotel agar diganti.
Dari jauh beberapa resepsionis sibuk
melayani antrian tamu. Sore itu pukul 16:18, tamu yang check-in masih antri. Mungkin
berharap, check-in sore hari, kamar sudah siap. Ternyata…
Dering telpon di resepsion nyaring
terdengar. Suasana bertambah hiruk pikuk, baru saja kedatangan rombongan turis
dari Thailand.
Belum tuntas masalah bantal apek,
muncul Mr. Roger. Pria setengah baya dari Australia ini menginap 5 malam,
diutus dari perusahaannya. Ia check-in jam 15:00. Selang tak berapa lama, ia
kembali ke lobi.
“Miss, can you change it right
now?”, sambil menunjukkan foto tirai pembatas di kamar mandi yang bernoda hitam.
Saya membaca isi hatinya, ‘wah
gimana nih perusahaanku kok kasih hotel kayak gini?
“Yes Sir, we’ll do it very soon,
we do apology!”.
Itu keluhan pria bule yang baru
pertama kali menginap kutemui saat giliran tugas.
Untuk apa bayar mahal jika produk dan pelayanan tidak standar?
Komplain tidak melulu mengenai
produk. Pelayanan tidak standar juga kerap menjadi pemicu. Dua hal ini seluruh
aktivitas hotel bertumpu, kualitas produk dan pelayanan.
Pelaku bisnis perhotelan
sebaiknya aktif mengawasi secara ekstra, kecuali konsep hotel diluar sentuhan
hospitality.
Namun saya yakin, sampai kapanpun
konsep pelayanan hotel takkan lekang oleh zaman. Di sana ada sentuhan
hospitality, rasa nyaman yang tak tergantikan.
Mengetahui sumber komplain terbanyak
Mendengar kata komplain, rasanya
alergi. Komplain tiada habis-habisnya di hotel, apalagi hotel yang uzur. Untuk
itulah, setiap staf hotel diharapkan membantu menyelesaikan. Setidaknya dapat
menuntaskan pada komplain ringan.
Manajer hotel dijadikan bumper? Gak
juga. Memang pada akhirnya, setiap keputusan menunggu persetujuannya.
Pak Ardi dengan keluarga sedang staycation.
Dipilihlah kamar yang besar dan nyaman,
kolam renang yang lega untuk anak-anak dan jajanan kuliner di sekitar hotel. Ya,
lengkaplah sudah kegembiraan. Apalagi ada harga promo akhir pekan.
Usai berenang, mereka kembali ke
kamar. Memesan sup buntut dari Room Service.
Sepuluh menit kemudian, ia berteriak
melalui telpon. Meminta petugas hotel datang.
“Cepat, cepat, anak saya luka!”
Beberapa petugas datang berbarengan
ke kamar. “Setelah makanan datang, tetiba, “bruk…!”, begitu ceritanya.
Meja kaca pecah berantakan. Serpihan
kaca bertebaran di karpet. Panik melihat anaknya menangis terus, ia langsung
menelpon resepsionis.
Si kecil sedikit terluka karena
pecahan kaca. Belum lagi ibunya nyerocos, membuat suasana panik. Maklumlah,
anak semata wayang.
Pesan Pak Ardi ingin bertemu manajer,
tak lain akan menuntut pertanggungjawaban manajemen.
“Anak saya kena pecahan beling,
coba ibu bayangkan, seandainya ini terjadi pada anak ibu!” intonasinya menaik,
wajahnya memerah, tampak satu urat di wajahnya menonjol. Begitu tuturnya saat
kami berembuk.
Yakinlah bahwa semua dapat
diselesaikan tanpa tuntutan. Ada titik temu. Sebaliknya, jika masing-masing pihak
saling tuding kesalahan, badan bonyok rambut rontok, hati dan pikiran jadi Lelah.
Menangani komplain adalah skill yang tidak dimiliki setiap staff. Butuh kecakapan tertentu. Perlu jam terbang. Materi pelajaran dasar saat melangkah di dunia perhotelan.
Apa yang terbaik kita perbuat
ketika menerima laporan komplain berat dari tamu:
1. Mendengarkan
Fokus mendengar setiap
kalimat dengan baik. Tidak membela diri. Tidak nyerocos duluan. Tidak
mendengarkan lawan bicara sambil lihat gawai, apalagi menelpon.
Usahakan berembuk
dihadiri minimum oleh 2 department head sebagai saksi. Two heads is
better than one.
2. Mencatat
sebagai berita acara pemeriksaan.
3. Memberi
keputusan dalam waktu 1 x 24 jam
4. Mengirimkan
surat/e-mail permohonan maaf
Memberi hadiah berupa kue, gratis
voucher kamar, gratis makan malam, voucher spa adalah bentuk kompensasi biasa.
Alih-alih sang tamu yang ‘cerdik,
akan selalu komplain untuk maksud tertentu. Keluhannya yang itu-itu terus. Pandai
menyikapi sajalah.
Saya mengamati, ada 5 tipikal tamu
hotel, dampak munculnya keluhan:
1. Komplain
heboh, lalu menghilang. Tak berkabar.
2. Komplain
berat, masih sesekali check-in
3. Komplain
berat, lalu kabur, menyebar cerita buruk di medsos.
4. Tidak
komplain, langsung menghilang, Tak berkabar (terburuk)
5. Komplain
ringan walau masalah besar, memaafkan lalu menjadi tamu loyal
Anda termasuk tipe yang mana?
Cara mengetahui area komplain
ringan hingga terberat
Tiap-tiap
departemen hendaknya terbuka untuk mengungkap letupan sebuah komplain. Pantang
disembunyikan.
Tradisi tutup mulut diantara
departemen terkait, kelak menjadi bumerang. Komplain berat, komplain ringan
sama saja, asal tamu gak marah, masalah tuntas, adalah prinsip salah. Tak sesederhana
itu.
Everything by data. Tanpa
data, manajemen akan terus menerus menuai problema. Tidak jelas bagaimana
menentukan langkah selanjutnya. Apakah masalah sudah tuntas? Perbaikan apa yang
telah dikerjakan? Area SDM mana yang sensitif, layanan waiter, housekeeping?
Nah, data sangat membantu untuk
mengetahui area agar memperbaiki kualitas produk maupun pelayanan.
Data komplain dapat diambil dari
komplain langsung, kuesioner, media sosial: Jenis keluhan, contoh wastafel
bocor, AC tak berfungsi, waiter tidak ramah), Catat keluhan yang tuntas dan menggantung.
Bukti: foto, screenshot whatsapp, dll. Terakhir adalah solusi.
Berdasar data, dapat diketahui area komplain terbanyak sehingga menjadi hal serius. Bila komplain tamu tentang tempat tidur melulu artinya titik fokus manajemen itulah yang mesti menjadi perhatian ekstra.
Setiap minggu harus dikaji ulang
(review). Setiap bulan menghasilkan laporan terperinci.
Siapa saja yang sering komplain
di hotel? Setiap tamu yang tidak puas. Bahkan tamu VIP, VVIP lebih banyak
cuitannya saking mendambakan pelayanan ingin sempurna.
Tiada sesuatu yang sempurna, Memperkecil
ruang komplain, itulah tujuannya.
Bayangkan jika terjadi kala kedatangan
Pak Presiden dan rombongan. Hati risau, dibawa gelak. Susah hati saat
kepala protokol mengeluh.
Kata-katanya teratur tapi
nyelekit, intonasinya naik turun tapi tidak meledak-ledak, padahal ia sedang
marah. Bagai kaca terhempas ke batu, sangat kecewa karena jabatannya dan
jabatanku taruhannya.
Tamu cerewet, bisa jadi mereka
mencintai produk kita, namun tak sesuai kenyataan. Tamu yang sabodo teuing,
lalu kabur, pindah ke hotel lain, itu lebih berbahaya.
Saking banyaknya komplain, hotel
gerah. Rating di TripAdvisor menurun. Imej hotel tercoreng.
Cara membujuknya kembali,
gampang-gampang susah. Manajemen harus mulai dari nol agar tetap popular.
Maka lebih baik mencegah daripada
mengobati.
Salam hospitality,
Comments