“Hotel melati itu bintang berapa atau samakah dengan losmen?”
Sekitar tahun 1980, saya sempat
menyaksikan tayangan drama berseri “Losmen” di TVRI. Tayangan asli.
Saya masih di sekolah dasar saat
itu, tapi ikut-ikutan nonton bersama keluarga. Maklum saluran TV cuma itu
satu-satunya.
Asyik juga nonton drama itu.
Lakonnya ada Bu Broto diperankan Mieke Widjaya, Mang Udel, Mathias Muchus, Ida
Leman, dll.
Sekilas cerita, losmen Bu Broto
yang tadinya ramai tamu tetiba sepi. Pasalnya losmen tumbuh bak cendawan
selepas hujan, banyak muncul losmen baru.
Bu Broto pasang strategi. Pemilik
dan keluarganya harus tampil beda. Mereka melayani lebih ramah daripada pemilik
losmen lain.
Hebatnya pada zaman itu penonton
sudah mendapatkan pelajaran tentang dasar hospitality, yaitu keramahtamahan. Tamu
Bu Broto dianggap keluarga.
Strategi ini menjadikan losmen Bu
Broto paling laku. Tamu senang menginap di tempatnya. Suasana sangat
kekeluargaan. Tamu disambut hangat. Akhirnya losmen Bu Broto terkenal.
Bumi berputar, zaman beredar. Wujud
losmen bergeser. Kalau dulu Bu Broto beramah tamah terhadap tamu, kini sebatas
transaksi jual beli.
Begitu mudahnya menginap di
losmen. Bahkan tanpa embel-embel KTP pun bisa langsung check-in.
Penggunaan losmen diselewengkan. Tamu sekadar numpang lewat 1, 2 jam bisa transit di situ. Ada juga yang tak jelas tujuannya.
Bayarannya
sangat murah. Harganya dapat ditemukan mulai dari Rp 125.000 hingga yang
termahal Rp 225.000 per malam. Harga ini berlaku di zaman kiwari.
Prosedur check-in sangat mudah.
Datang langsung (go show), tanya kesediaan kamar lalu check-in. Bila kamar
penuh, tamu disuruh menunggu beberapa menit saja.
Harga baheula mulai dari Rp
50.000 sampai Rp 100.000 per malam.
Pergantian waktu check-in dan
check-out tidak berstandar. Sprei, sarung bantal, diganti seperlunya. Jadi, (maaf)
saya kurang yakin akan kebersihannya. Ini pengalaman pribadi di salah satu
hotel melati di Kuala Pembuang.
Nah, tersebab murahnya kamar dan prosedur
check-in yang super easy, pekerja seks komersial mulai melirik losmen.
Pemilik perlu duit, PSK perlu
duit. Akhirnya peluang terbuka bagi PSK untuk bekerja sama dengan pemilik
losmen.
Ketika remaja, saya kenal Nia tetanggaku
yang cantik, bekerja di losmen. Sesumbarnya bekerja di pengobatan alternative.
Saat saya masih senang bermain
utik, kasti, Nia pergi malam, pulang pagi. Sekali waktu saya intip dari
kejauhan ia pulang bersama Toyota corolla tahun 75 setiap jam 04:00 subuh.
Saya dan Nia berteman. Beberapa
tahun lalu, kami bertemu via facebook. Ia berkisah masa itu, bekerja sama
dengan pemilik losmen yang mengorbitkannya menjadi PSK. Klop, cocok untuk bahan
tulisan ini.
Citra losmen tercoreng.
Konotasinya negatif. Padahal banyak
pemilik losmen yang berakhlak, tetap turut aturan. Pantang dipakai tempat
prostitusi.
Nama losmen itu hanya salah satu varian dari hotel melati. Varian lain yaitu homestay, guest house, hostel. Sedangkan hotel melati merujuk pada golongan atau kelas.
Ada
berapa kelas hotel melati?
a. Melati kelas 1
Minimal harus tersedia 5 kamar.
Fasilitas tempat tidur, kursi, meja.
b. Melati kelas 2
Minimal harus tersedia 10 kamar.
Fasilitas tempat tidur, meja, kursi, TV, kamar mandi, Restoran.
c. Melati kelas 3
Minimal harus tersedia 15 kamar.
Fasilitas tempat tidur, meja, kursi, kamar mandi, TV, restoran, meja
resepsionis, lobi.
Kita mengenalnya juga dengan sebutan
penginapan melati.
Begitu
sederhana dan mudahnya mendirikan usaha golongan hotel melati ini sehingga penginapan
ini nyaris tidak berstandar, apalagi bersertifikasi.
Terlepas dari penggunaan yang
menyimpang dari hotel melati, masih banyak kok pemilik yang memiliki budi
pekerti baik.
Salah satu cara mengangkat citra buruk losmen
Anda ingat pondokan hasil
bentukan Airy, Red doorz, dan lainya?
Seorang sales manager area akan
menyambangi hotel-hotel melati. Pemilik diajak berkolaborasi memajukan
usahanya.
Losmen menjadi target
penjualannya. Melakukan renovasi sekadarnya. Fokusnya terhadap kualitas kamar
serta mengubah sistem reservasi. Sarana penampung keluhan pun tersedia guna
menaikkan rating.
Kedua pihak bekerjasama saling
menguntungkan. Lalu sistem digiring kepada reservasi kamar digital.
Langkah
ini baik, guna mengangkat citra hotel melati yang negatif walau keuntungan yang
diperoleh susut.
Pemilik losmen
jangan gengsi, khawatir mudarat kalau harga naik. Yang penting usaha halal dan
mendatangkan berkah.
Kalau dahulu losmen Bu Broto
menjadi teladan harmonisnya hubungan pemilik dan penghuni, kini sistem digital
menjadikan tamu lebih individual. Peradaban telah bergeser, meniru ucapan Prof
Felix.
Kalau zaman dahulu Bu Broto pakai
kebaya dan konde melayani tamu, kini tamu hanya ditemani seorang satpam.
Pemiliknya ngumpet di balik layar CCTV.
Kalau dahulu sapaan Bu Broto sebelum
check-out, “Kami tunggu kedatangan Bapak/Ibu. Sudilah singgah kembali di lain
waktu.”
Kini tamu hanya menyerahkan kunci
pada satpam. Lalu duduk sambil order taksi online.
Ya, losmen Bu Broto memang menjadi
kenangan.
Salam hospitality.
Comments