Seputar Losmen yang Dikelilingi Bunga Melati

 

Losmen itu level hotel non bintang (ilustrasi Pixabay gratis)

“Hotel melati itu bintang berapa atau samakah dengan losmen?”

Sekitar tahun 1980, saya sempat menyaksikan tayangan drama berseri “Losmen” di TVRI. Tayangan asli.

Saya masih di sekolah dasar saat itu, tapi ikut-ikutan nonton bersama keluarga. Maklum saluran TV cuma itu satu-satunya.

Asyik juga nonton drama itu. Lakonnya ada Bu Broto diperankan Mieke Widjaya, Mang Udel, Mathias Muchus, Ida Leman, dll.

Sekilas cerita, losmen Bu Broto yang tadinya ramai tamu tetiba sepi. Pasalnya losmen tumbuh bak cendawan selepas hujan, banyak muncul losmen baru.

Bu Broto pasang strategi. Pemilik dan keluarganya harus tampil beda. Mereka melayani lebih ramah daripada pemilik losmen lain.

Hebatnya pada zaman itu penonton sudah mendapatkan pelajaran tentang dasar hospitality, yaitu keramahtamahan. Tamu Bu Broto dianggap keluarga.

Strategi ini menjadikan losmen Bu Broto paling laku. Tamu senang menginap di tempatnya. Suasana sangat kekeluargaan. Tamu disambut hangat. Akhirnya losmen Bu Broto terkenal.

Bumi berputar, zaman beredar. Wujud losmen bergeser. Kalau dulu Bu Broto beramah tamah terhadap tamu, kini sebatas transaksi jual beli.

Begitu mudahnya menginap di losmen. Bahkan tanpa embel-embel KTP pun bisa langsung check-in.

Penggunaan losmen diselewengkan. Tamu sekadar numpang lewat 1, 2 jam bisa transit di situ. Ada juga yang tak jelas tujuannya. 

Bayarannya sangat murah. Harganya dapat ditemukan mulai dari Rp 125.000 hingga yang termahal Rp 225.000 per malam. Harga ini berlaku di zaman kiwari.

Prosedur check-in sangat mudah. Datang langsung (go show), tanya kesediaan kamar lalu check-in. Bila kamar penuh, tamu disuruh menunggu beberapa menit saja.

Harga baheula mulai dari Rp 50.000 sampai Rp 100.000 per malam.

Pergantian waktu check-in dan check-out tidak berstandar. Sprei, sarung bantal, diganti seperlunya. Jadi, (maaf) saya kurang yakin akan kebersihannya. Ini pengalaman pribadi di salah satu hotel melati di Kuala Pembuang.

Nah, tersebab murahnya kamar dan prosedur check-in yang super easy, pekerja seks komersial mulai melirik losmen.

Pemilik perlu duit, PSK perlu duit. Akhirnya peluang terbuka bagi PSK untuk bekerja sama dengan pemilik losmen.

Ketika remaja, saya kenal Nia tetanggaku yang cantik, bekerja di losmen. Sesumbarnya bekerja di pengobatan alternative.

Saat saya masih senang bermain utik, kasti, Nia pergi malam, pulang pagi. Sekali waktu saya intip dari kejauhan ia pulang bersama Toyota corolla tahun 75 setiap jam 04:00 subuh.

Saya dan Nia berteman. Beberapa tahun lalu, kami bertemu via facebook. Ia berkisah masa itu, bekerja sama dengan pemilik losmen yang mengorbitkannya menjadi PSK. Klop, cocok untuk bahan tulisan ini.

Citra losmen tercoreng. Konotasinya negatif. Padahal  banyak pemilik losmen yang berakhlak, tetap  turut aturan. Pantang dipakai tempat prostitusi.

Nama losmen itu hanya salah satu varian dari hotel melati. Varian lain yaitu homestay, guest house, hostel. Sedangkan hotel melati merujuk pada golongan atau kelas.

Ada berapa kelas hotel melati?

a. Melati kelas 1

Minimal harus tersedia 5 kamar. Fasilitas tempat tidur, kursi, meja.

b. Melati kelas 2

Minimal harus tersedia 10 kamar. Fasilitas tempat tidur, meja, kursi, TV, kamar mandi, Restoran.

c. Melati kelas 3

Minimal harus tersedia 15 kamar. Fasilitas tempat tidur, meja, kursi, kamar mandi, TV, restoran, meja resepsionis, lobi.

Kita mengenalnya juga dengan sebutan penginapan melati.

Begitu sederhana dan mudahnya mendirikan usaha golongan hotel melati ini sehingga penginapan ini nyaris tidak berstandar, apalagi bersertifikasi.

Terlepas dari penggunaan yang menyimpang dari hotel melati, masih banyak kok pemilik yang memiliki budi pekerti baik.

Salah satu cara mengangkat citra buruk losmen

Anda ingat pondokan hasil bentukan Airy, Red doorz, dan lainya?

Seorang sales manager area akan menyambangi hotel-hotel melati. Pemilik diajak berkolaborasi memajukan usahanya.

Losmen menjadi target penjualannya. Melakukan renovasi sekadarnya. Fokusnya terhadap kualitas kamar serta mengubah sistem reservasi. Sarana penampung keluhan pun tersedia guna menaikkan rating.

Kedua pihak bekerjasama saling menguntungkan. Lalu sistem digiring kepada reservasi kamar digital.

Langkah ini baik, guna mengangkat citra hotel melati yang negatif walau keuntungan yang diperoleh susut.

Pemilik losmen jangan gengsi, khawatir mudarat kalau harga naik. Yang penting usaha halal dan mendatangkan berkah.

Kalau dahulu losmen Bu Broto menjadi teladan harmonisnya hubungan pemilik dan penghuni, kini sistem digital menjadikan tamu lebih individual. Peradaban telah bergeser, meniru ucapan Prof Felix.

Kalau zaman dahulu Bu Broto pakai kebaya dan konde melayani tamu, kini tamu hanya ditemani seorang satpam. Pemiliknya ngumpet di balik layar CCTV.

Kalau dahulu sapaan Bu Broto sebelum check-out, “Kami tunggu kedatangan Bapak/Ibu. Sudilah singgah kembali di lain waktu.”

Kini tamu hanya menyerahkan kunci pada satpam. Lalu duduk sambil order taksi online.

Ya, losmen Bu Broto memang menjadi kenangan.

Salam hospitality.

Comments