Pikir dahulu sesal kemudian (foto Pixabay.com)
Suatu ketika saat jam ibadah, gawai berdering. Tumben hari Minggu ada telpon, pikirku.
“Helo, helo, anda Reni kan. Tahu gak
kalau si Dena itu bedebah, pinjam uang lalu kabur,…..” begitu seseorang nyerocos.
Belum selesai bicara, saya
potong. “Saya sedang ibadah!” lalu saya matikan gawai.
Usai ibadah, iseng saya amati
nomor panggilan itu. Terlintas bertanya, siapa gerangan si penelpon itu?
O, tak cukup menelponku, ia
mengirim pesan. Terang sudah, wanita itu dari sebuah pinjaman online (pinjol).
Si staf ini menyebut nama Dena.
Dena ternyata mantan stafku 7 tahun lalu di pulau sebrang. Saya pun tidak mengetahui
lagi keberadaan dirinya hingga kini.
Bentuk teror ini bukan pertama
kali saya hadapi. Di kemudian hari, penelpon senada terjadi lagi.
Jauh sebelum adanya si penelpon
gelap itu, saya benar-benar gak ngeh apa sih pinjol itu.
Saya tanya kolega dan saya
berikan isi SMS yang bombastis itu. Ternyata kawan menerima kejadian serupa.
Kami korban ulah peminjam online.
Terlintas, bagaimana mereka
mengetahui nomor hpku? Jelas saja, nomorku tak pernah berganti selama
bertahun-tahun.
Namaku telah tersebar di kartu
nama, e-mail signature, dan lainnya. Artinya kolega, pelanggan setia, pasti
menyimpan nomorku
Kisah berikutnya menimpa mantan
kolegaku. Dialah si peminjam online itu.
Suatu ketika dalam briefing sore,
kami yang sedang serius, menerima kabar serentak tentang Adi yang baru saja
resign.
Reni nyeletuk menerima SMS dan
menunjukkannya padaku.
Tak cukup sampai di situ,
hantaman pesan buruk melalui sms dan whatsapp datang bertalu-talu. Semua kabar
buruk, destruktif, negatif tersebar kepada semua kolega.
Kami menggelengkan kepala. Tak habis
pikir. Ada apa dengan pinjol?
Apa yang terjadi di hadapan
seakan wujud tumpahan kekesalan. Sepertinya gak puas jika sejagat raya pun
tidak membulinya.
Apa keuntungan dari pinjol dengan aksi terornya itu?
(*) Melampiaskan kekesalan
(*) Puas telah melakukan
pembunuhan karakter si peminjam online
(*) Tidak ada keuntungan dari
kawan-kawan si peminjam. Malahan sebaliknya, caci maki dari sumpah serapah.
Sungguh tindakan tak terpuji.
Bahkan orang-orang yang tidak terlibat, turut tersiram lumpur.
Persona yang mengurus usaha
pinjol pastilah orang-orang pintar yang cerdas memutar uang.
Konon
jaman dahulu, renternir mendatangi keluarga dari pintu ke pintu menawarkan
pinjaman. Bunganya mencekik. Mengisap darah bagai lintah darat.
Sekali
berhubungan takkan sanggup melepaskannya. Bagai lintah menyedot darah. Kini lintahnya,
wujud pinjol dari perusahaan abal-abal alias tidak legal.
Berkaca pada kasus Dena, meskipun
menuai komentar negatif, anehnya iklan dari berbagai pinjol bak cendawan
selepas hujan.
Lebih aneh lagi, walau peminjam
terperangkap, masih banyak yang tergiur iklan. Jika taruhannya nama hancur mencoreng
reputasi, anda masih mau?
Mengapa ke pinjol abal-abal?
Telah menjadi rahasia umum, bahwa
cara mendapatkan uang yang super gampang, ke pinjol saja. Dalam hitungan sekian
menit, langsung terkonfirmasi.
Selain itu ketertarikan peminjam
disebabkan:
(*) Kebutuhan mendesak
Karena butuh, tidak sadar, bunga
pinjaman berlipat-lipat.
(*) Gali lubang tutup lubang.
Untuk menutupi hutang pertama, yaitu pergi ke pinjol lain. Begitu seterusnya.
(*) Karena iseng berbuntut petaka
Guys,
sadarkah saat anda tergiur si pinjol yang dalam hitungan menit, uang mengalir
ke rekening anda, itulah awal dari kesukaran?
Jika anda tak mampu untuk
membayar tepat waktu. Juga tidak didukung pemasukan yang lancar, mengapa harus
pinjam?
Anda tidak dibenarkan jika kabur,
melarikan diri dari si penghutang sampai kapanpun. Sama dengan rentenir yang
berkeliling bagai singa mencari mangsa. Jalan satu-satunya membayar sampai
lunas.
Nah,
inilah yang tidak dimunculkan di media. Anda masih tergiur jika iklan itu berbunyi
“Jika tak mampu bayar, kami akan teror anda dimanapun dan kapanpun!”
Sebagai hotelier marketing, saya paham benar rasanya menagih hutang.
Saya pun pernah menagih hutang
kepada pelanggan yang selalu tarsok, entar besok. Jawabannya selalu itu-itu
saja.
Jangan sangka, tim marketing
bebas tekanan saat dihadapkan masalah piutang ini lho.
Bisa jadi taruhannya, tim
dipotong gaji gegara langganan yang wanprestasi, lalai, tidak tepat waktu.
Akarnya karena tim penjual adalah yang bernegosiasi lalu memutuskan.
Tomat
busuk, campakkan saja. Dimanapun, pasti ada saja pelanggan yang kepala batu,
ingkar janji dan wanprestasi.
Tak pantang menyerah, kami selalu
mengejar pimpinan dan pembuat keputusan. Bersama 2 kolega, kami mengintai rumah
langganan. Namanya Pak Dude. Meninggalkan hutang Rp 188 juta.
Sebenarnya hal ini murni
kesalahan instruksi komandan. Namun apa daya, inilah kerja tim.
Pak Dude, pelanggan baru itu memberi
jaminan tidak tertulis, tanpa surat penjamin. Hotel sangat percaya, di belakang
layar Dude pun dekat dengan seorang pesohor.
Waktu berlalu, pihak hotel tak
sadar mitra bisnis ini dalam kondisi terseok-seok. Finansial macet, Bung!
Tibalah masa berkejar-kejaran
karena Dude selalu mangkir ke luar kota. Ia mulai tidak jujur.
Kemudian pengintaian dilanjutkan
ke rumahnya. Kami menjadi intel selama 2 minggu. Ah.
Kisahnya menjadi sorotan sejarah
bagi hotel sepanjang berdiri. Perjuangan panjang, pantang bosan, akhirnya hutang
dibayar walau dicicil selama 8 bulan.
Buah
durian, buah manggis. Keduanya dilarang masuk hotel. Beda persona, beda pula kisah
dan strategi menagih hutang.
Namun ada beberapa tip agar
diingat:
1. Seluruh data secara histori
lengkap baik dokumen asli, invoice, maupun dalam file.
2. Kesabaran ekstra untuk selalu
berkomunikasi.
3. Bila tetap tak dapat
dihubungi, cari tahu kepada Pak RT saja agar dibolehkan mengintai.
4. Pantang menyerah dan bosan.
Tagih terus menerus.
5. Pergunakan dengan kata-kata
pedas, tajam bagai silet, bukan dengan kata-kata kasar.
Misalnya “Masakan Bapak gak mampu
bayar. Rumah bapak aja mentereng begini. Saya dipotong gaji lho, kalau bapak
gak bayar.”
“Kalau hutang gak tuntas, kami
akan tetap menunggu di luar rumah sampai bapak bayar. Anggap saja piket.”
Kira-kira begitulah.
(*) Jangan menggunakan tindakan
fisik.
(*) Menjunjung tinggi profesi.
Jika kita menerapkan langkah di atas tapi ia tetap kepala batu, serahkan pada pihak berwajib yang artinya anda relakan hutang tak terbayar.
Menagih hutang itu harus
menggunakan strategi. Salah-salah jika diselimuti dendam, si penagih terkena resikonya.
Jangan ngamuk, caci maki lalu
menyinggung harga diri si peminjam.
Bagi peminjam, ayo belajar
bertanggung jawab dong! Masakan ingin menerima manisnya buah hutang namun
enggan membayar.
Ingatlah, kisah Dena mencoreng
reputasi dan harga dirinya. Malu tak tertahankan.
Berani berbuat, berani
bertanggung jawab.
Kasus pinjol dan si peminjam,
mesti saling tanggung jawab. Jika saling menghargai walau di dunia maya, takkan
terjadi hasutan hingga teror dengan cara keji yaitu pembunuhan karakter.
Dena ternyata telah pindah hotel.
Saya pun mengingatkan agar hati-hati di kemudian hari. Pikir dahulu matang-matang,
sesal kemudian tak guna.
Semoga menjadi pelajaran.
Salam hospitality.
*Seluruhnya nama samaran
Comments