Filosofi Daun Kering

Daun kering yang jatuh menuju aliran air (foto Pixabay gratis)

Suatu ketika, saya sedang asyik mengerjakan sesuatu di lap top. Pandangan tak berkedip karena fokus pada suatu hal.

Sekelebat muncul dalam penglihatan, daun kering jatuh mengenai aliran air sungai yang jernih. Sehelai demi sehelai, bergantian rontok. Air pun membawa gugur daun.

Saya bergeming sejenak. Apa yang baru saja terjadi dalam penglihatanku? 

Meski tidak sering, itulah salah satu cara Allah menyatakan sesuatu. Saya langsung mencari temuan filosofi daun kering.

Daun kering digambarkan sebagai sebuah daun yang layu saat memasuki usia matang. Dalam buku yang ditulis Armada Riyanto, Spiritualitas Daun Kering digambarkan sebagai tahap baru dalam penziarahan.

Tahap baru penziarahan itu adalah pemberian Tuhan. Daun kering sebagai metafora tahap hidup rohani atau spiritual.

Penyebutan daun kering yang dimaksud adalah momen kerendahan hati untuk dimatangkan dan dibakar oleh cinta Tuhan. Pada suatu hari akan bersatu dengan tanah untuk menjadi humus yang menumbuhkan dan menyuburkan aneka tanaman.

Daun kering menampilkan kematangan, bukan daun yang kaku - layu, mati dan segera hancur tak berguna.

Daun kering adalah daun yang matang oleh cahaya matahari. Saat matang, ia memiliki kemampuan lepas dari ikatan dahannya. Jika belum lepas bebas, keterlepasannya merupakan keterarahan.

Spiritualitas daun kering memiliki destinasi rohani, menyuburkan dan menumbuhkan kehidupan sesama dari banyak generasi, bukan hanya untuk diri sendiri. 

Spiritualitas merupakan sebuah perziarahan, perjalanan, peralihan menjadi mencintai.

Daun kering merupakan suatu tahap kematangan. Setiap daun kering mengatakan perubahan. Keringnya daun sepintas menampilkan suatu fase segera gugurnya daun, keterlepasannya dari tangkai, kejatuhannya ke tanah, kesendiriannya dan akhirnya kelenyapannya.

Spiritualitas daun kering adalah spirit kerendahan hati. Kerendahan hati memaksudkan penyatuan diri dengan kehendak Tuhan dalam hidup. Kerendahan hati mengandaikan suatu relasi intim dengan Allah.

Saat daun mengering adalah saat manusia menjadi seorang pendoa. Menjadi pendoa tidak berarti menghabiskan waktu sendirian dalam meditasi. Menjadi pendoa bukan bersandar pada kekuatan sendiri.

Menjadi pendoa berarti menjadi sahabat yang murah hati. Murah hati tidak hanya ala duniawi tetapi juga murah hati yang menyambut siapapun, menerima siapa saja apa adanya dan membawanya pada reaksi kerahiman Tuhan apa adanya.

Suatu saat daun kering menyatu dengan tanah. Ia tak mungkin mempertahankan eksistensi dirinya. Daun kering mulai bersinergi dengan tanah. Ia memberi dirinya masuk dan menyatu dengan tanah.

Momen itu adalah momen untuk bersyukur tiada henti dalam hidup rohani.

Sejak pandemi merebak, saya memang mengatur kedekatanku denganNya. Hari demi hari semakin memupuk rasa kasihku padaNya. Yang Maha Mulia tentu saja terbuka tanganNya.

Dear reader, tidak satupun penglihatan dari Allah tanpa makna. Tergantung hati kita peka dalam mendengar. 

Telah banyak Allah memberikan penglihatan padaku walau hanya beberapa yang kutulis sebagai pengingat pribadi. 

Betapa Ia sangat mengasihi jika kita peka mendengar suaraNya.

Hallelujah. 

Saude!


Sumber: Benediktus Jonas - Kompasiana, Belajar Kebajikan Hidup dari "Daun Kering", Berpijak dari Buku dan Spiritualitas Daun Kering.

Comments