Delusi Ms. Hariatun

 

Delusi (ilustrasi Pixabay gratis)

1970

“Mak, Atun pengin ke Singapura kalau sudah besar.”

“Mau apa di sana, Tun?”

“Mau jadi orang kaya, Mak.”

Wah, Atun ingin jadi orang kaya. Hebat nian impian Atun. 

Mimpi itu membuat senang dan bahagia. Meski hanya khayalan di masa sekarang, barangkali tidak di masa depan.

“Memang enak jadi orang kaya, ya Tun?” kata emak sambil mengunyah goreng tempe.

“Kayaknya gitu Mak, Atun nonton tivi tetangga, katanya harus pakai kapal terbang ke sana.”

2001

“Mak, ini tiket pesawat buat Emak sama Abah ke Jakarta. Sisanya buat beli baju Mak. Inget Mak, ke sana pakai jins sama kaos aja.”

“Maksud Atun, Emak pakai jins?” keheranan, dahinya menggaris.

Atun ingin menyenangkan hati Emak dan Abah. Saatnya membahagiakan kedua orang tua. Tidak sia-sia memiliki cita-cita setinggi langit. Berkat Emak dan Abah, Atun  bersekolah hingga SMA.

Suatu hari di siang bolong, Abah terpeleset ketika memanjat pohon durian. Abah pingsan lalu menghembuskan napas terakhir. Mereka berduka.

2021

Atun cemerlang dalam pekerjaannya. Ia memiliki sebuah toko ubin hasil menabung di bank selama bertahun-tahun.

Menjelang usianya ke 49, Hariatun masih sorangan bae alias jomblo. Bukan karena gak laku tapi ambisi meraih kekayaan untuk menyenangkan emak dan dikagumi tetangga.

Hari itu Kamis pahing. Atun berkunjung ke rumah Pak Suro, Ketua RT. Sindangsirna.

“Begini Pak Suro, tolong dipegang rahasia ini. Sementara rahasia kita berdua saja,” bisiknya.

“Gak usah kuatir Bu Hariatun, pasti saya pegang rahasia,” jawabnya tenang.

“Begini Pak Suro, semenjak Abah wafat, beliau meninggalkan warisan. Saya bermaksud menyerahkan warisan itu sebagai sumbangan kepada warga Sindangsirna.”

“Wah, terima kasih banyak sebelumnya, Bu Atun.”

Antara kaget dan senang, Pak Suro langsung mengabarkan pada istrinya. Tak lama tersiarlah kabar kesukaan itu. Padahal katanya rahasia. Dasar mulut lebar!

Atun jadi pusat perhatian. Kabar santer dari mulut ke mulut. Bisik-bisik Atun akan menyumbang 200 juta untuk warga guna membangun sekolah, tempat ibadah, kolam ikan, tempat bermain anak-anak.

Setelah dihitung-hitung, sisanya akan dibagikan pada setiap kepala keluarga.

Diundanglah semua pesohor negri. Selamatan 7 hari 7 malam dirayakan. Dananya sebagai panjer dari uang Atun karena dana belum cair.

Emak dan Atun senang, apalagi seluruh warga Sindangsirna. Nama Atun populer. Ada yang sirik, ada yang sinis, apalagi yang sewot.

“Duit segitu dari mana dia hah?”

“Warisan abahnya, katanya.”

“Jangan sok uzon dulu dong Neng.”

Begitulah saling sahut menyahut. Atun kalem saja. Atas inisiatif Pak Suro, mereka lapor kepada Kapolres sebab kondisi Atun sudah tak nyaman lagi. Di depan rumahnya selalu nongkrong aparat desa.

Tiba hari yang dijanjikan datang wartawan koran dan awak media tivi ke desa Sindangsirna. Mereka ingin meliput kabar yang menggegerkan itu.

Atun pun diwawancara tivi. Tak ketinggalan kepala desa ikut diwawancara. Klik, klik, klik, difoto bersama.

20 Juni 2021

Hari ke-2 setelah masuk tivi, tetiba Emak heboh, Atun menghilang. Di toko ubin tak ada, ditelepon tak berdering. Atun lenyap!

Pemberitaan semakin gencar. Atun hilang dari desa. Emak sedih, meratap.

“Lho, bagaimana ini?” Tanya Pak Suro pada Pak Kapolres. Kami sudah ribut-ribut di media. “Wah, Bu Atun, kami jadi susah nih!” celoteh Pak Suro.

Acara kenduri pun langsung dihentikan. Pak Suro menutup wajah. Ia malu gegara rahasia yang terucap.

Seminggu, 3 minggu, sebulan, kehidupan berlanjut. Desa kembali tenang.

31 Juli 2021

Tetiba datang sebuah mobil di depan rumah emak. Atun pangling. Ia berbaju batik dengan tas merah di tangannya.

“Oalah Nak, kamu itu dari mana. Mak cari-cari!” Kata Mak sambil nyusur sirih.

“Ini lho Mak, Atun kan ngurusin dana itu.”

“Ini Atun bawa uangnya. Semua cash, 200 juta.”

Uang itu disimpan dalam satu kardus. Dibundel rapi, diikat dalam plastik putih.

Kedatangan Atun tercium oleh Pak Suro.

“Lho Bu Atun kemana. Saya pikir, menghilang…”

“Ini Pak Suro, saya limpahkan uang ini pada Bapak.”

Pak Suro panik, heboh. Ia mengontak aparat desa untuk menjaga uang itu.

“Bapak/Ibu, kami serahkan uang ini untuk pembangunan desa Sindangsirna. Mohon diterima dengan baik,” begitu ujar pidato Hariatun.

Media ribut dan heboh. Tak luput pertanyaan tentang lenyapnya Atun selama 40 hari, 40 malam.

“Bapak, ibu dan rakyat Sindangsirna, mengenai kepergian saya kemarin, saya memang menghilang, menenangkan diri.”

“Saya mendapat wahyu dari penguasa angkasa raya bahwa saya akan dapat hadiah ini.”

Tanpa berbasa-basi, Atun menyerahkan secara sah uang itu sebagai sumbangan.

Dengan penjagaan ketat, boks uang dibawa ke bank guna diperiksa jumlah dan kondisi uang.

Tetiba berita itu jadi gempar.

“Wah, uang palsu ini, palsu!” ujar petugas bank. Kedua kalinya Pak RT kena prank.

Pengawal Pak RT langsung menarik tangan Atun.

“Maksud Bu Atun bagaimana, kok sumbangan pakai uang palsu?”

“Hmm..hmm masa iya Pak? Beneran?”

“Ya ampun, apa Bu Atun halu. Ibu mimpi didatangi siapa kemarin?”

“Hmm..biarlah yang kuasa mengerti maksud saya,” jawabnya kalem.

Delusi Ms. Hariatun. Mimpi-mimpi indah, berkhayal bagai nyata..

“Ya sudah, bubar, bubar! Kita ngopi aja daripada mikirin 200 juta!”

Rombongan itu pun kembali ke desa. Emak kembali melanjutkan kehidupan walau ditinggal putri tercinta, berobat.

Pak RT mulai aktif berkeliling desa kembali, “Siapa tahu banyak Hariatun yang lain,” katanya.

Comments