1970
“Mak, Atun pengin ke Singapura
kalau sudah besar.”
“Mau apa di sana, Tun?”
“Mau jadi orang kaya, Mak.”
Wah, Atun ingin jadi orang kaya.
Hebat nian impian Atun.
Mimpi itu membuat senang dan
bahagia. Meski hanya khayalan di masa sekarang, barangkali tidak di masa depan.
“Memang enak jadi orang kaya, ya
Tun?” kata emak sambil mengunyah goreng tempe.
“Kayaknya gitu Mak, Atun nonton
tivi tetangga, katanya harus pakai kapal terbang ke sana.”
2001
“Mak, ini tiket pesawat buat Emak
sama Abah ke Jakarta. Sisanya buat beli baju Mak. Inget Mak, ke sana pakai jins
sama kaos aja.”
“Maksud Atun, Emak pakai jins?”
keheranan, dahinya menggaris.
Atun ingin menyenangkan hati Emak
dan Abah. Saatnya membahagiakan kedua orang tua. Tidak sia-sia memiliki
cita-cita setinggi langit. Berkat Emak dan Abah, Atun bersekolah hingga SMA.
Suatu hari di siang bolong, Abah
terpeleset ketika memanjat pohon durian. Abah pingsan lalu menghembuskan napas
terakhir. Mereka berduka.
2021
Atun cemerlang dalam
pekerjaannya. Ia memiliki sebuah toko ubin hasil menabung di bank selama
bertahun-tahun.
Menjelang usianya ke 49, Hariatun
masih sorangan bae alias jomblo. Bukan karena gak laku tapi ambisi meraih
kekayaan untuk menyenangkan emak dan dikagumi tetangga.
Hari itu Kamis pahing. Atun
berkunjung ke rumah Pak Suro, Ketua RT. Sindangsirna.
“Begini Pak Suro, tolong dipegang
rahasia ini. Sementara rahasia kita berdua saja,” bisiknya.
“Gak usah kuatir Bu Hariatun,
pasti saya pegang rahasia,” jawabnya tenang.
“Begini Pak Suro, semenjak Abah
wafat, beliau meninggalkan warisan. Saya bermaksud menyerahkan warisan itu
sebagai sumbangan kepada warga Sindangsirna.”
“Wah, terima kasih banyak
sebelumnya, Bu Atun.”
Antara kaget dan senang, Pak Suro
langsung mengabarkan pada istrinya. Tak lama tersiarlah kabar kesukaan itu. Padahal
katanya rahasia. Dasar mulut lebar!
Atun jadi pusat perhatian. Kabar santer
dari mulut ke mulut. Bisik-bisik Atun akan menyumbang 200 juta untuk warga guna
membangun sekolah, tempat ibadah, kolam ikan, tempat bermain anak-anak.
Setelah dihitung-hitung, sisanya
akan dibagikan pada setiap kepala keluarga.
Diundanglah semua pesohor negri.
Selamatan 7 hari 7 malam dirayakan. Dananya sebagai panjer dari uang Atun
karena dana belum cair.
Emak dan Atun senang, apalagi seluruh
warga Sindangsirna. Nama Atun populer. Ada yang sirik, ada yang sinis, apalagi
yang sewot.
“Duit segitu dari mana dia hah?”
“Warisan abahnya, katanya.”
“Jangan sok uzon dulu dong Neng.”
Begitulah saling sahut menyahut.
Atun kalem saja. Atas inisiatif Pak Suro, mereka lapor kepada Kapolres sebab
kondisi Atun sudah tak nyaman lagi. Di depan rumahnya selalu nongkrong aparat
desa.
Tiba hari yang dijanjikan datang wartawan
koran dan awak media tivi ke desa Sindangsirna. Mereka ingin meliput kabar yang
menggegerkan itu.
Atun pun diwawancara tivi. Tak
ketinggalan kepala desa ikut diwawancara. Klik, klik, klik, difoto bersama.
20 Juni 2021
Hari ke-2 setelah masuk tivi,
tetiba Emak heboh, Atun menghilang. Di toko ubin tak ada, ditelepon tak berdering.
Atun lenyap!
Pemberitaan semakin gencar. Atun
hilang dari desa. Emak sedih, meratap.
“Lho, bagaimana ini?” Tanya Pak
Suro pada Pak Kapolres. Kami sudah ribut-ribut di media. “Wah, Bu Atun, kami
jadi susah nih!” celoteh Pak Suro.
Acara kenduri pun langsung
dihentikan. Pak Suro menutup wajah. Ia malu gegara rahasia yang terucap.
Seminggu, 3 minggu, sebulan,
kehidupan berlanjut. Desa kembali tenang.
31 Juli 2021
Tetiba datang sebuah mobil di depan
rumah emak. Atun pangling. Ia berbaju batik dengan tas merah di tangannya.
“Oalah Nak, kamu itu dari mana.
Mak cari-cari!” Kata Mak sambil nyusur sirih.
“Ini lho Mak, Atun kan ngurusin
dana itu.”
“Ini Atun bawa uangnya. Semua cash,
200 juta.”
Uang itu disimpan dalam satu
kardus. Dibundel rapi, diikat dalam plastik putih.
Kedatangan Atun tercium oleh Pak
Suro.
“Lho Bu Atun kemana. Saya pikir,
menghilang…”
“Ini Pak Suro, saya limpahkan
uang ini pada Bapak.”
Pak Suro panik, heboh. Ia
mengontak aparat desa untuk menjaga uang itu.
“Bapak/Ibu, kami serahkan uang ini
untuk pembangunan desa Sindangsirna. Mohon diterima dengan baik,” begitu ujar
pidato Hariatun.
Media ribut dan heboh. Tak luput
pertanyaan tentang lenyapnya Atun selama 40 hari, 40 malam.
“Bapak, ibu dan rakyat
Sindangsirna, mengenai kepergian saya kemarin, saya memang menghilang, menenangkan
diri.”
“Saya mendapat wahyu dari penguasa
angkasa raya bahwa saya akan dapat hadiah ini.”
Tanpa berbasa-basi, Atun
menyerahkan secara sah uang itu sebagai sumbangan.
Dengan penjagaan ketat, boks uang
dibawa ke bank guna diperiksa jumlah dan kondisi uang.
Tetiba berita itu jadi gempar.
“Wah, uang palsu ini, palsu!”
ujar petugas bank. Kedua kalinya Pak RT kena prank.
Pengawal Pak RT langsung menarik
tangan Atun.
“Maksud Bu Atun bagaimana, kok
sumbangan pakai uang palsu?”
“Hmm..hmm masa iya Pak? Beneran?”
“Ya ampun, apa Bu Atun halu. Ibu
mimpi didatangi siapa kemarin?”
“Hmm..biarlah yang kuasa mengerti
maksud saya,” jawabnya kalem.
Delusi Ms. Hariatun. Mimpi-mimpi indah, berkhayal bagai nyata..
“Ya sudah, bubar, bubar! Kita
ngopi aja daripada mikirin 200 juta!”
Rombongan itu pun kembali ke desa. Emak kembali melanjutkan kehidupan walau ditinggal putri tercinta, berobat.
Pak RT mulai aktif berkeliling desa kembali, “Siapa
tahu banyak Hariatun yang lain,” katanya.
Comments