Ramai-ramai Jual Hotel atau Pilih Bertahan?

 

Ramai-ramai jual hotel. Menyerah atau di jalan buntu? (ilustrasi Pixabay)

Kawan sejati tak mengenal masa. Lama tak bersua, dialah kawan yang selalu menginspirasi.

Jack kawan lamaku. Tak terpikir ia berlabuh di hotel  mungil itu. Kepindahannya mengejutkanku. Hotel barunya di kawasan Mangga Besar - Jakarta, bukanlah impiannya, apa daya, tiada dayung, papan pun jadi.

Siapa menduga pandemi tetiba menghentikan aktivitas seluruh hotel. Telah 18 bulan, industri hospitality beradaptasi dengan kondisi new normal. Rasanya baru kemarin kami disibukkan tumpukkan pekerjaan yang tak habis-habisnya.

Jack, hotel manager di hotel berbintang dua itu. Ladangnya terdahulu, hotel berbintang 4 di Bali. Maksud kepindahannya ke Jakarta, ingin berada dekat keluarga

“Yah, saya masih beruntung berlabuh di hotel ini!” ujarnya dengan penuh syukur.

Kami pun janjian bertemu di hotelnya. Jack sumringah ketika saya berjumpa setelah perpisahan yang sangat lama.

Hotel itu bersih dan apik seperti Jack yang selalu resik tampil dengan baju batiknya. Kini ia tak lagi berbaju jas  sehari-hari.

Dua botol kecil mineral disajikan resepsionis. Tiada welcome drink, strawberry juice atau capucino.

“Syukurlah, pemilik hotel amat baik menyikapi kondisi yang tak menguntungkan ini, Bu!”

Seketika Jack tersenyum saat seorang pria paruh baya lewat di hadapan kami.

“Itu Pak Edi, beliau sesekali bertandang kemari” ujar Jack, setengah berbisik. Pak Edi, pemilik hotel itu.

Jack satu dari sekian banyak hotel manager yang terdampar di hotel berbintang 2. Ia  menyebutnya down grade, turun level, dapat dikatakan begitulah kondisinya kini karena sempitnya lapangan kerja berhubung banyak hotel tutup permanen.

“Sejak awal pandemi, Pak Edi sama sekali tak membantu biaya operasional hotel,” katanya, membuyarkan lamunanku tentang perubahan drastis Jack.

 “Kami harus membiayai sendiri dari pendapatan hotel setiap hari.” Ujar Jack

Pemasukan hotel yang minim digunakan untuk operasional dan gaji karyawan. Jika berkata jujur, hampir tidak ada yang disisihkan untuk sang pemilik.

Ilustrasi diskusi penjualan hotel by Pixabay

Ramai-ramai menjual hotel

Bisnis hotel meradang. Maju terhalang, mundur tertahan. Sebagian pebisnis hotel memilih menyerah ketimbang sulit tidur memikirkannya. Dalam keadaan buntu akhirnya marak di media, berita penjualan hotel-hotel di Nusantara.

Mulai non bintang hingga bintang 5. Harga yang ditawarkan, mulai harga Rp 4,7 miliar juta rupiah hingga termahal Rp 60 triliun. Terpampang 1943 hotel dijual hingga hari ini. (sila dilihat dalam rujukan).

Jualan hotel bak cendawan selepas musim hujan. Daerah Bali adalah wilayah terbanyak. Tingginya biaya operasional hotel, itulah penyebab hotel megap-megap, bak ikan bernafas di darat.

Selain tingginya biaya operasional, pembayaran kredit kepada bank semakin menumpuk karena gagal bayar. Inilah alasan mendasar.

Adakah investor tertarik membeli di tengah situasi  demikian?

“Ada saja peminatnya, meski hanya segelintir!” mata jack melotot, meyakinkanku.

“Investor mungkin berharap sebagai investasi di tahun-tahun mendatang,” tambahnya lagi.

Masa penantian itu memerlukan kesabaran ekstra. Menunggu secercah sinar, seakan bayangan hanya melambai-lambai di pelupuk mata.

Menjual hotel adalah penyelesaian di jalan buntu. Namun ada langkah pencegahan yang patut dipertimbangkan sebelum tutup permanen.

Pertama, Tetap beroperasi dengan pengurangan karyawan dan penghematan di berbagai pos.

Model pengurangan karyawan, walau pedih mesti dilakukan. Biasanya yang tergerus, karyawan yang masa kontraknya tidak akan diperpanjang.

Karyawan hotel dan manajemen bekerja sama, saling menyemangati. Jangan putus asa! Jika tawar hati disaat sukar, keadaan akan semakin terpuruk.

Kedua, Operasional hotel tetap berlangsung hindari pemutusan hubungan kerja (PHK). Seluruh karyawan tetap aktif bekerja, menerima keadaan, berusaha bertahan.  

Yang berat sama dipikul, yang ringan sama dijinjing. Pemilik, manajemen dan karyawan kompak dalam menghadapi masalah.

Di Jakarta terdapat beberapa hotel dalam daftar tempat isolasi mandiri. Usaha mereka patut diapresiasi, tetap eksis di tengah kondisi yang beresiko.

Ilustrasi kamar hotel by Pixabay

Ketiga, manajemen mendapat alternatif penghasilan dari berbagai sumber.

Manajemen memberi gairah dan spirit kepada karyawan untuk bercocok tanam di lahan luas. Hasilnya guna kesejahteraan karyawan maupun dijual di pasar.

Kebun itu menghasilkan terong, cabe merah, tomat, bawang merah, daun singkong, pisang, dsb.

Di Yogyakarta, pemilik hotel membuka pesanan bakmi. Karyawan dikerahkan dalam proses delivery service.

Yang bertahan akan tampil sebagai pemenang. Slogan klasik, melahirkan pemenang.

Keempat, hotel tutup sementara sambil menanti waktu terbaik dibuka kembali.

Menahan derasnya pengeluaran adalah upaya yang harus dilakukan setiap hotel. Ditutupnya hotel sementara waktu membendung biaya operasional hotel yang aduhai besarnya jika tak diimbangi pemasukan.

Namun demikian, meski hotel tutup sementara, tetap tak dapat terhindar dari biaya listrik dan tenaga pengamanan.

Tengok saja, mesin-mesin yang terbengkalai dalam kurun waktu lama, entah itu aus, berkarat. Kain-kain linen, sprei, bed cover, sarung bantal jika lama tidak digunakan akan berganti warna.

Apakah Anda masih menjaga prestise dan image hotel?

Target yang telah dibundel dalam budget, bagai katak hendak jadi angsa, hal yang sulit tercapai. Setidaknya tersimpan beberapa waktu lamanya.

Adalah lebih baik membiarkannya lumpuh sementara waktu ketimbang manajemen tak lagi mampu merangkak.

“Asal kita pandai-pandai mengatur cash flow, setidaknya tidak mengharapkan bantuan pemilik hotel. Kita berusaha mandiri dengan segala yang ada.” Ujar Jack. Saya setuju pendapatnya.

Bisnis hotel memang dalam keadaan (sangat) terpuruk. Membutuhkan rentang waktu panjang agar mampu bertahan. Lakukan langkah positif apa pun yang dapat dikerjakan sekarang, baik oleh pemilik, manajemen hotel serta karyawan agar bendera hotel tetap berkibar.

Bara yang digenggam biarkan jadi arang. Dalam melakukan sesuatu, hendaklah bersabar sampai berhasil.

Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat yang diberlakukan kemarin, 3 Juli 2021 di Pulau Jawa dan Bali, akan mengguncang hotel yang sebelumnya telah berangsur membaik.

Seorang kawan di Balikpapan berujar, seluruh acara pertemuan, pernikahan di hotelnya, semua ditunda. Sampai kapan? Sampai setiap individu disiplin, patuh terhadap protokol kesehatan.

“Syukurlah, hotel ini masih eksis. Sakit menimpa, sesal terlambat, bila sudah terlanjur terjadi, menyesal tiada guna. Pertimbangkan matang sebelum menjual hotel,” ujar Jack menutup obrolan.

Salam hospitality.

 

Artikel terkait:

1. Inilah 8 cara promosi kreatif yang perlu diterapkan oleh pengusaha

2. Tentukan pilihanmu, mengejar uang atau menjadi hotelier sejati?

Rujukan:

1. Hotel-hotel di Jakarta Dijual di Marketplace akibat Pandemi Covid-19, Ada yang Harganya Rp 2,7 Triliun

2. Daftar Terbaru Hotel Isolasi Mandiri di Jakarta Beserta Nomor Telepon yang Bisa Dihubungi. 1 Juli 2021, kompas.com

3. Lumudi.co.id, hotel dijual

 Catatan: nama-nama disamarkan.

Comments