Inilah Syarat Tak Tertulis, Jika Ingin Menjalin Hubungan dengan Kekasih Beda Negara

 

Kenali karakter umum dari pria beda negara (ilustrasi Pixabay)

Mulanya hanya daya tarik biasa saja. Semasih remaja, kenal teman bule, Ray yang ngefan berat dengan sepak bola.

“Ya sudah, putus aja,” kataku, sementara kata hati bersuara sebaliknya.

Kata orang, first love takkan terlupa. Bukan karena indahnya kisah cinta itu tapi tumbuhnya kebahagiaan cinta di hati yang tak dapat dilukiskan.

Tahun berganti, bertemu lagi dengan kawan sepermainan. Putus nyambung sudah biasa.

“Carilah kawan sebanyak-banyaknya, jika hendak serius, barulah pilih yang mantap,” kata ibuku yang berdarah Jepang.

Pernah pula pengalaman LDR (Long Distance Relationship) melalui situs perjodohan. Bukan karena diriku tak laku (hehe) tapi penasaran ada apa dengan pertemanan gaya LDR itu.

Tak apalah, sekadar pengalaman, menambah kisah cinta di hidupku. Toh akhirnya tidak terwujud juga. Nah, bacalah di artikel terkait ya.

Sebagai hotelier tentu tak asing lagi jumpa berbagai client. Setiap hari pasti bersua pelanggan dari berbagai negara.

Yang sulit berbahasa English dengan bule asli England. Bahasanya keriting di lidah, intonasinya sangat cepat, lidah harus dibolak-balik. Lama-lama terbiasa.

Saya pun rajin mengajari Jack berbahasa Indonesia. Kadang bahasa campuran Malayu karena sebagian besar waktunya di Malaysia.

Suatu ketika saya mengomentari kedernya seseorang. Istilah itu entah dari mana asalnya, tapi biasa diucapkan.

“Ah, dasar tempe!” kataku

Karena sering mendengar tempe, ia berujar kepada seorang waiter, “Ah, dasar tempe!” Saat dirinya kesal mengulang pesanan makanan. Mas waiter untungnya tidak paham arti tempe itu. Hati-hati mengajari kata yang tak benar lho, dia akan membebek.

Ya, pertama kali jumpa karena hubungan bisnis. Kebetulan saya di bagian penjualan hotel itu.

Syarat yang tidak tertulis

Berbekal putus nyambung berganti teman bule, ada  beberapa catatan tersendiri. Dari pengalaman pribadi, saya mencatat beberapa hal.

Setiap orang pasti berbeda kesan, inilah beberapa di antaranya:

(*) Paham bahasa komunikasi dengan baik.

(*) Pria bule menyukai wanita yang mandiri. Tidak selalu bergantung padanya.

(*) Idaman para cowoq bule adalah wanita yang cerdas (tentu saja setiap pria mengidamkannya ya hehe).

(*) Tidak melawan, tidak belagu. Bahasa Sundanya songong. Maksudnya jangan sok tahu atau merasa lebih tahu darinya.

(*) Punya chemistry, nyambung dalam obrolan.

(*) Setidaknya berhobi sama. Minimal satu hobi.

Dari penampilan:

(*) Kulit bersih (tidak berarti putih ya).

(*) Wajah natural (tidak bermake up tebal, menor)

Rombongan kecil VIP itu dipimpin oleh Jack yang akan bermalam di hotel. Kami menjadi host acara bergengsi dari perusahaannya.

Acapkali pertemuan mengharuskan kami fokus pada susunan acara yang detail. Persiapan ini memakan waktu panjang berhubung persiapan harus matang sebelum jadwal kedatangan.

Tersebab kerap bertemu, timbul daya tarik. Suatu ketika tercetuslah komitmen awal, gegara seekor nyamuk terbang dan….clok! Hinggap di lenganku. Ini bukan kiasan. Nyamuk yang menggigit lenganku itulah awal keakraban. Tersebab kisahnya akan panjang, jadi tak perlu diulas.

Komitmen itu sederhana saja. Setiap hari menyediakan waktu untuk menyapa. Smile and greet di YM, yahoo messenger. Aplikasi itu kini sudah lenyap.

Setiap hari minimum 2 kali berkontak ria. Saat dirinya bangun pagi dan bangun pagiku WIB pukul 05:00. Hal ini tidak sulit sebab ia berdomisili di Malaysia.

Kedekatan dengan Jack membuatku kadang dilanda cemburu. Diam di rumah sepertinya terpikir hal-hal yang tidak-tidak. Tak mau dibayang-bayangi oleh olah pikir negatif, saya rindu kesibukan yang dahulu pernah kujalani.

Diam di rumah, sementara Jack di tengah lautan (offshore), rasanya sepi. Sejak itu saya diizinkan kembali bekerja asalkan keluarga tidak terlantar.

Syarat tambahan setelah berkeluarga

Setelah berkeluarga ada kriteria tambahan sebagai pelengkap yaitu teliti dalam hal finansial keluarga. Sekilas, begini kisahnya..

Menyoal finansial, Jack selalu rapi dalam mengatur keuangan untuk keluarga. Bahkan karena terlalu rapi seolah ia suami yang pelit. Ada saja peletup kesalahpahaman, padahal tidak begitu lho.

Saya royal, boros dan sangat buruk mengatur keuangan. Sifat ini berbanding terbalik dengan Jack yang teliti. Kepiawaiannya mengatur finansial dapat ditiru seperti:

(*) Jumlah uang yang diberikan selalu tepat waktu dan tidak pernah kurang.

Setiap bulan, ia akan setia dan tepat memberikan kewajibannya, termasuk permintaan ekstra untuk keluarga.

(*) Sebisanya disertakan bukti pendukung. Invoice, bill, kwitansi, nota. Apalagi untuk pembayaran lebih dari Rp 1 juta.

Saya bebas meminta, tapi saya pun wajib menyebutkan kegunaan uang itu. Jika dipandang tidak perlu, ia takkan meluluskan, misalnya hal yang berbau luks dan mubazir, untuk operasi hidung jadi mancung hehe.

Iya juga sih, hal beginian tidak semestinya diberi anggaran. Ya kan?

Atau ketika melihat sepatuku sudah berderet, ia takkan mengabulkan untuk permintaan sepatu baru. Simpel dan masuk akal.

Jadi, urusan finansial ini penting Sob, sebab menyangkut kelangsungan keluarga di masa mendatang. Pria yang pandai mengatur finansial setidaknya membuat keluarga tenang.

Bagaimana halnya dengan uang pribadi dari pekerjaanku? Nah, yang ini, dia tak mau ikut campur. Lalu? Sebebasnya bisa kugunakan. Traktir teman, beli hadiah untuk keponakan, beli tas, ganti gawai baru.

Kebablasan bersenang ria dengan uang pribadi akhirnya terjerat kartu kredit. 3 kartu kredit yang saat itu berjumlah Rp 60 juta di tahun 1999-an membuat saya tak dapat membayar dari gaji pribadi.

Kemudian terpaksa saya berlindung di balik sayapnya.

“Give me all your cards!” katanya.

Lalau krek, krek, krek, diguntinglah semua kartu itu dan saya harus janji.

“No more credit card!”

Jack membayar semua tagihan. Lunas. Hati plong, lega. Sejak saat itu kartu kredit bagai monster bagiku. Namun sejak itu pula saya terbebas dari hutang dan tak pernah lagi memiliki kartu kredit hingga saat ini.

Saya teringat pesan Kompasianer Maestro, Bapak Tjiptadinata Effend. Saya memanggilnya Opa Tjip. Dalam kumpulan artikelnya Opa Tjip pernah menulis, jika ingin meninggalkan negri, harus berani melepaskan belenggu. Inilah yang membekas di benak hingga saat ini.

Saya gentar kehilangan sanak saudara, kerabat, kolega, kawan-kawan di tanah air. Tidak hanya itu, juga segala pernak pernik yang belum siap saya tinggalkan.

Sambil menulis artikel ini, Jack masih tekun di offshore. Jadi, masih ada waktu untuk menyiapkan mental dan jiwa yang mantap sebelum kami berlabuh di suatu tempat.

Salam hangat.

Comments