Resort hotel yang dikelilingi
tanaman hijau itu jauh dari keramaian. Walau
hotel lawas yang penting aku dan tim dapat menjualnya, pikirku.
Tidak salah Pak Suro mendapukku
sebagai bos marketing. Inilah tantangan!
“Selamat pagi Bu Tira,” sapa Pak
Suro di hari pertama. masa familiarization.
“Pagi Pak Suro.”
“Saya ingatkan Bu Tira, jika
belum dapat kostel, tinggal saja di hotel ini. Sesuka hati.”
“Maksud Bapak….?”
“Begini, Ibu boleh tinggal di
hotel semaunya.”
Tawaran ini sedang kupikirkan,
masalahnya kalau ku tinggal di hotel, ruang gerakku serasa sempit. Lagipula
mana bisa kupakai celana pendek saat berkelintaran di halaman hotel.
“Oh, ya nanti saya pikirkan, Pak
Suro. Anyway, thanks for your offer,” jawabku.
Hari ke-2, rencanaku berkeliling
ke setiap lantai yang jumlahnya hanya 4 lantai dengan 150 kamar.
Dari jauh hotel butik ini memang
mengagumkan. Arsitek gaya Eropa berdekorasi unik. Menurut Pak Suro memasuki
usia 16 tahun ini.
Pemiliknya dikenal dengan nama
Madam Retha. Tak jelas siapa sosok Madam Retha, konon ia dan keluarga berada di
England hingga sekarang. Akupun tak terlalu pusing memikirkannya.
Setelah berjalan-jalan di halaman
luas itu, aku kembali ke kamar, meluruskan kaki yang pegal karena naik turun
jalanan setengah berbatu.
Jarak dari jalan raya ke lobi
hotel jauhnya kira-kira 300 meter. Hotel resort ini agak terpencil dari pemukiman.
Pepohonan rimbun menaungi keteduhan lapangan rumput.
Setiba di kamar kutaruh handphone
di meja marmer dan gelang merah pemberian suamiku. Kunyalakan TV agar suasana
tidak terlalu hening.
“Ting tong, ting tong, ting
tong…” Suara handphoneku.
“Oops!” Kok unkown caller?
Pikirku
Ah, mungkin si Jeremy yang iseng
itu. Dia memang ngebet. Kenapa pula cari ceweq kok yang sudah dobel?
“Ting tong ting tong ting tong..”
“Helo, siapa ini?” tanya suara wanita
di sebrang sana.
“Klik…!” suara terhenti. Nomornya
+1 669 444-1925
Ya sudahlah, ku mandi dulu agar
badan tak lengket. Air dingin menyiram tubuhku. Segar menerpa kulit, hilanglah lelah dan kantuk. Semalam hanya 4
jam kutidur.
Selesai mandi, ku berniat menelpon
anakku yang sedang camping di luar kota. Oh my, hp dimana? Aku mengingat-ngingat
dimana tadi ku menaruh hp. Kucari-cari hpku yang lenyap di meja marmer.
Lho kok ada di balkon? Seingatku, belum
keluar kamar. Ya, mungkin kulupa juga. Belakangan memang
tumpukan pekerjaan menyita perhatiankku.
Kunyalakan coffee maker. Aku
ngopi di kamar saja dulu ketimbang di Flamboyan Resto. Hmm nikmatnya kopi
luwak. Memang tiada taranya.
Sementara menunggu jam meeting
dengan Pak Suro dan tim. Kunyalakan channel Sky News. Kakiku selonjoran di atas
sofa.
Tetiba…
Kukucek lagi mataku. Tak salahkah
mataku? Omg! Coffee maker kok berjalan…?
“Hey, you wanna play with me?”
Suaraku cukup keras menghentak kamar. Langsung kuberpakaian menuju resto.
Tampak Pak Suro duduk sendirian
di resto. Secangkir kopi di hadapannya.
“Selamat pagi, Pak Suro!”
“Pagi Bu Tira.”
Kami duduk berhadapan. Waktu yang
tepat, aku harus menyampaikan ini secepatnya.
“Pak Suro, saya ...saya mau
tanya,” kok suaraku mendadak tersendat.
“Ada apa Bu?”
“Apa benar, di hotel ini ada …..”
suaraku macet lagi.
“Hantu? itu cuma gosip aja Bu.
Biasa kalau bisnis hotel pasti bersaing. Dari dulu saya dengar rumor murahan
itu. Anggap aja angin lalu,” jawab Pak
Suro.
“Tapi…tapi..” kataku lagi.
“Bu Tira harus kuat menghadapi
segala rumor. Saya sudah dengar sejak datang di kota ini,
tapi hotel tetap laku tuh!” suaranya meninggi.
“Oh baiklah Pak, saya kan cuma
tanya.”
Sejak itu, ku takkan mengingatnya
lagi. Toh itu hanya gosip murahan untuk menghancurkan image hotel seperti
ucapan Pak Suro.
Hari ini ini aku berniat memeriksa kantor dan bertemu dengan tim marketing. Mereka berempat saja, tim yang ramping.
Aku duduk di kursi yang telah
lama rapuh. Busanya sudah tipis. Kutampak pendek karena kursi yang selalu
melorot. Ah, ini benar-benar kursi tua.
“Hello guys, nice to meet you.”
Setelah perbincangan seru, inilah
saatnya aku harus bertanya pada mereka.
“Btw, setelah sekian lama kalian
bekerja, kira-kira apa komplain terbanyak dari tamu?”
“Oh…” Semua staf saling berpandangan.
“Ayo siapa yang mau jawab?”
“Begini Bu, mengenai…”
“Hantu!” kataku
“Iya Bu…!” katanya serempak
“Nah sekarang, menurut kalian,
ada atau gak di hotel ini?”
Semua terdiam. Kemudian Tito
mulai bersuara.
“Kebanyakan tamu komplain gegara
hantu ceweq Bu.”
“Lalu, apa jawab kamu?”
“Ya, kami diam saja.”
“Ok, begini guys. Saya tanya, menurut
kalian hantu ceweq itu adakah di hotel ini?
“Ada.. Bu!”
Seketika buluku merinding.
Mungkin itu sebabnya ia menggangguku juga semalaman sampai ku tak nyenyak
tidur.
“Ting tong ting tong ting tong…!”
“Helo Bu Renita, di hotel mana
nih sekarang. Masih di Hotel Celeste kah?”
“Bukan Bu, sekarang di Hotel Izzhe.”
“Oh, bukankah hotel itu
berhantu?” tanya May, pelanggan setia, yang selalu minta pertolongan jika
hendak liburan.
Saya terdiam.
“Kapan Ibu ke sini?” tanyaku
mengalihkan pembicaraan.
“Wah belum tahu, lagi pula kalau
ke sana, aku gak nginep di hotelmu itu. Ngeri ah!” jawabnya polos.
Duh ada lagi. Mengapa hantu lebih
populer sejak ku menginjak hotel ini.
Usai sudah program
familiarization dari management. Aku kembali ke kamar.
Saatnya esok menandatangani kontrak
kerjaku. Esok pagi pula harus kuputuskan maju atau mundur. Dan semalam lagi aku harus siap menghadapinya. Malam ini, sendirian.
Note: foto by Pixabay gratis
Comments