Bertahun-tahun terpisah karena pilihan alur hidup serta nasib peruntungan, suatu ketika saya berjumpa Ruth, adik Mima.
Semasa studi di negri kangguru,
Ruth kerap diajak Mima ke hotel, tempat kami bekerja. Umur mereka terpaut 3
tahun. Mima, kolegaku dipersunting pria bule dan menetap di Amerika hingga
kini.
Ayah Mima seorang pengusaha. Kala
pembagian warisan, Mima diberi tugas mengurus perusahaan sebuah produk sabun
tradisional. Namun entah kenapa, bisnis itu terhenti.
Hubungan pertemananpun terputus. Kami
menjalani kehidupan masing-masing.
Suatu ketika, atas rekomendasi
seorang kawan, saya diminta menghubungi general manager Hotel Celeste. Saya
memang sedang mencari kontrak kerja lanjutan.
Setelah proses wawancara, saya
dipertemukan dengan pemilik hotel. Pertemuan ini suatu kejutan buatku.
Sebelum menandatangani kontrak
kerja, sang pemilik ingin jumpa denganku.
“Kamu tunggu di sini ya, saya
panggil big bos,”ujar Pak Don, calon bosku.
Seorang gadis belia menghampiriku.
Kami saling tersenyum. Saya mengira ia sekertaris, suruhan sang bos. Tubuhnya langsing, memakai baju kasual.
Wajahnya natural, tanpa polesan.
Dugaanku meleset, Ibu bos duduk
di kursi yang bersebrangan denganku.
“Ren, ini Ibu Ruth.” Kami bersalaman.
“Terima kasih Ibu Renita, selamat
bergabung ya.”
Sebelum meninggalkan lobi, dalam
percakapan terakhir, ia mengucapkan sesuatu.
“Btw, saya Ruth, adik Mima. Masih ingat?”
“Oh,” mulutku melebar. Hatiku
kegirangan.
Owner hotel itu adik Mima yang
sering diajak ke kantor. Ruth, gadis belia, lulusan sekolah perhotelan di
Australia. Ia memimpin 152 karyawan hotel termasuk diriku.
Gaya
kepemimpinannya sering dicontek para karyawan senior. Orang bilang ia masih bau
kencur.
“Ren, aku harus ke Warnasari
dulu. Pimpinan yayasan ingin jumpa katanya. Kalau ada apa-apa, telpon aja ya.”
“Baik Bu,” jawabku.
Saya memanggilnya Ibu. Panggilan
hormat.
Ruth berhubungan dengan banyak
panti asuhan, panti jompo di kota itu. Tanpa banyak cakap, ia sendiri yang terlibat
membantu tanpa mendelegasikan pada karyawan.
Tahun berganti, tak terasa
kontrakku menginjak tahun ke-4. Pada tahun ke-4 ulang tahun hotel, Ruth menghentikan
penggunaan seluruh sprei, bantal, handuk, bedcover, sarung bantal dari 3
parstock untuk 150 kamar. Hotel akan dilengkapi kain-kain anyar.
Kain-kain itu disumbangkan kepada
seluruh panti. Pembagian sangat adil dan merata, tanpa pandang bulu, suku, ras
dan agama.
Kabar keracunan makanan
Perjalanan tak selamanya lancar. Ada
saja batu penghalang untuk menabur kebaikan.
Tidak hanya kain-kain kamar
hotel, makanan hotel turut dibagikan setiap hari. Makanan itu bukanlah sisa. Dikirimnyalah
ke panti jompo dan panti asuhan secara teratur, bergiliran.
“Pak Don, tolong buatkan memo, Mulai
besok minta FB product siapkan 40 sampai 50 porsi makan siang. Menu mengikuti
peserta meeting. Jika tidak ada meeting pakai menu rotasi,” ujarnya suatu
ketika.
“Atur supaya kita bisa kirim ke
panti-panti dalam daftar itu!” Instruksinya pada general manager.
“Mulai kapan Bu?”
“Besok!”
Sejak saat itu menu prasmanan
makan siang ditambahkan 50 porsi. Ruth tidak memandang sebagai kerugian jika
food cost tinggi.
“Untuk apa hidup berkelimpahan
tanpa memberi,” ujarnya suatu hari.
“Hati ini terpuaskan jika mampu
menolong saudara kita,” Katanya lagi. Bosku
manggut-manggut, tentu saja harus sepakat.
Dua bulan kemudian..
Tiada
angin, tiada hujan. Dua awak media ingin bertemu pimpinan hotel. Jurnalis ingin
mengorek langsung perihal keracunan makanan di panti asuhan Waringin. Berita begitu
cepat tersiar.
“Makanan yang dikirim tadi siang,
basi!” GM mengulang informasi jurnalis itu. Ruth terdiam. Kami semua panik!
“Anak-anak itu telah dilarikan ke
rumah sakit,” ujarnya. Ruth langsung meneliti makanan yang dikirim. Adakah makanan
basi? Jam berapa dikirimkan lalu dimakan?
Ia langsung menginvestigasi
rangkaian waktu dari mulai memasak hingga makanan ditelan.
Berjam-jam kami terdiam sambil
menunggu hasil laboratorium, karena issue keracunan itu. Kejadian ini kasus luar
biasa. Pimpinan menginstruksikan seluruh staf food & beverage product dan
service untuk melapor secepatnya.
Ruth murung. Jiwanya menangis
karena duka hati. Selang 4 jam, keluarlah hasil investigasi dari uji lab. Ibu kepala
yayasan menelpon Ruth langsung.
Empat remaja terkena racun karena
olahan jamur yang berasal dari kebun di luar area asrama. Jamur diolah menjadi masakan tanpa setahu ibu
pengawas.
Setelah menelpon, Ruth menarik
napas, lega.
“Ren, aku ke kamar dulu ya,” katanya.
Kejadian itu tidak menciutkan
hatinya. Manajemen hotel tetap memasak
makanan untuk panti-panti di kota. Bahkan kini porsi makanan berlipat kali
ganda.
Tahun
demi tahun mengabdi padanya, ia mewariskan
sesuatu yang tak ternilai harganya. Harta itu kemurahan hati.
Namun hanya ada satu hal yang tak
dapat ditebus. Waktu itu takkan pernah kusia-siakan. Saya resign. Sejuta cerita
kebaikannya tersimpan di hati, takkan sirna ditelan masa.
“Ren, ini untuk kamu.
Kenang-kenangan dari kita,” katanya saat memberiku kado perpisahan.
Ada
banyak jalan membagi kebaikan. Tidak hanya materi, tapi juga tenaga, waktu dan
perhatian.
Di masa pandemi, semakin
berlimpah saudara-saudara kita yang memerlukan perhatian. Dari sejuta kebaikan,
adakah satu kebaikan tersisa untuk mereka?
Salam hospitality.
Catatan: Tulisan ini dalam rangka
lomba menulis “Sejuta Kebaikan” dari Ruang Berbagi – Kompasiana.
Nama-nama pelaku, hotel dan
tempat, disamarkan.
Comments