Adakah Satu dari Sejuta Kebaikan Tersisa Bagi Mereka?

 

Gula-gula (ilustrasi by Pixabay gratis)

Bertahun-tahun terpisah karena pilihan alur hidup serta nasib peruntungan, suatu ketika saya berjumpa Ruth, adik Mima.

Semasa studi di negri kangguru, Ruth kerap diajak Mima ke hotel, tempat kami bekerja. Umur mereka terpaut 3 tahun. Mima, kolegaku dipersunting pria bule dan menetap di Amerika hingga kini.

Ayah Mima seorang pengusaha. Kala pembagian warisan, Mima diberi tugas mengurus perusahaan sebuah produk sabun tradisional. Namun entah kenapa, bisnis itu terhenti.

Hubungan pertemananpun terputus. Kami menjalani kehidupan masing-masing.

Suatu ketika, atas rekomendasi seorang kawan, saya diminta menghubungi general manager Hotel Celeste. Saya memang sedang mencari kontrak kerja lanjutan.

Setelah proses wawancara, saya dipertemukan dengan pemilik hotel. Pertemuan ini suatu kejutan buatku.

Sebelum menandatangani kontrak kerja, sang pemilik ingin jumpa denganku.

“Kamu tunggu di sini ya, saya panggil big bos,”ujar Pak Don, calon bosku.

Seorang gadis belia menghampiriku. Kami saling tersenyum. Saya mengira ia sekertaris, suruhan sang bos.  Tubuhnya langsing, memakai baju kasual. Wajahnya natural, tanpa polesan.

Dugaanku meleset, Ibu bos duduk di kursi yang bersebrangan denganku.

“Ren, ini Ibu Ruth.” Kami bersalaman.

“Terima kasih Ibu Renita, selamat bergabung ya.”

Sebelum meninggalkan lobi, dalam percakapan terakhir, ia mengucapkan sesuatu.

 “Btw, saya Ruth, adik Mima. Masih ingat?”

“Oh,” mulutku melebar. Hatiku kegirangan.

Owner hotel itu adik Mima yang sering diajak ke kantor. Ruth, gadis belia, lulusan sekolah perhotelan di Australia. Ia memimpin 152 karyawan hotel termasuk diriku.

Gaya kepemimpinannya sering dicontek para karyawan senior. Orang bilang ia masih bau kencur.

“Ren, aku harus ke Warnasari dulu. Pimpinan yayasan ingin jumpa katanya. Kalau ada apa-apa, telpon aja ya.”

“Baik Bu,” jawabku.

Saya memanggilnya Ibu. Panggilan hormat.

Ruth berhubungan dengan banyak panti asuhan, panti jompo di kota itu. Tanpa banyak cakap, ia sendiri yang terlibat membantu tanpa mendelegasikan pada karyawan.

Tahun berganti, tak terasa kontrakku menginjak tahun ke-4. Pada tahun ke-4 ulang tahun hotel, Ruth menghentikan penggunaan seluruh sprei, bantal, handuk, bedcover, sarung bantal dari 3 parstock untuk 150 kamar. Hotel akan dilengkapi kain-kain anyar.

Kain-kain itu disumbangkan kepada seluruh panti. Pembagian sangat adil dan merata, tanpa pandang bulu, suku, ras dan agama.

Kabar keracunan makanan

Perjalanan tak selamanya lancar. Ada saja batu penghalang untuk menabur kebaikan.

Tidak hanya kain-kain kamar hotel, makanan hotel turut dibagikan setiap hari. Makanan itu bukanlah sisa. Dikirimnyalah ke panti jompo dan panti asuhan secara teratur, bergiliran.

“Pak Don, tolong buatkan memo, Mulai besok minta FB product siapkan 40 sampai 50 porsi makan siang. Menu mengikuti peserta meeting. Jika tidak ada meeting pakai menu rotasi,” ujarnya suatu ketika.

“Atur supaya kita bisa kirim ke panti-panti dalam daftar itu!” Instruksinya pada general manager.

“Mulai kapan Bu?”

“Besok!”

Sejak saat itu menu prasmanan makan siang ditambahkan 50 porsi. Ruth tidak memandang sebagai kerugian jika food cost tinggi.

“Untuk apa hidup berkelimpahan tanpa memberi,” ujarnya suatu hari.

“Hati ini terpuaskan jika mampu menolong saudara kita,”  Katanya lagi. Bosku manggut-manggut, tentu saja harus sepakat.

Dua bulan kemudian..

Tiada angin, tiada hujan. Dua awak media ingin bertemu pimpinan hotel. Jurnalis ingin mengorek langsung perihal keracunan makanan di panti asuhan Waringin. Berita begitu cepat tersiar.

“Makanan yang dikirim tadi siang, basi!” GM mengulang informasi jurnalis itu. Ruth terdiam. Kami semua panik!

“Anak-anak itu telah dilarikan ke rumah sakit,” ujarnya. Ruth langsung meneliti makanan yang dikirim. Adakah makanan basi? Jam berapa dikirimkan lalu dimakan?

Ia langsung menginvestigasi rangkaian waktu dari mulai memasak hingga makanan ditelan.

Berjam-jam kami terdiam sambil menunggu hasil laboratorium, karena issue keracunan itu. Kejadian ini kasus luar biasa. Pimpinan menginstruksikan seluruh staf food & beverage product dan service untuk melapor secepatnya.

Ruth murung. Jiwanya menangis karena duka hati. Selang 4 jam, keluarlah hasil investigasi dari uji lab. Ibu kepala yayasan menelpon Ruth langsung.

Empat remaja terkena racun karena olahan jamur yang berasal dari kebun di luar area asrama.  Jamur diolah menjadi masakan tanpa setahu ibu pengawas.

Setelah menelpon, Ruth menarik napas, lega.

 “Ren, aku ke kamar dulu ya,” katanya.

Kejadian itu tidak menciutkan hatinya. Manajemen hotel  tetap memasak makanan untuk panti-panti di kota. Bahkan kini porsi makanan berlipat kali ganda.

Tahun demi tahun mengabdi padanya, ia mewariskan  sesuatu yang tak ternilai harganya. Harta itu kemurahan hati.

Namun hanya ada satu hal yang tak dapat ditebus. Waktu itu takkan pernah kusia-siakan. Saya resign. Sejuta cerita kebaikannya tersimpan di hati, takkan sirna ditelan masa.

“Ren, ini untuk kamu. Kenang-kenangan dari kita,” katanya saat memberiku kado perpisahan.

Ada banyak jalan membagi kebaikan. Tidak hanya materi, tapi juga tenaga, waktu dan perhatian.

Di masa pandemi, semakin berlimpah saudara-saudara kita yang memerlukan perhatian. Dari sejuta kebaikan, adakah satu kebaikan tersisa untuk mereka?

Salam hospitality.

 

Catatan: Tulisan ini dalam rangka lomba menulis “Sejuta Kebaikan” dari Ruang Berbagi – Kompasiana.

Nama-nama pelaku, hotel dan tempat, disamarkan.

Comments