Seni Hidup, Mengolah Rasa Menjadi Karya

 

Seni hidup, Mengolah Rasa Menjadi Karya (ilustrasi Pixabay)

Setelah singgah di beberapa kota, saya berlabuh di sebuah kota nun jauh di sana, kota yang tak pernah kuimpikan sebelumnya.

Cita-cita sederhana. Menimba ilmu sekaligus memahami adat dan budaya lokal. Suatu tantangan tersendiri  sekaligus berpetualang.

Itulah dinamika hotelier.  Betapa saya menaruh perhatian penuh pada bisnis ini. Bukan untuk kepentingan pribadi semata namun menurunkan ilmu penjualan dan pemasaran kepada adik-adik hotelier, jika mungkin hingga ke pelosok.

Seiring perubahan zaman, kemajuan semakin membumbung di tengah persaingan yang tajam. Baik perubahan positif maupun sistem yang semestinya diluruskan.

Di awal masa pandemi, segala kegamangan itu terpikir. Bukan galau, tapi sesuatu yang mengganjal dalam pikiran. Sesal, galau bercampur aduk oleh karena ketidakberesan dalam metode pemasaran di beberapa tempat.

Terasa juga sesal mengapa saya tidak menurunkannya sedari dulu. Patah tumbuh hilang berganti, saya hanyalah pimpinan estafet.

Di tengah masa hawar, seakan semuanya terlambat.

Suatu hari, saya teringat blog pribadi yang usang dan terlantar. Saya mulai menulis. Jumlah pembaca dapat dihitung dengan jari.

Impianku, jika mungkin seluruh hotelier membaca dan mengetahui isi pikiranku. Tapi bagaimana caranya?

Keingian mengolah rasa sehingga menjadi tulisan yang dapat dibaca seluruh hotelier, terus menari-nari dalam pikiran.

Perkenalanku dengan Kompasiana tahun lalu adalah titik balik perjuanganku mengelola rasa itu. Saya getol menulis perihal dunia hotel dan masalahnya. Inilah yang mendorong hasrat menulis.

Walau tulisan pertama hanya dibaca 68 Kompasianer,  tidaklah memadamkan semangatku. Ada sesuatu yang belum terungkap. Jadi, tetap giat menulis.

Lalu penjahit, lalu kelindan. Bila usaha pertama berhasil, niscaya usaha berikutnya akan berhasil jua. Agar tulisan dibaca banyak hotelier saya unggah pula di media job platform, media pencari lowongan kerja, Linkedin. Pembacanya tak tanggung-tanggung. Semakin legalah rasanya.

Suatu hari, seorang pembaca bereaksi di media Linkedin. Ia menggarisbawahi tulisanku perihal perubahan yang layak dilakukan dalam tim pemasaran hotel. Konten itu berjudul “Kacamata Sales Marketing Terhadap Hotel”. Isu kekinian berupa kritik positif.

Apa yang salah dalam tulisan itu?

Seorang pembaca menangkap pandangan berbeda dari tulisanku. Ia protes! Namun demikian hampir seluruh pembaca menanggapi positif. Jadi? Saya tetap menulis.

Semakin mendapat respon dari banyak hotelier, kian bergairah untuk menulis lebih baik lagi. Mungkin itu hanyalah riak kecil yang berusaha memadamkan semangat, pikirku.

Saya menjadi bahan perbincangan di media itu, terkait isu konten yang selama ini sangat dijaga hotelier profesional.

Hati terobati. Rasa lega menyapa. Menurunkan pengetahuan bukan saja berdiri di depan forum, tapi menyuguhkan tulisan yang dapat dibaca siapapun.

Tak hanya melepaskan uneg-uneg, tekadku menuangkan apa yang kuketahui. Tiada kata terlambat. Saya semakin mampu mengolah rasa menjadi karya positif bagi hotelier dan seluruh pembaca non hotelier.

Seperti sebuah film drama yang menyentuh perasaan, seorang penonton hanyut dalam kesedihan, ada pula yang menangis. Ada juga yang menanggapinya biasa saja, tidak bereaksi.


Dari rasa menjadi suatu tulisan yang ditunggu-tunggu

Demikian sebuah tulisan dapat memancing pertentangan, antipati, juga simpatik, empati. Jikalau segala sesuatunya disampaikan dengan santun niscaya pembaca akan simpatik.

Strategi penyebaran sudah dikuasai, selanjutnya mencari isi konten yang aktual, menarik dan bermanfaat bagi hotelier. Tidak berlebihan disebut aktual sebab hingga saat ini banyak konten lawas masih dirating pembaca.

Setiap kali terlintas pokok pikiran bahasan, saya mencatatnya agar tidak terlewat.  Akhirnya terkumpulah beberapa daftar judul bahan artikel.

Namun terkadang saat hendak menulis, suasana hati tidak mendukung. Tiada yang salah. Gejolak panas dan padam suasana hati adalah lazim.

Menghilangkan keraguan terhadap suatu pokok pikiran

Bagaimana menyiasati keraguan kualitas pokok pikiran tertentu sebelum tulisan dibuat?

(*) Mengetahui subyek yang aktual di media

(*) Berpikir ulang manfaatnya bagi hotelier dan seluruh pembaca

(*) Apakah bentuk kritik positif atau justru sebaliknya yaitu menjatuhkan kredibilitas perusahaan atau integritas seseorang.

Konten tulisan yang memancing reaksi positif pembaca dapat dikategorikan penulis unggulan. Sebaliknya tulisan monoton takkan berdampak apa-apa bagi pembaca.

Saya tentu saja mengalami pasang surut pembaca. Kecewa? Tidak! malahan memicu gairah semangat untuk menulis lebih baik lagi.

Banyak Kompasianer yang berkualitas. Tulisannya telah menjadi koran bagiku setiap hari. Kehebatannya tak perlu diragukan lagi. Sayang jika terlewati karena setiap menit silih berganti artikel terbaru memenuhi ruang.

Sebagai pembaca, tulisan monoton bagai sayur tanpa garam. Dibaca namun terasa hambar. Pengukurannya dapat dilihat dari sepinya pengunjung. Agar memberi rasa terhadap tulisan, rajinlah blogwalking. Berkelintaran membaca isu terkini. Banyak ilmu yang akan didapat melalui blogwalking.

 

“Ukuran meramu tulisan yang baik diukur dengan gigihnya keinginan, cita-cita dan cara kita mengatasi kekecewaan di tengah jalan” (CelestineP)


 

Apakah menumpahkan luapan emosi melalui tulisan berguna mengobati kekesalan, keresahan, kegalauan?

Menulis tidak hanya melegakan hati dan pikiran   penulisnya, lantaran hati plong atau terbebas dari beban. Namun tulisan sejatinya menyampaikan suatu pesan kepada pembaca. Apakah maksud penulis dapat  dimengerti serta diterima pembaca?

Karena kepentingan ini, maka seorang penulis akan meracik bumbu ke dalam tulisan agar menarik dan bermanfaat.

Setiap individu mengolah rasa sesuai bumbu racikan

Apa saja bumbu dalam mengolah rasa sehingga menjadi suatu karya? Menurut versi saya sebagai penulis pemula:

(1) Mencari konten yang belum pernah/jarang dituangkan dalam tulisan

(2) Mencari judul yang tepat

(3) Memberi nilai positif bagi pembaca

(4) Tulisan tertata rapi dengan tata bahasa baik dan benar

Menulis terasa hambar tanpa olahan rasa. Untuk menyajikan kualitas karya yang baik, dibutuhkan kesungguhan hati.

Mengolah rasa menjadi karya bagai perahu laju tanpa mendayung. Bila dibarengi kesukaan serta gairah, akan semakin ringan.

Olahan rasa setiap Kompasianer yang beragam membuat hidangan di Kompasiana juga bertambah sedap untuk dinikmati. Racikannya bermacam-macam, akan tetapi tujuannya sama, membuat nikmat setiap pembaca.

Kalau Anda pergi ke sawah, mohon mampir ke gubuk saya. Kalau ada ucapan yang salah, mohon kiranya maafkan saya.

Semoga bermanfaat. Salam hospitality

 

Artikel terkait:
(*) Kacamata Sales Marketing Terhadap Hotel
(*) Belajar Bijak Terhadap Mandulnya Fungsi Pimpinan Hotel
(*) 8 Keuntungan Hotelier Bekerja di Luar Pulau Jawa

Comments