"Samin Orang Rantai", Ini Buku Kesayanganku Saat Anak-anak

 

Samin Orang Rantai, buku fiksi kesayanganku saat anak-anak (foto pixabay)

“Samin Orang Rantai”, Ini Buku Kesayanganku Saat Anak-anak.

Saat duduk di bangku SD, ayah membelikan banyak buku cerita. Dari sekian banyak buku, ada satu buku cerita yang amat saya ingat.

Buku itu bersampul remaja pria bernama Samin dengan kaki dirantai di atas kapal. Di sebelah kanannya, seorang perempuan  sedang memasak di tungku,

Samin Orang Rantai, judul buku itu. Saya tak ingat nama pengarangnya. Masa kecil memang tak sejauh itu mencerna sebuah buku. Yang penting menarik kisahnya.

Buku Samin Orang Rantai kira-kira setebal 100 halaman, pernah saya cari-cari di lemari buku ayah, tapi tak pernah kutemukan.

Sebagai gambaran, buku itu terbit seusia buku novel Sitti Nurbaya, karya Marah Roesli yang ngetop di zaman itu.

Tersebab saat saya membaca buku Samin Orang Rantai, kakakku membaca buku Sitti Nurbaya (terbit tahun 1920) yang pernah dibuat film berjudul Sitti Noerbaja.

Jauh sebelum itu, saya telah lama mencari siapa gerangan pengarang buku itu, tapi nihil. Tiada sejarah mencatat buku itu dalam mesin pencarian.

Kemudian saya mengingat rangkaian kisah itu. Begini ceritanya.

Samin orang rantai

Samin, pria muda dilahirkan di sebuah desa. Sejak umur 5 tahun, ayahnya meninggalkannya. Menurut ibunya, ayahnya pergi karena keinginannya melaut ke Pulau Jawa.

Sang Ibunda, Rohana, hidup bersama Samin anak tunggalnya dan jauh dari sanak saudara sejak dirinya dinikahi pria dari pulau sebrang.

Setiap hari Rohana bekerja di ladang. Mereka menanam singkong, ubi, jagung, papaya, pisang juga memelihara 5 ekor ayam dan kambing di kebunnya yang mengitari gubuk kecil itu. Gubuk itu jauh dari tetangga karena ia hidup di desa terpencil.

Saat beranjak dewasa, suatu hari Samin menyampaikan keinginannya pada ibunda.

“Mak, saya hendak melaut”.

“Kita ini nak, dari leluhurmu tidak ada yang menjadi pelaut. Hidup kita turun temurun dari bercocok tanam”, begitu petuah ibunya.

Namun keinginan kuat mencari ayah menggebu-gebu, tidak disampaikan kepada Rohana. Samin hanya ingin mengarungi lautan, berpetualang, itu yang diucapkan.

Suatu hari, ia memaksa ibunya sejak hasrat mengarungi lautan menggebu-gebu di dadanya.

“Baiklah, Emak ijinkan Samin pergi. Ingat Nak, pulanglah jika urusanmu telah selesai. Emak ingin dikuburkan di desa ini, bila saatnya meninggal dunia ini”.

Mendengar ucapan sang ibu, hatinya terkoyak. Sedih tapi tak dapat membendung impiannya bertemu ayahnya.

 “Samin akan segera pulang, Mak”. Ujarnya.

Keesokan harinya, pagi-pagi buta, Emak menyiapkan segala keperluan Samin. Ia membakar singkong sebagai bekal Samin di perjalanan dan sejumlah uang logam yang tersisa dari kantong kain Rohana.

Hancur hati Samin melihat ibunda menitikkan air mata namun maksud gigih mencari ayah, tak terbendung.

Bertemu penolong pertama

Setelah berjam-jam di perjalanan, Samin menemukan perkampungan nelayan. Dari kejauhan tampak para nelayan sibuk mengeluarkan ikan dari jaring.

Samin menepi di bawah pohon kelapa, memakan singkong bakar. Tetiba seorang bapak berkumis mendekati.

“Nak, hendak kemana?”

“Saya ingin mencari ayah saya, Pak. Kemana saja kaki melangkah asalkan saya jumpa ayah”.

“Begini saja, anak muda, ikuti Bapak, akan Bapak kenalkan dengan Mandor Suro”. Samin menurut ajakan Pak Poniman.

“Mandor Suro, Mandor Suro!”, panggil Poniman

“Ini saya bersama anak muda, saya sudah cakap dengannya. Bawa saja Mandor!”.

Mandor Suro dan Poniman pun bercakap dalam bahasa daerah yang tak dimengerti Samin. Lalu Mandor Suro memberi uang kepada Poniman.


Samin lugu, duduk dan hanya mendengar percakapan mereka berdua. Ia harus turut Mandor Suro melaut. Samin senang bukan kepalang.

Sambil merebahkan kepalanya, ia ingat Emak di desa. “Mak, anakmu baik-baik saja”, gumamnya.

Sebelum melaut, Suro meminta uang yang dibawa Samin sebagai syarat dirinya berada di atas kapal, katanya.

Samin membantu Mandor Suro menangkap ikan sampai ke tengah laut. Begitu yang dilakukannya setiap hari jika cuaca cerah.

Menjadi orang rantai

Suatu hari di tengah laut, perahunya berpapasan dengan kapal besar. Di dalamnya 5 pria berbadan tegap, berkulit hitam legam.

Tetiba Suro menyuruh Samin berpindah ke kapal besar itu.

“Ini kapal kawan bapak, anak muda! Kamu ikut saja, siapa tahu kamu bertemu ayahmu” , begitu pesan Suro

Tubuh Samin terlihat kurus dibandingkan pria-pria di kapal itu.

Pekerjaan Samin membantu menangkap ikan, membersihkan geladak. Telah berminggu-minggu ia bersama mereka. Semakin merindu tanah halaman.

Suatu hari, tak disangka, seorang pria bertubuh sangat kekar, menuduh Samin mencuri uang yang disimpan dibawah tikarnya.

Ia mengamuk, karena luapan amarah membabi buta ia merantai kaki Samin. Rupanya, pria itu adalah pemimpin yang ditakuti semua orang yang berada di kapal itu.

Samin dirantai berhari-hari di kapal itu. Ia seketika ingat Emak di desa. “Mak, apa gerangan dosa anakmu ini?”, begitu gumamnya.

Setelah berminggu-minggu di rantai. Tampak dari kejauhan sebuah pulau kecil. Timbul niat melarikan diri, tapi ditahannya.

Dalam kesedihan, badannya yang kurus kering, kulit hitam terbakar matahari, ia berdoa kepada Sang Khalik agar dapat bertemu dengan Emak.


Ia ingat pesan Emak, jika meninggal akan dikuburkan di desa yang telah lama ditinggalkan itu.

Menjelang 3 bulan Samin terapung di lautan. Doanya setiap hari agar ibunya tidak berpulang sebelum ia datang.

Seseorang melepaskan rantai

Sekonyong-konyong, sebuah kapal mendekat. Sekelompok orang menyergap kapal yang ditumpangi Samin.

Semua penumpang kapal tunggang langgang, ada yang menyebur ke laut, ada pula yang tiarap.

Rupanya, kapal itu digunakan untuk menyelundupkan barang-barang antik dari negri sebrang.

Seseorang menghampiri Samin. Ia melepaskan rantai. Samin bersyukur, ia tertolong pria ini.

“Anak muda, hendak kemana?”

“Saya mencari ayah”, sahut Samin

“Dimana ayahmu tinggal?”, tanya pria itu lagi

“Menurut ibu, ayah melaut ke pulau sebrang”

“Siapa nama ibumu, anak muda?”

“Ibu saya, Rohana. Ayah saya bernama Sadi”, jawab Samin

Seketika pria itu terdiam. Sorot matanya menatap tajam mata Samin, penuh selidik. Mereka dalam percakapan serius.

Samin yakin bahwa pria itu ayahnya, begitupun naluri Sadi mengenal anak muda itu, Samin, putranya yang ditinggalkan 10 tahun silam.

Akhir kisah, Samin pulang bersama Sadi.  Mereka berkumpul. Rohana kegirangan, sang suami kembali ke rumah bersama Samin, putra tunggalnya.

Derai air mata mereka menyambut kedatangan orang-orang yang dikasihinya.

Bagaimana kisah ini menurut anda?

Buku “Samin Orang Rantai”, ajarkan tak mudah menyerah terhadap nasib malang

Entah mengapa saya begitu tertarik buku ini. Ada Emak membakar umbi-umbian di tungku, bukan kompor.

Di tungku, Emak memasak nasi dan lauk pauk. Sayuran dipetik dari kebun. Lima ekor ayam betina bertelur. Suasana keseharian rumah tangga di desa yang menarik perhatianku.

Samin yang terobsesi berpetualang karena mencari sang ayah. Tipuan Poniman yang menjual Samin kepada para Mandor Suro.

Dan terakhir adalah kekuatan doa Samin sehingga ia lepas dari perilaku jahat orang-orang di sekelilingnya lalu menemukan sang ayah. Begitulah cara pertolongan Sang Khalik kepada Samin.

Buku itu tidak pernah saya temukan kembali. Kisah itu tertanam dalam benak, teringat sepanjang hayat. Saya membacanya berulang-ulang saat itu.

Sebuah buku yang pengarangnya pun tidak saya kenal namun menorehkan pelajaran hidup. Jika boleh menebak sepertinya karangan seseorang yang berasal dari Sumatra Barat. Ya, ini sekedar dugaan saja.

Banyak juga buku lain yang menarik hati, namun rentang masa yang panjang, tak mampu lagi mengingatnya satu persatu.


Buku Samin Orang Rantai, satu-satunya buku fiksi yang saya sukai walau kini tak kudapati bukunya.

Pengarang buku itu tak tahu, saya mengingatnya dalam hati dan pikiran. Ia pun tak tahu bahwa kenangan masa kecil dari cerita Samin Orang Rantai, saya rangkai dalam tulisan ini.

Tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada pengarang buku “Samin Orang Rantai”, buku kesayanganku saat masih anak-anak.

Selamat menyambut Hari Buku Nasional, 17 Mei.

 

(*) Nama Samin sesuai judul buku
(*) Nama-nama adalah karangan belaka.

Comments