Lingkungan Kerja Toksik Penyebab Krisis Komunikasi Internal

Lingkungan kerja toksik penyebab krisis  komunikasi internal (ilustrasi Pixabay)

Awalnya saya mengira, perut yang melilit ini akibat perubahan jadwal tidur. Maklumlah sudah 3 malam berturut-turut pulang telat.

Perut serasa dikocok, mual rasanya. Bukan sakit perut, bukan pula masuk angin. Sesuatu yang sulit digambarkan. Itu terjadi setiap kali dalam perjalanan ke kantor.

Hari itu, hari ke-4 saya sebagai pendatang di suatu kota. Rencananya 2 tahun akan bekerja dan menetap sesuai kontrak.

Seperti biasa kami reporting, morning briefing singkat, termasuk informasi tugas prioritas masing-masing departemen.

Sejak 2 hari lalu, ada sesuatu hal mengganggu perhatianku. Ketika briefing, Roy selalu berkomentar. Interupsi yang dibuat-buat, padahal itu dapat disampaikan usai saya bicara.

Sangkaku, Roy departemen head front office itu, hanya berkomentar di hari-hari awal kubergabung. Nyatanya tidak. Ada saja komentar yang menyanggah laporanku.  Begitupun terhadap yang departemen lain.

Maklum, pendatang baru harus mempelajari kebiasaan setempat.

Dugaanku ternyata meleset. Suatu hari, Roy menjadi garang. Ia menyerang ide-ideku. Ia mempertahankan argumennya di depan forum dengan cara tidak simpatik.

Merasa pendapatnya benar seakan mencari pembenaran karena bertutur menyudutkan beberapa nama di forum yang tak sepatutnya ia lontarkan.

Karena lelah menanggapi celotehnya, saya diam. Pantang bagiku berdebat kusir dengan siapapun. Begitupun yang lain, GM ikut terdiam.

Peristiwa itu membuatku tak habis pikir. Ingin rasanya meluapkan perasaanku bahwa ia sangat mengganggu pikiran dan sistem kerja di departemen yang menjadi wilayah tanggung jawabku.

Tidak berhenti sampai di situ, ada lagi serangkaian kejutan buruk lainnya. Ada-ada saja yang dilakukannya, di luar dugaan.

Dua kali makan siang bersama denganku, Roy tampak biasa saja menurutku, tak tampak arogan. Sebagai seorang suami yang jauh dari istri dan 2 anak di pulau sebrang, ia bercerita pendek saja padaku.

“Ya, untunglah aku bernasib mujur,” katanya. Ia baru saja bergabung 5 bulan di hotel itu.

Latar belakang karir yang kelam

Suatu hari, rasa penasaranku menjadi-jadi. Perangainya yang aneh dan sikap yang sok tahu, sok pintar bahkan selalu turut campur operasional departemen lain, membuat saya tergerak mengorek sampai ke akarnya.

“Aku pernah jobless 4 tahun, masa sukar, Bu,” ujarnya, memulai percakapan saat saya tanya keluarga dan asal, tanpa kesan menyelidik.

“Kenapa bisa jobless?”

“Biasa, gak cocok dengan manajer!”

Aha, awal yang bagus mengenal dirinya. Saya pun berhati-hati akan pertanyaan berikutnya.

“Studi ku SMA aja, ya begitulah, kesana kemari, nyangkut di  sini,”

“Oh…”

Saya berusaha memahami alasan ia selalu sewot dan sinis padaku, dalam setiap kesempatan. Baginya, pendatang baru, kalau bisa, diajar sekaligus dihajar. Duh, pikiran usang, bukan masa pelonco kan zaman kiwari.

Menurut HR Manager, ia pernah juga mendepak seorang manajer sebelum posisi itu kududuki, tanpa sepengetahuannya.

Waktu berlalu. Tak terasa, saya menuju hitungan 2 bulan bekerja di sana.

Setiap pagi rasa mual masih terus menerpa walau telah berkurang. Entah apa yang harus diobati, saya merasa gak nyaman. Seolah Roy, monster menakutkan yang siap menerkam setiap saat. Ulahnya mencengangkan bagi hotelier selevel jabatannya, front office manager.

Dirinya dikucilkan, dijadikan gunjingan. Mungkin ia tak merasakan sebab ia selalu no action, talk only. Namun saya tetap bertahan sambil menunggu panggilan wawancara dari hotel lain.

Selama itu pula, tanpa kesan menyelidik saya menguping omongan GM dan menyaksikan hampir semua kolega pernah berselisih dengan Roy.

Di WAG, gayanya menjawab e-mail, saat sales meeting, tak lain, tak bukan  sikapnya yang arogan, sok pintar itu seakan bentuk penjajahan bagi kolega. Jauh dari sikap rendah hati seperti yang kerap didengungkan industri hospitality.

Lambat laun manajemen menyadari, Roy biang kerok segala permasalahan di kantor.

Problema kerap muncul karena kekerasan hatinya dan acapkali merasa benar sendiri. Hal ini menimbulkan gesekan di antara departemen yang suatu waktu pasti meledak.

Benar saja, tibalah waktunya. Saya menyampaikan uneg-uneg langsung kepada GM, bagaimana kelanjutan tim ini ke depan.

Dalam suatu percakapan, terbaca isyarat, tampaknya takkan terjadi perubahan selama ia bercokol. Hubungan Roy dengan pemilik hotel amat erat. Nah lho.

Ia seakan detektif di dalam manajemen. Apa yang harus ku perbuat untuk meredakan rasa mualku yang berkepanjangan.

Seorang yang toksik, 10 hotelier yang resign

Kondisi yang melelahkan. Kami saling diam, cari aman, enggan bertegur sapa. Satu persatu, eksekutif housekeeper resign, disusul financial controller, lalu GM. Lalu saya?

Ikan di kolam dilempar remah roti, tak berapa lama, sebelum mengajukan surat undur diri, seseorang menelponku.

Rezeki nomplok muncul tak terduga. Tanpa berpikir lama, saya pamit. Apa lagi yang mesti dipertahankan?

Apakah dia kawan toksik? Bagi perusahaan yang bersangkutan, bukan saja kerugian momentum membangun sistem manajemen yang kompeten namun juga kehilangan hotelier profesional yang berkualitas hanya karena individu toksik.

Salah siapa? Kebanyakan alasan perekrutan tak selayaknya. Ada model karyawan titipan, kerabat sang pemilik, saudara si anu, dll. Sah-sah saja, asalkan dibarengi rekam jejak dan integritas yang baik.

Jika model titipan tanpa proses seleksi, kisah Roy menjadi contoh. Alangkah baiknya dibarengi testing.

Jika diurut dari rangkaian kasus ini, terjadi sebab akibat yang saling berantai. Dalam sistem manajemen perekrutan, sepatutnya memperhatikan kriteria ketat dalam hal:

(*) Latar belakang pendidikan

(*) Pengalaman bekerja terdahulu

(*) Catatan referensi perusahaan sebelumnya (surat referensi, surat testimoni)

(*) Pemilik hotel patuh pada manajemen.

Bagaimana manajemen menyikapi karyawan toksik?

Semakin manajemen ekslusif, tidak kompak dalam tim kerja akan semakin gagal paham bahwa sumber kegerahan berasal dari lingkungan kerja toksik.

Catatan untuk Roy yang kerap usil, sok tahu, sok pintar menjadi tanggung jawab GM dan Human Resource yang merekrut.

Dalam kasus ini apakah salah pilih karyawan?

Mungkin saja. Yang kami tahu GM yang merekrut pun hengkang dari hotel itu.

Tidak hanya Roy, karyawan mirip dirinya banyak berkelintaran di mana saja. Ia bagai ragi toksin tidak saja bagi karyawan namun menyebabkan krisis komunikasi internal. Enggan bertegur sapa diantara hotelier disebabkan tidak ada kekompakan dalam tim kerja.

Jika dibiarkan menjadi borok dengan lubang menganga. Merusak sistem manajemen yang telah terbangun dengan baik.

Dari kisah ini kita dapat bercermin, apakah pribadi kita menyenangkan atau justru penyebab lingkungan kerja toksik?

Roy barangkali tak sadar akan kebiasaannya memotong pembicaraan, mencela, merasa lebih pintar dari koleganya.

Pandangannya yang selalu benar menurut pendapat pribadi, akan menjadi jerat bagi rekan kerja hingga berdampak krisis komunikasi internal.

Kisah nyata ini semoga menjadi pelajaran khususnya bagi manajemen dan kita semua dalam bersikap.

Semoga bermanfaat. Salam hospitality.

 

Artikel terkait:

(*) CV Tampilan citra diri, Jangan palsu!

(*) Saat harus memutuskan, manut atau resign?

(*) Siapa saja pemberi surat testimoni kerja?

  

Comments