Dijodohkan Orang Tua, Walau Gengsi Tetap Patuh dan Utuh

 


Cinta karena perjodohan (ilustrasi Pixabay)

Saya mengenal Ros sejak duduk di bangku SMP.  Rose anak sekolah pindahan dari luar kota.

Kebetulan kami memiliki hobi sama termasuk melukis, vokal grup dan berenang. Kemana-mana kerap pergi bersama. Persahabatan pun terjalin erat hingga akhir studi SMA, kami berpisah kota.

Tampaknya pertemanan semasa di bangku sekolah masih menyisakan kenangan. Kami saling curhat walau berbeda kota.

Ketika di bangku kuliah smester ke-2, ia menghubungiku. Pertemuan kali ini amat penting. Ia mewanti-wanti agar ada di rumah.

Ros dilahirkan dari keluarga berkecukupan. Memiliki 3 adik perempuan dan si bungsu laki-laki.

Orang tua Ros di bawah generasi silent atau silent generation yang terlahir tahun 1925 – 1945. Mereka mendidik anak-anak dengan disiplin, penuh tanggung jawab. Selevel dengan kedua orang tuaku.

Suatu ketika, Tari, adik Rose, ijin untuk menikah dengan Doni, kakak kelasnya dahulu. Ros mengijinkan adiknya menikah.

 Kalau jodoh takkan lari kemana

Waktu pun berlalu. Melihat si sulung yang sedang studi, ibunda menyampaikannya tentang rencana Tari yang akan mendahului acara pernikahan.

Ros tak keberatan dilangkahi sang adik menikah, sebaliknya ibunda panik. Setahun setelah pernikahan Tari, ia menanti agar Ros pun datang padanya lalu meminta untuk dinikahkan, seperti yang pernah dilakukan Tari.

Ros terkejut, bukankah ia sedang kuliah? Bagaimana mungkin kuliah sambil berumah tangga, sedangkan dirinya jomlo.

Dalam kekalutan, ia harus patuh pada orang tua, di sisi  lain, bagaimana merampungkan kuliah.

“Aku berada di persimpangan, kira-kira bagaimana menurutmu?”, tanyanya.

Ia terpaksa mengikuti nasihat orang tua kala sang ibu mengenalkan seorang pria dari pulau sebrang. Lelaki berkulit putih, berwajah sedang-sedang saja, calon dokter yang kini bekerja sebagai perawat.

Melihat masa depan sang calon menantu, ibunya setuju setelah berunding dengan calon besan yang adalah kawan ibunya sewaktu di bangku sekolah.

Rose tak kuasa menolak. Patuh, tunduk, jalan satu-satunya membahagiakan orang tua. Ia kuatir juga dicap anak durhaka, melawan kehendak sang ibunda.

Setelah menikah, Ros tinggal di rumah Jaka beserta mertua dan 2 adik perempuan.

Hari-hari setelah pernikahan, Seolah tak percaya, bahwa dirinya telah bersuami. Sang ibunda menyangka pasangan itu adem ayem saja.

Masa bulan madu, Ros memilih menginap di rumah sahabatnya ketimbang tinggal di rumah mertua.

Setelah beberapa bulan, sang ibunda curiga, sebab Ros tak kunjung hamil. Ada apa gerangan?

Bagai makan buah simalakama. Serba salah. Ros akhirnya memenuhi keinginan ibunda. Dua tahun berselang, ia positif hamil. Kedua keluarga besar bahagia, bersiap menyambut kelahiran sang bayi.

Dalam perjalanannya bersama Jaka, Ros mengarungi mahligai rumah tangga yang seakan misteri bagi saya. Biduk rumah tangga sebatas menyenangkan hati orang tua. Benarkah demikian?

(ilustrasi Pixabay)
 

Sebelum pandemi tiba, saya mendapat kabar terkini darinya. Ia berencana menikahkan putrinya yang pertama.

“Ini bukan hasil perjodohan lho Kak!”, ujarnya padaku. Saya tersenyum dan bangga.

Pernikahan Ros dan Jaka adalah hasil perjodohan diantara kedua orang tua. Dalam adat di masyarakat tertentu, melangkahi kakak perempuan menikah itu tak lazim. Yang dilangkahi bisa jadi jomlo selamanya, katanya. Maka orang tua pun sibuk saling menjodohkan putra-putrinya.

Adat leluhur menurun dalam hal perjodohan. Saling menjodohkan, yang cepat menikah dipandang beruntung. Suka atau tidak sang calon terhadap pasangannya, tidaklah masalah.

Yang penting jadi pengantin lalu mempelai lelaki memboyong sang putri keluar dari rumah. Cinta? Lama kelamaan akan saling jatuh cinta.

Asam di darat, ikan di laut, bertemu di belanga. Kalau sudah jodoh, pada akhirnya akan cocok juga. Benar saja, Ros dan Jaka berbahagia. Bahkan mereka menyambut cucu ke-2 tahun ini.

Perbedaan kultur semakin mengikis bentuk perjodohan

Beda zaman, beda adat. Apakah ada anak zaman now yang dijodohkan? Barangkali masih ada, jika melihat kebutuhan ekonomi. Seperti seorang kawan yang kaya raya menjodohkan putrinya dengan pria biasa saja. Hal ini agar hartanya diturunkan pada menantu yang telah dipercaya.

Bagaimana dengan cinta dari perjodohan ini? Jika bertemu setiap saat, masakan cinta tidak melebur?

Saya teringat seorang kawan dijodohkan melalui pertemanan. Setelah melihat paras di foto, lalu kopi darat,. Menikahlah mereka beberapa bulan kemudian. Sekarang telah dikaruniai 2 anak dewasa.

Karena banyaknya staf di kantor yang melajang, pernah kami menjodoh-jodohkan kolega, tapi tetap gayung tak bersambut. Mungkin merasa gengsi, padahal jika disikapi positif, lalu keduanya cocok, kenapa tidak? Mungkin jaga gengsi, padahal butuh. Coba saja dulu toh.

Sepanjang perjalanan karir, saya bertemu dengan banyak pelanggan. Biasanya, pelanggan yang dekat, karena hubungan profesional bertahun-tahun, seseorang berani meminta saya menjadi mak comblang. Sebut saja namanya Doni.

Di kesempatan lain, saya jumpa Tini, dari perusahaan lain. Keduanya berada di kota berbeda. Iseng-iseng saya menjodohkan keduanya. Pasalnya ingat permintaan Doni yang minta dicarikan jodoh.

Tak pikir panjang. Saya melihat perangai Tini sepertinya cocok untuk Doni. Saya pun mulai bertanya lebih detail kepada Tini, apakah punya kekasih, berapa saudara ia punya dan tentu saja status terkini.

Awalnya hanya iseng belaka, kini mereka telah memiliki seorang putra. Saya tak mengira, mereka jadian. Doni gak gengsi juga.  Ia yang minta dicarikan jodoh.

Zaman baheula, perjodohan itu asyik kalau dicermati. Mereka tunduk pada keinginan Ibu. Seperti Ros, kehidupannya tenang-tenang saja, tidak bergejolak luar biasa, meski masa bulan madu kacau balau.

Ros dan Jaka tipe yang manut pada orang tua, taat beribadah, berpendidikan. Kebetulan saja kedua pihak ditunjang cukup finansial. Itulah mungkin alasan Ros mau menerima Jaka.

Dua sejoli (ilustrasi Pixabay)

Apa ciri kematangan pribadi seseorang sehingga layak menemukan belahan jiwanya?

Kisah yang saya alami sepertinya too good to be true. Perceraian akibat perjodohan sangat jarang, mungkin karena kuatnya kultur kesetiaan pasangan terhadap generasi zaman baheula.

Ada beberapa kematangan pribadi agar cepat menemukan jodoh (jika gengsi dijodohkan):

(*) Rendah hati

(*) Ramah dan baik hati kepada setiap orang

(*) Mencari pengetahuan seluas-luasnya

(*) Bergaul seluas-luasnya

(*) Tetap berusaha dengan berikhtiar

Jika kita telah melakukan tersebut namun jodoh belum kunjung datang juga? Tunggulah waktu yang tepat, setelah pribadimu diubahkan. Semua ada waktunya.

Kecocokan bergaul dapat dipelajari kok. Saling mempelajari kebiasaan masing-masing. Awalnya  timbul pertentangan, semakin lama, kian melekat. Salah satu rahasianya, mau menerima kekurangan masing-masing.

Jangan gengsi jikalau orang tua, tante, paman, bude, kawan akan menjodohkanmu, siapa tahu memang berjodoh. Terkadang jodoh hanya sejauh mata memandang.

Semoga bermanfaat, salam hospitality.

Comments