Racun kegagalan dibersihkan oleh vitamin semangat (ilustrasi pixabay.com)
“Bu, saya konfirmasikan ibu sudah confirm bergabung. Sila melengkapi seluruh dokumen pendukung” , ujar seseorang di sebrang sana.
Kabar yang menyejukkan hati. Hati
berbunga-bunga. Undangan bekerja di satu hotel. Saya mulai membersihkan koper,
menata pakaian, serta perlengkapan kantor lalu terbang ke kota Pekanbaru.
Ya, friend to friend. Begitulah cara saya berpromosi, meniti karir. Melalui
hubungan pertemanan, manajemen lebih percaya.
Ow, 5 hari berlalu, kesabaran pun
diuji. Saya menunggu surat kontrak kerja. Kemana gerangan pemberi kabar baik itu?
Sepuluh hari kemudian.
“Sila ibu lengkapi surat testimoni dari
seluruh perusahaan. Kirimkan juga selembar pernyataan ‘sanggup melakukan pekerjaan dengan baik di atas materai”
Surat pernyataan apa lagi? Selama
seminggu, akhirnya terkumpul seluruh dokumen. Susah payah mengumpulkan seluruh
persyaratan, alhasil selesailah sudah. Sesi berikutnya menanti arahan
selanjutnya.
Berhari-hari, berminggu-minggu menanti
lembaran kontrak. Kelanjutannya bagaimana? Jangan-jangan….
“Ibu sila datang saja kemari,
mulai bekerja segera dan LOI (letter of intent) ditandatangani setiba
di sini”, ujar Human Resources Director.
Saya diminta terbang ke kota itu tanpa
memiliki lembaran kontrak kerja? Lalu upahku berapa? Tak bisakah berkirim e-mail agar saya tunjukkan pada Ray, suamiku?
Masa penantian pun berulang. Rasanya ingin berlari namun kaki tertambat. Gemas, galau.
Memasuki bulan ke-2 masa
penantian, perekrut mendesak agar segera datang. Saya harus terbang tanpa surat
kontrak kerja. Baiklah, saya merendah.
Permintaan tiket pesawat pun
ditolaknya. Hal Ini di luar kebiasaan hotelier dalam melakukan kontrak kerja.
Ikan belum dapat, airnya sudah
keruh. Proses berbelit-belit memadamkan impianku yang berapi-api. Segala tenaga
dan upaya hanya tercurah untuk itu.
Apa daya harus kucampakkan. Tak
ingin menanggapi bualan. Sudahlah, lupakan saja. Toh tiada titik temu. Disangkanya
saya anak bawang.
Langit tak selamanya kelabu. Nasib mujur pun menghampiri. perusahaan lain melirik. Cukup 3 hari saja mengikuti proses rekrut dan berhasil.
Beberapa minggu kulalui di tempat
baru, tersiarlah kabar manajemen di perusahaan terdahulu, bubar jalan.
Hmm..sudah sepantasnya saya ngeghosting.
Beberapa tahun kujalani di tempat
baru. Hotel menunjukkan peningkatan pendapatan. Secara data cukup mengagumkan. Setelah
2 tahun kulewati, saya resign.
Apakah saya berhasil?
Tiada kegagalan di sana. Kegagalan itu proses bangkit, bersabar dan bercermin. Tak perlu pula mengingat-ngigat kegagalan sepanjang masa. Justru bila tidak gagal, bisa jadi kita malas melangkah.
Tak usah terlalu bereaksi bila
kegagalan menghadang. Ketika gagal, hal ini yang harus dilakukan:
a. Petik pelajaran berharga, lupakan masalahnya. Hindari tenggelam dalam kekecewaan terus menerus.
b. Bangkit dan belajar kembali.
Cermati apa penyebab kegagalan
c. Tak perlu bersedih.
Dunia itu terlalu luas untuk disebrangi. Kekecewaan hanyalah satu penghalang untuk maju
d. Jangan mengutuk kegagalan. Ia hadir agar kita matang menghadapi tantangan selanjutnya
e. Pantang menyerah! Selalu ada jalan terbaik disaat kita buntu menghadapi masalah
Apabila keganjilan tiba-tiba
muncul di gerbang pintu, mungkin saja pertanda kegagalan. Seperti perintah
membuat ‘surat pernyataan bekerja dengan baik. Prasyarat yang dibuat-buat
ditambah kontrak kerja yang ditandatangani langsung. Bukan saja ganjil, aneh,
tapi juga menjadi tanya tanya besar.
Takut gagal lagi? Tidak! Gagal itu kalau kita menyerah.
Reina, putriku, fresh graduate, graphic designer direkrut sebuah perusahaan sebelum ia diwisuda.
“Tak usah pindah-pindah kerja
dulu, Nak. Cari kerja sangat sukar sekarang!” , nasehatku, tapi tetap ia
lakukan. Telah 3 kali ia pindah kerja
yang rata-rata betah hanya beberapa bulan saja.
“Gak cocok mam!”, katanya. Duh!
Saya deg-degan juga. Kalau anak jatuh
dan gagal, ini pun menjadi beban pikiran orang tua. Akhirnya terbersit, kewajibanku
hanya mendampingi, toh ia sendiri yang melakoni hidup ini. Ini bentuk menenangkan
diri sendiri.
Kegagalannya, kegagalanku juga. Dirinya tak menyadari jika perhatiannya, menjadi pikiranku juga.
Banyak sudah timbunan sampah kegagalan yang terjadi. Namun jangan sampai menjadi titik konsentrasi sehingga overthinking.
Apabila kita tahu akan gagal,
mana mungkin dijalani.
Terkadang bayang-bayang
keberhasilan saja yang selalu menghampiri. Agar tidak terlalu jatuh, apalagi
disertai kekecewaan mendalam, catatan ini akan menguatkan kita:
a. Segala sesuatu ada waktunya.
Bila gagal, belum saatnya meraih kemenangan
b. Gagal adalah pelajaran menguatkan mental
Mental peuyeum akan tertinggal. Mental baja akan bertahan.
c. Kegagalan adalah momen kita bercermin serta mengambil hikmahnya.
Saya pernah menonton film jadul yang
dibintangi William Smith, berjudul The
pursuit a happiness. Berkisah tentang perjalanan karir seorang pegawai
asuransi lalu menjadi pialang saham. Hidupnya tertolak. Dahulu hidup menggelandang
hingga berhasil dan kaya raya. Jatuh bangun meniti karir dalam keadaan
benar-benar terpuruk.
Momen menyentuh hati ketika ia
bersama putranya yang ia didik sejak kecil (karena ia bercerai dengan istri) menaiki
tangga curam satu demi satu.
Kala tiba di puncak tangga,
sungguh, kegagalan hanyalah sebuah titik saja dari pandangan.
“Tidak ada apa-apanya”, katanya.
Catatan dari cermin religi bahwa segala sesuatu datang tidak secara kebetulan. Kegagalan hadir guna melatih kesabaran.
Saat ini gagal, biarlah. Telah
banyak Sang Khalik berikan kesuksesan yang jumlahnya tak terhitung. Masakan
kita hanya mau menerima yang baik saja namun tak mau menerima kegagalan?
Buang saja racun kegagalan yang
menghambat kemajuan langkah kita.
Comments