Si kecil Ratna baru masuk sekolah
TK. Ibu guru terheran-heran pasalnya Ratna selalu membawa bekal mi goreng. Itu
bekal di kotak makan Ratna saban hari, kalau gak mi goreng, ya roti.
Ibu Beti menyediki perihal bekal
makanan ini. Terjawablah alasan mengapa Ratna hanya membawa dua makanan pilihan.
Sejak umur 2 tahun hingga kini,
takada yang menyangka makanan Ratna hanya menu itu-itu saja yaitu mi kuah kalau di rumah dan mi goreng kalau di sekolah.
Gampang ditebak kenapa mi instan
menjadi pilihan utama kan? Ya, karena cepat dan mudah memasaknya. Tapi gak begitu juga kali. Kasihan anak ini, kini
Ratna berusia 11 tahun hanya mengenal jenis makanan tertentu dilidahnya.
Seorang kawan, kalau makan mie harus 2 bungkus. Satu bungkus tak cukup nampol, katanya. Bumbu diracik, digoreng. Kadang mi berkuah. Kesukaannya rasa mi aceh.
Karena hobinya makan mi,
tubuhnya tambun, subur. Istrinya melarang agar jangan makan mi terlalu sering.
Namun ia tak hiraukan. Urusan perut, jangan coba-coba menyetop santapan mi di
hadapannya. Dalam sekejap saja, mi goreng telas.
Bahan-bahan itu harus tersedia di
kulkas. Jika malam terasa lapar, ia langsung meracik. Bereslah. Sederhana,
mudah dan cepat.
Betul juga, setiap pagi selalu ada sarapan. Menu sarapan berganti-ganti tapi sang kordinator
Lisa, sering menyajikan mi goreng. Seminggu pasti 2 kali suguhan mi goreng.
Mi dipesan dari sebuah restoran.
Lisa sudah memiliki nomor telpon tante pemilik kedai kecil. Dibungkus daun
pisang lalu dilapisi kertas. Jika sibuk, makan bisa agak siangan. Semua suka
mie, takada yang absen.
Jadi sistem urunan, ternyata
asyik, bisa makan bareng, dijamin sarapan tidak terlantar.
Sepupu saya kalau masak mi, rawit
selalu membuat ramai warna mi kuah. Aroma super pedas menyengat. Mi dicampur
telur, wortel dan broccoli.
Menurut Ibunda, sejarah mi
dicampur wortel dan broccoli. awalnya Ayu, sepupu saya itu, tidak menyukai
wortel dan sayuran.
Menyiasatinya dengan
mencampurkannya dalam mie. Kebiasaan itu dilakukan sejak remaja hingga kini. Disamping
membangkitkan selera makan juga sebagai pencahar perut, katanya. Ada ada aja.
Ya, saya memang selalu menyimpan
mi instan dalam tas. Bukan karena fanatik atau makanan favorit, engga juga. Tersebab
saya pernah diselamatkan dari rasa lapar yang teramat lapar karena membawa barang ini.
Beruntung, sekeluarga suka mi,
meski jarang sekali dihidangkan. Sesekali saja makan mi kuah bersama sayuran
hijau yang porsinya melebihi mi.
Makan mie sesekali saja. Di perut
ia cukup lama dicerna, apalagi ramen. Demikian kita menjaga kesehatan agar tak
berlebihan. Mi yang dikonsumsi sewajarnya tidak membuat gemuk, namun segala
sesuatu berlebihan, tidaklah elok.
Tiada seorangpun yang tak suka
mi, hampir semua orang suka mi. Menurut adat Tionghoa, dilambangkan sebagai
kebahagiaan dan rejeki yang tidak terputus.
Dalam menu acara perkawinan,
pelanggan Tionghoa selalu memilih mi goreng sebagai pilihan utama. Kelezatan
rasa mi goreng menjadi menu terpenting dari rasa jenis menu apapun dalam
susunan menu.
Keluarga pengantin selalu perhatian
pada kelezatan hidangan mi goreng. Mereka bisa meminta berulang kali dibuatkan
mi goreng sampai cocok dilidah.
Bagi orang Tionghoa sewaktu
imlek, filosofi saat makan mi, disarankan untuk menyeruput hingga semua bagian
mi masuk ke mulut. Jangan memutus atau menggigit mi ketika masuk ke mulut
karena bisa memutus keberuntungan.
Mi seakan penting bak nasi.
Sampai-sampai digambarkan sebagai menu yang mendatangkan kedamaian, bila
kita menikmatinya. Nadanya hiperbol?
“Peace will come to the world when the people have enough noodles to eat” Begitulah sekilas tentang mi yang dapat disulap berbagai menu dan membuat keranjingan bagi pencintanya.
Salam,
Comments