Bermimpilah Dalam Hidup, Namun Jangan Hidup Dalam Mimpi!

 

(ilustrai pixabay)

Bermimpilah dalam Hidup Namun Jangan Hidup Dalam Mimpi

“Pokoknya kamu harus jadi sarjana!”, kata ayah kepada kakakku, Ben. Kalimat itu terngiang terus di telinga. Saya menguping suara ayah.

Perbedaan usiaku dengan Ben terpaut 12 tahun. Saat itu Ben bersiap memasuki universitas. Saya? sedang asyik di sudut kamar, membaca Bona si Gajah Kecil Berbelalai Panjang, kisah Deni Manusia Ikan, Si Siti Sirik.

Ben selalu juara kelas. Konsentrasi penuh belajar, sungguh menjadi perhatian ayah. Ben pun lulus masuk ujian saringan IPB, Institut Pertanian Bogor.

Usai wisuda, Ben bekerja di agribisnis. Perusahaan ekspor buah nanas kalengan. Sehari-hari fokus pada kualitas produksi buah nenas. Mendampingi pekerja di perkebunan nanas di Sumatra.

Hanya dalam hitungan bulan saja Ben bekerja di PT. Abc ia pindah ke perusahaan internasional mesin berat, berkantor pusat di Jepang. Ben telah bekerja di perusahaan ini puluhan tahun.

Mengikuti impian ayah

Tiba giliranku masuk kuliah, ayah tak terlalu cerewet karena saya penurut. Ia bersikeras agar saya masuk fakultas hukum.

 “Belum ada SH di keluarga besar”, begitu ujarnya. SH maksudnya sarjana hukum.

Anggapan sarjana jaman baheula

Dahulu sewaktu studi, gelar itu penting. Ya, bahkan maha penting! Orang bergelar sarjana, terpandang, bernilai dan ketara banget profesionalitasnya.

“Itu putrinya Bu Darmin, dia sarjana lho Jeng, baru wisuda” menguping percakapan ibuku di telpon.

Sarjana itu terpandang. Ukuran kekayaan tak masalah. Asal anak-anak menjadi sarjana, itulah keluarga unggulan. Kira-kira bahasanya begitulah di jaman itu,  anggapan dimasa lalu.

Benarkah?

Publik memandang gelar sebagai pelengkap, menaikkan derajat baik pribadi maupun keluarga. Maka tak heran ayah ingin agar kita semua mendapat gelar sarjana. Ketika itu, gak terpikir jadi sarjana apa.

“Masuk fakultas hukum saja, nak”

Ya sudah. Kuturuti keinginannya. Saya kurang ngerti jadi sarjana macam apa yang ayah impikan. Belum dapat gambaran saat itu. Mungkin juga kurang wawasan, maklum medsos belum seheboh jaman now.

 


Tetiba, saya duduk di bangku kuliah, di fakultas hukum, jurusan pidana. Waktu senggang bersama kawan ke pengadilan, mengikuti gelar persidangan lalu membuat laporan. Pernah juga ke lapas. Pokoknya area-area terkait kriminal kusinggahi.

Yang asyik, saya belajar bahasa Belanda. Dosenku seorang professor, saya mahasiswi kesayangannya, karena selalu bernilai A.

Pada prakteknya, pandangan saya melihat tugas masing-masing jabatan itu seperti bukan impianku. Banyak kasus di persidangan yang kuikuti, membuat kepala pening. Saya sadar itu bagian dari pejabat berlabel hukum.

Lalu saya?

Uji kemampuan

Hari demi hari tetap kujalani. Tetiba, muncul keinginan uji kemampuan. Iseng aja, kawan memberi guntingan koran lowongan kerja dari satu hotel anyar di Bandung.

Itulah awal sejarah karirku. Dimulai dari nol. Modal nekat saja. Saya berada diantara semua kolega, berlatar pendidikan dunia perhotelan. Kecuali Lisa, seorang mantan perbankan. Jadi kami senasib., non-hospitality.

Kami pelatihan di kelas semasa pre-opening. Saya tekun belajar mengenal istilah hotel, seperti frasa triple O – Out of order, incognito, stay over, morning call, wake up call, welcome drink, valet service.

Mengenal hotel itu kompleks, maka kami belajar mengenal istilah F&B misalnya a’la carte, buffet, clear up, guest napkin, food tester. Bidang  housekeeping: make up room, dusting, late check out, dsb. Setelah  itu pengenalan hotel secara general.

Tahun demi tahun kulalui, takada tekanan berlebihan. Seperti ikan dalam belat, tak dapat melepaskan diri lagi. Tak lama tawaran berdatangan. Semakin lama, kian tenggelam dalam keasyikan.

That’s my life, jauh berjalan banyak dilihat, lama hidup banyak dirasa. Nafas hospitality telah menjiwai. Kesenangan melayani pelanggan dengan sepenuh hati, apresiasi, testimoni, tak dapat dilukiskan.

“Bekerja itu melayani” kata bos senior suatu hari

“Ya, kamu harus melayani anak buah, sesama kolega juga atasan”

Sejak itu, saya paham arti melayani sesungguhnya.

(ilustrasi pixabay)

Di kantor tim marketing terdahulu, hampir semua anggota tim tidak berlatar pendidikan perhotelan. Ini mengherankan!.

Dari jumlah 10 orang, status D3 non perhotelan dan sebagian SMA. Sedangkan posisi sarjana hanya 2 orang. Hal ini menunjukkan bahwa bagian marketing di hotel tidak melulu harus bergelar. Mereka adalah asisten direktur, sales manager, sales executive.

Kecuali seperti tenaga trampil di housekeeping, FO, FB yang perlu tenaga terampil. Namun pendapat inipun dapat dibantah, mereka banyak yang tidak berlatar perhotelan.

Mengapa ada daya tarik melirik kesempatan lain ?
(*) Alah bisa karena biasa
Segala kesukaran takkan terasa lagi setelah terbiasa
(*) Munculnya kesempatan lain yang menjadi daya tarik
(*) Tertarik peluang dan menantang
(*) Membuka gairah meniti karir di masa depan
(*) Adanya kecocokan (chemistry)

Saya menghargai apa yang telah kudapatkan. Maraknya pekerja yang berlatar pendidikan tak sejalur adalah hal biasa. Gak usah berlebihan.

Tak lama, isu itu menjadi riuh. Banyak siswa berkuliah demi mengejar gelar.  Pokoknya kuliah.

Saking banyaknya orang mengejar gelar, sarjana pun membludak. Sarjana juga banyak yang menganggur.

Yang terjadi perubahan tentang gelar menjadi lebih spesifik, Sarjana Sastra (S.S), Sarjana Ekonomi (S.E), Sarjana Ilmu Sosial S.Sos), dll.

Lalu bagaimana?

Gunakan waktu sebaik-baiknya. Kejar pengetahuan seluas-luasnya. Akan tiba waktu yang tepat dimana kita bertumbuh meniti karir sesuai impian.

Bila jenjang karir tak sesuai gelar? Gak masalah. Salah profesi? Gak juga, yang penting kita cakap, terampil dan mau belajar.

Masa terbaik seseorang dalam hidupnya adalah saat ia menggunakan kebebasan yang telah direbutnya sendiri (Pramoedya Ananta Toer)

Salam hospitality.

Comments