Kamu harus lebih bijak (ilustrasi pixabay)
Lain ladang lain belalang, lain lubuk
lain ikannya. Pepatah ini menggambarkan tiap-tiap tempat berbeda sesuai
kebiasaanya. Namun hal ini tidak dapat diterapkan pada tatanan manajemen hotel.
Tujuan para pebisnis hotel
mempunyai benang merah yaitu memenuhi keinginan pelanggan sehingga mendatangkan
revenue setinggi-tingginya.
Sebagai hotelier adalah muskil
jika pendatang baru dapat mengubah sistem manajemen dari suatu hotel. Bisa
diubah tapi memakan waktu yang tidak
singkat.
Nun jauh disana, di kota terpencil
berdirilah satu hotel baru. Ini bukan dongeng, tapi kiasan saja.
Fasilitas lengkap melengkapi
keberadaan hotel berbintang lima ini,
cukup mewah. Sayang, dekorasi hotel lobi terkesan kaku, begitupun dekorasi kamar.
Mari kita lihat arsitek bangunan
hotel dan sila bandingkan kesan pertama menyentuh lobi dan kamar. Sama halnya
saat memasuki sebuah rumah, sambutan hangat penghuni membahagiakan para tamu.
Kehangatan suasana ruang serta
bangunan hotel tak lepas andil sang pemilik terhadap impiannya memiliki sebuah
hotel. Ada hotel berkesan hangat, ramah, para staf luwes terhadap tamu. Banyak pula
yang kaku, terkesan sombong dan not
friendly.
Pada hakikatnya tujuan pelayanan
dari hotel menciptakan keramahan, kehangatan dalam melayani setiap tamu. Itu
sebabnya industri perhotelan dinamai industri
hospitality.
Sudah dapat diterka, jikalau
pelayanan staf hotel tidak ramah, pertanda sinyal ‘keanehan” dalam sistem
manajemen. Baik pelayanan eksternal terhadap tamu dan pelayanan internal melayani
sesama hotelier.
Banyak pebisnis melirik usaha
ini. Return of Investment (RoI) yang cepat menjadi alasan mereka tekun dalam bidang
ini. Bukan pebisnis jika tidak melirik hasil akhir, ujung-ujungnya duit.
Tak dipungkiri, sang pemilik
hotel fokus pada revenue, bagaimana uang dapat segera kembali. Ada pula alasan memiliki
hotel sebagai prestise saja.
Sayangnya pemilik hotel kadang kurang
memahami arti standar operasi. Bersyukurlah bagi mereka berlatar perhotelan,
setidaknya akan mampu menjalankan bisnis ini dengan penuh perhatian sesuai
pengetahuan.
Namun bagaimana jika sang pemilik
kurang paham menjalankan roda bisnis ini?
Hotel yang dibangun dengan megah,
di lokasi favorit, menjadi incaran para tamu, ladang basah bagi hotel. Tapi
jangan salah, bisnis akan tenggelam jika tidak dijalankan dengan benar secara
prosedural.
Untung ruginya pemilik mencampuri
urusan operasi hotel, digambarkan sebagai “pengacau”.
Beberapa sikap pemilik hotel yang
menghambat kemajuan hotel:
(1.) Tidak mempercayai pimpinan/(GM)
menjalankan operasi hotel
(2.) Tidak mendelegasikan kepada
pimpinan hotel/general manager (GM)
(3.) Seluruh kegiatan hotel mesti
diketahui pemilik termasuk menandatangani administrasi kegiatan tim penjualan
Bagi operator hotel sungguh
menyulitkan, dimana ketiga peran masing-masing dijalankan secara bersamaan. Demikian
pula bila hotel berdiri sendiri (independent), kegiatan pasti terhambat, bahkan
terhenti. Karenanya Tim penjualan diubek-ubek.
Bahasan saya kali ini akan
mengerucut pada hotel yang independen. Tim penjualan berusaha mencari
pendapatan sebanyak-banyaknya. Mereka berjuang agar bujet tercapai. Hasil kerja
pejuang revenue ini akan tampak pada data admin okupansi dan pendapatan harian,
mingguan, bulanan serta tahunan.
Seorang sales leader sejatinya
mampu memutuskan segala hal terkait aktifitas penjualan. Sayangnya tidak
selamanya ideal sesuai standar. Beberapa hotel memberlakukan aturan
berputar-putar pada prosesnya. Bahkan setiap pengajuan secara tertulis. Hal
sepele jadi ruwet!
Sejatinya pengajuan cukup berhenti
pada level GM saja. Kenyataannya, hari demi hari hanya mengikuti seluruh arahan
dan instruksi pemilik.
Peran pimpinan hotel
tersingkirkan. Seorang GM berkewajiban membawa biduk hotel melaju. Akhirnya
terjadi dualisme kepimpinan.
Dalam manajemen, bukan tidak mungkin menimbulkan kekacauan. Tengok saja akibat kepemimpinan ganda ini:
(1.) Mengenyampingkan, tidak
mempercayai seorang pimpinan tertinggi di hotel
(2.) Mengacaukan sistem operasi
hotel
(3.) Memberi ruang sempit bagi
sales marketing
(4.) Hotel tidak berkembang
normal
(5.) Manajemen kurang bergairah
disebabkan kebingungan menghadapi instruksi berbeda
Baiklah, saya akan paparkan
penjelasan berikut ini:
(1). Mengenyampingkan, tidak mempercayai seorang pimpinan hotel
Mungkin saja pemilik tidak
percaya akan ketrampilan GM dalam hal memimpin, namun bukankah ia direkrut atas
dasar persetujuannya?
Sang empunya kuasa sebaiknya
memberikan wewenang kepada pimpinan di hotel miliknya. Jangan biarkan si GM
kebingungan memberikan keputusan. Apabila hal sepele saja memohon persetujuan
pemilik, lalu apa guna fungsi sebagai pimpinan hotel?
Menunggu keputusan berhari-hari
itu menjengkelkan. Semakin lama semakin menumpuk permasalahan yang tidak
berkelanjutan padahal semestinya dapat diputuskan segera.
(2.) Mengacaukan sistem operasi hotel
Hal nyata terlihat adalah ketika
pemilik hotel terlibat pada urusan penjualan. Inipun membuat mandul seorang
sales leader.
Pada tahap ini seharusnya sudah
selesai pada level GM. Tidak perlu lagi tim penjualan mengajukan harga-harga
penawaran ‘low budget kepada pemilik.
Bukankah tim penjualan telah dilengkapi susunan harga (rate structure) baik kamar maupun banquet?
Seorang sales leader pun tidak
dianggap akan keputusannya. Miris melihat kenyataan ini, jauh dari standar operasi
hotel. Bukan saja memandang rendah seseorang pada jabatan itu tapi juga situasi
hotel menjadi tidak sehat!
Adalah keruwetan yang terjadi
jika setiap pelanggan menawar harga harus selalu dibubuhi tandatangan departemen
terkait dan pemilik hotel? Lalu apa guna peran sales leader? Bukankah ini
bentuk ketidakpercayaan terhadap pimpinan?
(3.) Memberi ruang sempit bagi tim penjualan
Jika setiap permasalahan di
departemen tim penjualan harus diketahui seorang GM, hal ini adalah dibenarkan.
Namun bila setiap masalah harus dilaporkan pada pemilik atau setiap pengajuan
harga harus terdapat bukti tandatangan dari pemilik, bukankah ini membuat tim
penjualan kikuk dan mandul?
Selama proses, akan membuat pelanggan
kabur ke hotel pesaing. Bila birokrasi dipersulit hanya karena mempertahankan
sistem yang kaku, patut disayangkan. Selain merugikan semua pihak juga
menghambat kemajuan bisnis.
(4.) Hotel tidak berkembang normal
Akibat bengkongnya tatanan
manajemen ini, dapat ditebak dampaknya
terhadap bisnis. Hotel jadi kerdil tidak berkembang normal.
Setiap hari disibukkan oleh
birokrasi hotel yang berbelit-belit, standar operating procedure (SOP) yang
bertele-tele. Bila dapat dipersulit guna kejelasan kenapa tidak, akhirnya
seluruh permasalahan, laporan, berita acara melalui tulisan yang menguras tenaga
dan waktu ekstra.
Terhambatnya suatu sistem
disebabkan peran pemilik hotel dan GM tarik menarik. Mengapa sedemikian buruk
tatanan suatu manajemen hotel?
Sebab sang pemilik tidak
memberikan kepercayaan dan wewenang penuh kepada GM. Seluruh sistem bertumpu
pada sang pembuat kebijakan yang membuat amburadul.
(5.) Staf tidak bergairah karena kesimpangsiuran instruksi
Telah disinggung pada keterangan
terdahulu. Sang big bos berkelintaran di area hotel miliknya. Ia bebas menyuruh
staf sewaktu-waktu. Staf panik mendapat instruksi secara mendadak. Belum lagi
transfer informasi yang keliru berakibat salah paham.
Peristiwa semacam ini sering
terjadi, membuat panik tim penjualan. Dari sales leader hingga admin terkena
omelan.
Begitu setiap hari, tiada
putus-putusnya problema menghadang. Anda tahu mengapa? sebab ia tidak menaruh
percaya dan wewenang kepada sang pimpinan hotel, berakibat mandulnya fungsi seorang
pemimpin!
Semoga tulisan ini bermanfaat khususnya
bagi hotelier. Bukan tidak mungkin beberapa perusahaan memiliki kesamaan
peristiwa, hanyalah suatu kebetulan belaka.
Kepada calon pemilik hotel,
terlebih dalam situasi sukar, belajarlah memberi wewenang serta kepercayaan
kepada pimpinan hotel, staf yang selalu siap membantu disaat tersulit.
Bila anda seorang pimpinan hotel dalam
situasi demikian, anggap saja suatu pelajaran berharga yang membuatmu bijak menyikapinya
di kemudian hari.
Salam hospitality!
Jakarta, 1 Maret 2021
Comments