(ilustrasi pixabay)
Eddie teman sekelasku di sekolah
menengah pertama. Ibunda lahir di Yogyakarta dan ayahanda Rudy van der Molen,
warganegara Belanda. Eddie lahir di Belanda.
Di kelas ia masuk geng super.
Tampil di segala kesempatan, padahal bahasa Indonesianya masih semrawut. Maklumlah,
ia datang setahun lalu, tampan, memikat perhatian kawan-kawan.
Ia cepat bergaul dengan siapapun.
Tak ketinggalan, canda dalam bahasa gaul Sunda. Saat pertama Eddie datang,
banyak pengagumnya termasuk diriku.
Suatu hari, Pak walikelas masuk
bersama seorang pelajar pindahan dari negri Belanda. Namanya Lusi, blasteran
Belanda - Indonesia.
Hari itu Lusi memakai baju krem
tua, stocking hitam, rok hitam pendek, sepatu kulit warna coklat. Lusi bergincu
padahal seumuran kita. Persis model di Elle magazine. Modis.
Eddie menemani Lusi sehari-hari
sekaligus belajar bahasa Indonesia. Jika ada pelajaran sulit, ia akan menerjemahkan,
meski harus ku bantu juga akhirnya.
Tidak sulit bagi teman baruku ini
untuk menyesuaikan diri. Dalam sebulan ia menguasai berbagai ilmu, bahasa Indonesia,
pendidikan moral Pancasila, PSPB, pendidikan sejarah perjuangan bangsa.
Lama kelamaan, Eddie dan Lusi
sangat akrab. Keduanya terang-terangan menunjukkan saling menyukai dihadapan
teman-teman.
Dua bulan terlewati. Abrakadabra!,
bentuk tubuh Lusi menjadi-jadi, tambun. Pipi tembem, pinggang melar, paha
membesar. Eddie terheran-heran, kok badan Lusi penuh lemak?
Penasaran Lusi kenapa berbadan
moleh?
“Lusi, aku main ke rumah ya” usul
aku sambil mengerjakan PR.
“Ok, kutunggu!” sahutnya
Pulang sekolah, aku bersama Ruth
dan Agatha langsung ke rumah Lusi. Sang ibunda menjamu kami. Senang bukan
kepalang makan bersama di rumah Lusi.
Menunya lengkap, mulai dari
lettuce, red beans, sup shitake, soft bread, ayam goreng, ikan salmon.
Kutengok Lusi lahap menyendok red
beans. Sudah seminggu sang bunda mengolanya. Red beans atau kacang merah itu sebagai
pengganti nasi.
“Kami tak pernah makan nasi di
Belanda. Sejak Bi Ima masak nasi, Lusi jadi gemuk”, kata Mrs. Sofie van de
Veide.
Setelah kenyang, kami pamitan
kepada Mrs. Sofie.
Seninnya, di sekolah diadakan
pemeriksaan rutin yaitu kelengkapan sepatu, kerapihan seragam sekolah, kebersihan
kuku.
Semua murid harus duduk tertib di
bangku masing-masing. Pak guru berkeliling memeriksa. Suasana hening, tetiba terdengar
suara “tiuuuut”
Semua murid memandang Lusi.
Bahkan Ria, yang duduk di sebelahnya. Tak dapat menyembunyikan rasa tawa,
sontak semua tertawa termasuk guru.
Eddie tertunduk, tak tega
pacarnya disoraki. Iapun terdiam. Lusi menunduk malu. Kisah ini menjadi buah
bibir di kelas 2 A,B,C
Saat jam rehat pukul 10:00, Lusi
tak kelihatan. Kami teman sekelas mencarinya. Pak guru panik lalu menelpon Ibu
Sofie
Esok harinya Lusi tak masuk
sekolah. Kata ibunya, sakit panas. Esok harinya begitu pula, Lusi belum nongol.
(ilustrasi pixabay)
5 hari pun berlalu.
Eddie, aku dan Agatha pergi ke
rumah Lusi. Bi Ima bilang, Lusi ke Jakarta bersama kedua orang tua. Kamipun
pulang dengan lemas.
Cerita kentut Lusi berbuntut
menghilangnya Lusi pun menyebar. Kami semua sedih, sudah 10 hari Lusi tak
masuk.
Perginya Lusi menjadi tanda
tanya. Semua penasaran kemana si pipi merah ini. Saat itu kami segan bertanya
kepada Pak Guru.
14 hari berlalu
Eddie, aku, Agatha dan Reni
berkunjung ke rumah Lusi. Sang Ibunda sedang merapikan tanaman hias di beranda.
“Tante Sofie, kami cuma mau
tanya, Lusi kemana ya Tan?”
“Oh, Lusi kembali ke Netherland,
dia gak mau sekolah disini katanya”
Kami semua terdiam.
“Tante sama Om menyusul minggu depan.
Lusi diantar Aunty Ana”
“ohh…” serempak
“Ya sudah Tante, kami pamit”
“Hati-hati di jalan ya”
Dear Diary,
Kami tak menyangka awal dari
bunyi tak diundang itu menjadi masalah bagi Lusi. Kesukaannya memakan kacang
merah menjadi petaka. Lusi mendapat malu. Ia tak siap dengan olok-olok teman.
Ibunda mengawasi ketat asupan
makanan untuk Lusi. Hingga tak terduga, kacang merah menjadi biang keladi.
Sesak berundur-undur, hendak lari
malu, hendak menghambat tak tahu. Dirundung malu memang tak nyaman.
Keadaan Lusi dalam kajian psikologi
yaitu keadaan memalukan, embarrassment, shame. Menurut Wikipedia, penyandang
rasa malu secara alami ingin menyembunyikan diri dari orang lain karena
perasaan tidak nyaman jika perbuatannya diketahui oleh orang lain.
Menurut Carl Schneider dalam buku
Shame, Exposure, Privacy, rasa malu terbagi menjadi 2 kategori, yaitu
(*) Rasa malu yang berhubungan
dengan kehinaan seseorang (disgrace shame)
(*) Rasa malu terkait dengan
kesopanan (discretionary shame)
Keduanya tetap diperlukan oleh
manusia untuk menghindarkan dirinya dari perbuatan yang memalukan.
Akibat malu, membimbing seseorang
untuk mempertahankan integritas, karenanya sangat erat dengan disiplin etika.
Seseorang yang mengalami rasa
malu berarti ia sedang mengalami konflik dalam dirinya yaitu konflik karena
dirinya melakukan negosiasi nilai antara kenyataan dan naluri.
Jika naluri dan kenyataan itu
tidak selaras maka terjadi konflik dan timbul rasa malu.
Setahun kemudian, tetiba sekolah heboh. Seorang remaja putri, berwajah nan cantik muncul didampingi kepala sekolah. Wajahnya tak asing lagi, siapa lagi kalau bukan Lusi.
Ia tampil penuh percaya diri.
Tiada lagi teman-teman yang mengoloknya. Peristiwa setahun lalu tak pernah
diingatnya. “That’s just a joke”, katanya. Membalas candaan perihal buang gas
di kelas.
Itu hanya kejadian di masa lalu,
katanya lagi. Malu berkayuh, perahu hanyut. Kalau segan melangkah, takkan
mendapat kemajuan.
(*) Nama-nama disamarkan
Comments