(ilustrasi pixabay)
Suatu hari saya ngobrol ringan
dengan tetangga. Bu Amah nama tetangga saya, usia 61 tahun. Obrolan hingga masalah vaksin sebab cepat
atau lambat pasti kita semua akan divaksin.
Tersirat dalam celotehnya bahwa dirinya
enggan divaksin. Alasannya karena ia sesekali saja keluar rumah. Kedua ia
jarang bersosialisasi dengan penduduk diluar lingkungan RT. Setidaknya, tak
pernah berkerumun, katanya.
Bu Amah memang patuh pada aturan
3M. Namun urusan vaksin belum terpikir, katanya lagi. Bukan karena fobia jarum
suntik sepertinya tapi lebih kepada lanjut usia.
Sambil bergurau, “ne waktune mate, yo wes mate ae”, kalau
sudah waktunya meninggal, ya meninggal saja ujarnya. (maaf ya agak kasar, saya
menangkapnya begitu)
Begitulah pandangan setiap orang
berbeda tentang vaksin. Bahkan yang tidak takut jarum suntikpun ikut keras kepala.
Bagi mereka lebih baik membayar denda daripada divaksin. Alasannya sebenarnya,
hanya dialah yang mengerti.
Seandainya semua rakyat di negri
ini manut saja, pasti aman sentosa. Kenyataannya lain.
Dikeluarkannya Perpres 14 tahun
2021 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka
Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 pada 9 Februari 2021,
memperkuat kegigihan pemerintah guna menghambat virus.
“Hari gini kayaknya gak jaman
lagi memperdebatkan mau atau tidak seseorang
divaksin. Mendengarnya saja sudah jengah”, tutur seorang kawan.
Apalagi pemerintah bertanggung
jawab penuh terhadap mereka yang terkena dampak vaksin bila cacat atau meninggal setelah divaksin. Suatu kesungguhan
pemerintah dalam memerangi virus di negri ini.
Perbedaan pandangan terhadap
sesuatu hal adalah biasa. Itu sebabnya diperlukan peraturan agar menjadi dasar
kesatuan pandangan. Namun bila peraturan dibuat tanpa mengindahkan norma, sama
dengan cara mengacak-acak tatanan bermasyarakat.
Adalah suatu prestasi seorang
pemimpin negara, jika ia mampu membawa rakyat menuju satu tujuan walau beragam
sudut pandang.
Banyak orang cerdas dan pintar
namun tidak sedikit pula yang menentang
niat baik pemerintah. Tengok saja ilmuwan yang keblinger, keras kepala, di
negara manapun pasti ada.
Menyatukan pendapat orang-orang
pintar ini tentu saja tidak mudah. Mereka pasti memiliki argumentasi kuat.
Bagi warganegara yang taat, tentu saja mereka memikirkan kepentingan umum daripada kepentingan pribadinya. Bukan perusuh! Apalagi kebutuhan vaksin, menyangkut kesehatan tubuhnya.
Kita semua paham, vaksin berguna untuk
kesehatan pribadi. Mengapa harus ada paksaan? Bagaimana menyadarkannya bahwa
vaksin itu penting? Berikut program yang harus dilakukan konsisten:
(*) Razia kepada setiap
pengendara mobil, motor untuk belok ke posko.
(*) Razia bagi pejalan kaki di
jalan raya, lakukan pemeriksaan oleh petugas
(*) Petugas di lingkungan RT berkeliling
kepada warga. Memastikan dan mendata seluruh warganya yang telah divaksin. (tracking system)
Wadah Rukun Tetangga yang paling
efektif dalam mengawasi setiap gerak warganya. Bapak/Ibu RT membentuk tugas
kerja atau Pokja (kelompok kerja), berkeliling dari rumah ke rumah. Melakukan
pendataan setiap warga yang belum dan sudah divaksin.
Apabila tidak menunjukkan surat
bukti telah divaksin, berikan rujukan dari RT ke rumah sakit/posko terdekat
dengan limit waktu yang ditentukan.
Agar semangat mengabdi tidak
terbeban dan efektif bekerja, berikan insentif kepada Ketua RT dan PokJa. Saat
ini negara memerlukan bantuan serta kerja keras seluruh warga. Jabatan Ketua RT
diperhitungkan dalam memperjuangkan keadaan force
majeure sekarang ini.
Demikian, surat bukti telah
divaksin berfungsi sebagai KTP. Bagi yang tidak memiliki surat bebas vaksin,
harus dikenakan sanksi layaknya sanksi tidak berkartu tanda penduduk. Tengok
saja betapa sulit masuk ke gedung perkantoran jika tak memiliki KTP atau kartu indentitas,
bahkan dilarang masuk.
Ketua RT dan aparat bekerja sama.
Kalau dulu bergiliran siskamling setiap hari. Kini siskamling vaksinasi. Sambil
menyelam, minum air, bukan saja pengawasan vaksin, tapi juga mencegah tindak
kriminal di lingkungan.
Menginduk pada Perpres tersebut, contoh
bentuk hukuman yang diterapkan berupa sanksi :
(*) Tidak boleh bepergian hingga
seseorang memiliki bukti telah divaksin
(*) Sebagai salah satu syarat proses
lamaran bekerja. Perusahaan-perusahaan tidak akan meloloskan pelamar tanpa memiliki
surat bukti telah divaksin.
(*) Sulit mendapatkan pelayanan
masyarakat: membuat passport, KTP, Surat Ijin Mengemudi, akte lahir, dll.
(*) Tidak mendapatkan bantuan
sosial.
(*) Terkena denda
Dalam Pasal 13A ayat (4), Perpres
No 14 tahun 2021, dinyatakan
a. Sanksi
administratif berupa penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau
bantuan sosial
b. Penundaan
atau penghentian layanan administrasi pemerintahan dan /atau
c. denda
Memberikan gula-gula bagi mereka
yang telah divaksin? Tak perlu. Lebih baik bantuan diberikan untuk korban
bencana alam.
Demikian, setiap warga akan
terawasi mulai dari lingkungan RT. Selain bertambah akrab hubungan Ketua RT dengan
warganya juga terjalin tali silaturahmi.
Sebagai warganegara yang baik, patuh
dan taat saja. Jika virus reda, rakyatpun senang.
Itulah sekilas pandangan sederhana
saya mengenai sanksi menolak vaksin dalam sorotan sanksi sosial.
Secara bijaksana dan sikap
berhati-hati sejatinya pemerintah melangkah demi kepentingan rakyat. Consilio et prudential.
Comments