Internet, Jangan Pisahkan Aku dari Anakku!

 

(ilustrasi pixabay)

Usiaku 41 tahun, Aku berada di dunia super modern menuju dunia ekstravaganza. Itu label ciptaanku saja.

Nyanyian jadul ‘Morning Has Broken membangunkanku. Itu alarm lagu. Aku terbiasa bangun jam 04:30 setiap hari. Mataku terbuka pada jam itu meski tidur telat semalam.

Setelah menyantap santapan rohani, aku melantunkan pujian kepada Sang Khalik. Saat teduh tak pernah terlewatkan sesuai ritme hidupku setiap hari.

Aku menyiapkan sarapan untuk suamiku Ray dan kedua anak, Daun dan Karen. Kadang Enah, asistenku membantu bila ia telah tiba di rumah tepat pukul 08:00.

Enak kugaji Rp 20 juta per bulan. Gajiku sendiri Rp 480 juta per bulan, cukup membiayai kebutuhan rumah dan menggaji asistenku. Penghasilan Ray hanya untuk persiapan masa depan bagi anak-anak kelak.

Hanya 30 menit pesanan sarapan tiba. Seorang pelayan restoran meletakkan pesanan dalam keranjang di celah pintu khusus untuk makanan. Melalui kaca itu, aku dapat melihat satu basket 4 telur rebus, 2 telur dadar, bubur ayam tanpa msg dan Chinese salad.

Bukan aku malas membuatnya, hanya saja waktuku tak cukup untuk menyiapkan segala sesuatu.

Ray baru saja tiba dengan helikopter kemarin petang dari Balikpapan. Kami merindu, sekeluarga berbincang semalaman.

Aku sendiri bekerja di Hotel Aurora sebagai sales head. Pekerjaanku memimpin tim marketing. Tim ini terdiri dari 5 sales marketer yang mencari pendapatan untuk hotel.

Jadwalku hari ini, Senin 28 Oktober 2041

(*) Sales briefing

(*) Diskusi perihal group series inbound Asia, Australia, Eropa dan Amerika

(*) Bujet meeting 2042

(*) Konfirmasi tema acara tahun baru

(*) Laporan penjualan harian

 

Seluruh aktifitas melalui webinar, zoom meeting, skype call dan aplikasi Whatsapp

Aku menempati ruang kerja pribadiku khusus untuk bekerja. Begitupun Ray, insinyur teknik di pengeboran minyak, hanya akan berkantor setelah tiap 2 bulan di lepas pantai.

Ruang bekerja Ray bersebelahan denganku. Sementara Daun, si sulung menempati meja belajar di ruang belajar beserta adik perempuannya, Karen.

Daun membimbing pelajaran Karen. Daun di kelas 10, usia Daun dan Karen terpaut 5 tahun.

Aku sibuk dengan sederet jadwal kerja, begitupun Ray. Daun dan Karen mengikuti pelajaran di televisi.

Waktu rehat ku gunakan berkumpul di ruang tengah, kadang di tepi kolam. Enah menyajikan kudapan.

Makan siang hari ini sesuai menu rotasi. Enah juga mengawasi setiap pengiriman makanan dari delivery food.

Tiba jam makan siang, sekeluarga berkumpul di meja makan. Aku berencana membeli cyberwoman untuk meringankan pekerjaan Enah. Mungkin setelah uang cukup terkumpul sebab robot ini harus kubeli langsung di Jepang.

Sementara Enah bekerja selama 4 jam di rumahku. Ia baru saja kutetapkan menjadi pegawai tetap setelah 2 bulan teruji baik dalam bekerja. Pekerjaannya hanya mencuci baju, membersihkan debu di seluruh ruangan dan perabotan juga make up room.

Aku dan kedua anak membersihkan pekarangan berumput di akhir pekan. Mereka senang bermain air mancur.

Jika ada keperluan mendadak, ku panggil Enah agar ia lembur. Di akhir pekan ku tak dapat mengganggunya. Ia dapat menikmati libur, berkumpul bersama keluarganya.

Aku dan keluargaku sangat bergantung pada internet. Bila jaringan internet terganggu, kami dalam kesulitan besar.

Semua orang mengakui, kita tak dapat menghindari ketergantungan internet yang memberi hal positif karena kita dapat menghemat waktu

Kantorku di rumah. Seluruh back office bekerja di rumah, Jadi aku tidak memerlukan mobil. Kegiatan sehari-hari dari rumah, terhindar dari polusi serta virus yang membahayakan.

Namun tinggal terus di rumah, kadang membosankan.  Akhir pekan pergilah kami ke Puncak, Pantai Kuta, Pulau Komodo, Danau Toba. Setiap pekan pilot helikopter akan membawa ke tempat yang kami inginkan. Kami memiliki 1 helikopter hanya untuk keperluan berakhir pekan.

Kegemaranku berjalan di perkebunan teh di pegunungan. Kami sering ke Puncak menghirup udara segar. Setelah itu kuselingi dengan melukis, membaca, menulis artikel.

Bertahun-tahun kami hidup dengan irama yang sama hingga anakku tumbuh dewasa.

Kusadar, ketergantungan keluarga kami pada internet menyebabkan aku dan anak-anakku jarang berkomunikasi, rasa peduli terhadap tetanggapun berkurang sebab seluruh keperluan gampang terwujud. Tetanggaku bahkan mermarkir 2 helikopter.

Kami hidup bagai terisolir dari masyarakat. Tetanggaku bahkan stress karena jarang berikteraksi. Teringat kala ku remaja, ayah, ibu kerap bersilaturahmi. Kini aku kehilangan masa bersosialisasi, terbuai dunia kerja.

Internet pengubah jaman. Mengubah gaya hidup  keluarga dari masa ke masa. Si sulung harus berkacamata minus sejak 10 tahun. Si bungsu sangat pendiam dan pemalu. Aku terkejut kala ia mampu didepan komputer semalaman tanpa berbaring semenitpun.

Anak-anak di jaman super modern ini, tidak pernah bergaul. Saat Karen berusia 17 tahun, ia punya teman dating, seorang pria dari New Zealand. Aku hanya tersenyum melihat tingkah polah mereka.

Olala, inikah dunia tanpa sentuhan rasa. Kami tertangkap basah oleh kondisi ini.

Internet for all, sungguh mengubah pola dan gaya hidupku dari masa ke masa. Internet bukan candu, tapi kebutuhan. Saya merasa jauh dengan anakku kala Karen lebih suka video call dari kamarnya ketimbang mengetuk pintu kamarku. Aku seakan terpisah dari dunia nyata yang mestinya melayani mereka dengan sentuhan keibuanku.

Internet for all, membuat manusia terkotak-kotak, hidup terisolir secara fisik namun dekat di dunia maya.

Aku sadar, kemajuan sebuah keluarga di masa depan akan sangat bergantung pada hubungan erat antar anggota keluarga; ayah, ibu serta anak. Saling mengasihi kunci keberhasilan setiap anggota keluarga.

Namun saat kami asyik tergantung padanya, kasih terasa menjauh. Akankah kasih luntur tertelan masa?

Anakku, impian keluarga harmonis yang saling mengasihi, saling melengkapi hendaknya tetap dipertahankan menuju dunia ekstravagansa.

Jakarta, Senin 28 Oktober 2041


Comments