Usiaku 41 tahun, Aku berada di dunia super modern menuju dunia ekstravaganza. Itu
label ciptaanku saja.
Nyanyian jadul ‘Morning Has Broken membangunkanku. Itu alarm lagu. Aku terbiasa
bangun jam 04:30 setiap hari. Mataku terbuka pada jam itu meski tidur telat
semalam.
Setelah menyantap santapan
rohani, aku melantunkan pujian kepada Sang Khalik. Saat teduh tak pernah terlewatkan
sesuai ritme hidupku setiap hari.
Aku menyiapkan sarapan untuk suamiku
Ray dan kedua anak, Daun dan Karen. Kadang Enah, asistenku membantu bila ia
telah tiba di rumah tepat pukul 08:00.
Enak kugaji Rp 20 juta per bulan.
Gajiku sendiri Rp 480 juta per bulan, cukup membiayai kebutuhan rumah dan
menggaji asistenku. Penghasilan Ray hanya untuk persiapan masa depan bagi
anak-anak kelak.
Hanya 30 menit pesanan sarapan tiba.
Seorang pelayan restoran meletakkan pesanan dalam keranjang di celah pintu
khusus untuk makanan. Melalui kaca itu, aku dapat melihat satu basket 4 telur
rebus, 2 telur dadar, bubur ayam tanpa msg dan Chinese salad.
Bukan aku malas membuatnya, hanya
saja waktuku tak cukup untuk menyiapkan segala sesuatu.
Ray baru saja tiba dengan helikopter
kemarin petang dari Balikpapan. Kami merindu, sekeluarga berbincang semalaman.
Aku sendiri bekerja di Hotel
Aurora sebagai sales head. Pekerjaanku memimpin tim marketing. Tim ini terdiri
dari 5 sales marketer yang mencari pendapatan untuk hotel.
Jadwalku hari ini, Senin 28 Oktober
2041
(*) Sales briefing
(*) Diskusi perihal group series inbound Asia, Australia,
Eropa dan Amerika
(*) Bujet meeting 2042
(*) Konfirmasi tema acara tahun baru
(*) Laporan penjualan harian
Seluruh aktifitas melalui webinar, zoom meeting, skype
call dan aplikasi Whatsapp
Aku menempati ruang kerja pribadiku khusus untuk bekerja. Begitupun Ray, insinyur teknik di pengeboran minyak, hanya akan berkantor setelah tiap 2 bulan di lepas pantai.
Ruang bekerja Ray bersebelahan
denganku. Sementara Daun, si sulung menempati meja belajar di ruang belajar
beserta adik perempuannya, Karen.
Daun membimbing pelajaran Karen. Daun
di kelas 10, usia Daun dan Karen terpaut 5 tahun.
Aku sibuk dengan sederet jadwal
kerja, begitupun Ray. Daun dan Karen mengikuti pelajaran di televisi.
Waktu rehat ku gunakan berkumpul
di ruang tengah, kadang di tepi kolam. Enah menyajikan kudapan.
Makan siang hari ini sesuai menu rotasi.
Enah juga mengawasi setiap pengiriman makanan dari delivery food.
Tiba jam makan siang, sekeluarga
berkumpul di meja makan. Aku berencana membeli cyberwoman untuk meringankan pekerjaan Enah. Mungkin setelah uang
cukup terkumpul sebab robot ini harus kubeli langsung di Jepang.
Sementara Enah bekerja selama 4
jam di rumahku. Ia baru saja kutetapkan menjadi pegawai tetap setelah 2 bulan
teruji baik dalam bekerja. Pekerjaannya hanya mencuci baju, membersihkan debu
di seluruh ruangan dan perabotan juga make up room.
Aku dan kedua anak membersihkan pekarangan
berumput di akhir pekan. Mereka senang bermain air mancur.
Jika ada keperluan mendadak, ku
panggil Enah agar ia lembur. Di akhir pekan ku tak dapat mengganggunya. Ia dapat
menikmati libur, berkumpul bersama keluarganya.
Aku dan keluargaku sangat bergantung
pada internet. Bila jaringan internet terganggu, kami dalam kesulitan besar.
Semua orang mengakui, kita tak
dapat menghindari ketergantungan internet yang memberi hal positif karena kita
dapat menghemat waktu
Kantorku di rumah. Seluruh back
office bekerja di rumah, Jadi aku tidak memerlukan mobil. Kegiatan sehari-hari dari
rumah, terhindar dari polusi serta virus yang membahayakan.
Namun tinggal terus di rumah,
kadang membosankan. Akhir pekan pergilah
kami ke Puncak, Pantai Kuta, Pulau Komodo, Danau Toba. Setiap pekan pilot
helikopter akan membawa ke tempat yang kami inginkan. Kami memiliki 1 helikopter
hanya untuk keperluan berakhir pekan.
Kegemaranku berjalan di perkebunan
teh di pegunungan. Kami sering ke Puncak menghirup udara segar. Setelah itu
kuselingi dengan melukis, membaca, menulis artikel.
Bertahun-tahun kami hidup dengan
irama yang sama hingga anakku tumbuh dewasa.
Kusadar, ketergantungan keluarga
kami pada internet menyebabkan aku dan anak-anakku jarang berkomunikasi, rasa
peduli terhadap tetanggapun berkurang sebab seluruh keperluan gampang terwujud.
Tetanggaku bahkan mermarkir 2 helikopter.
Kami hidup bagai terisolir dari
masyarakat. Tetanggaku bahkan stress karena jarang berikteraksi. Teringat kala ku
remaja, ayah, ibu kerap bersilaturahmi. Kini aku kehilangan masa
bersosialisasi, terbuai dunia kerja.
Internet pengubah jaman. Mengubah
gaya hidup keluarga dari masa ke masa.
Si sulung harus berkacamata minus sejak 10 tahun. Si bungsu sangat pendiam dan pemalu.
Aku terkejut kala ia mampu didepan komputer semalaman tanpa berbaring
semenitpun.
Anak-anak di jaman super modern
ini, tidak pernah bergaul. Saat Karen berusia 17 tahun, ia punya teman dating,
seorang pria dari New Zealand. Aku hanya tersenyum melihat tingkah polah
mereka.
Olala, inikah dunia tanpa
sentuhan rasa. Kami tertangkap basah oleh kondisi ini.
Internet
for all, sungguh mengubah pola dan gaya hidupku dari masa ke masa. Internet
bukan candu, tapi kebutuhan. Saya merasa jauh dengan anakku kala Karen lebih
suka video call dari kamarnya ketimbang mengetuk pintu kamarku. Aku seakan terpisah
dari dunia nyata yang mestinya melayani mereka dengan sentuhan keibuanku.
Internet for all, membuat manusia
terkotak-kotak, hidup terisolir secara fisik namun dekat di dunia maya.
Aku sadar, kemajuan sebuah keluarga
di masa depan akan sangat bergantung pada hubungan erat antar anggota keluarga;
ayah, ibu serta anak. Saling mengasihi kunci keberhasilan setiap anggota
keluarga.
Namun saat kami asyik tergantung
padanya, kasih terasa menjauh. Akankah kasih luntur tertelan masa?
Anakku, impian keluarga harmonis
yang saling mengasihi, saling melengkapi hendaknya tetap dipertahankan menuju
dunia ekstravagansa.
Jakarta, Senin 28 Oktober 2041
Comments