Hobi Jangan Setengah Hati!

(ilustrasi pixabay)

Ketika duduk di bangku sekolah, saya senang menari tarian Jawa Serimpi dan tari Sunda. Ayahku mengajarkan dasar khusus tari Jawa, jadi tidak perlu les tari katanya.

Bersamaan waktu itu, sayapun gemar bermain gitar, piano selain melukis. Ayah gemar bermain piano dan gamelan sedangkan ibuku pandai melukis. Konon hobi melukis ibunda dari sang ayah asal negri sakura.

Beranjak remaja, bermain gitar dan menyanyi tetap favorit dibarengi kesukaan baru, mengarang cerpen.

Hobi mengarang tulisan akhirnya menjadikan juara 3 tingkat nasional dalam rangka HUT PT Pos Indonesia. “Surat untuk Anak pada Tahun 2000” judul karangan itu. Saya baru engeh kalau itu bibit hobiku 30 tahun kemudian.

Lakukan hobi sepenuh hati

Memiliki hobi setengah hati itu seperti hangat-hangat tahi ayam. Sekejap saja berganti arah, musiman. Lakukanlah dengan totalitas.

Jika saja saya tekuni sejak dulu, lalu semua hobi diperdalam, mungkin telah mahir pada usia dewasa. Sedangkan waktu takdapat diputar kembali.

Ketika kami mengamati hobi kedua anak, ternyata bakat kami mewarisi hampir semua hobi pada mereka, kecuali menari. Keduanya hobi bermain musik, menyanyi, melukis kecuali hobi filateli hanya berhenti pada generasiku.

Menekuni hobi ternyata mengikuti arus jaman. Dahulu menari Jawa, Sunda, Bali adalah kebanggaan masa kanak dan remaja putri. Saya diunggulkan oleh orang tua dan kakak, teman sekolah, guru sekolah sehingga nama saya dikenal.

Memasuki usia sekolah atas, juga karena mengikuti kepindahan pekerjaan ayah, akhirnya hanya hobi bermain gitar yang saya tekuni, melukis sesekali saja.

Tahun 2015, awal saya tertarik menulis di blog. Hanya dihasilkan sedikit sekali tulisan. Hingga suatu hari saat pandemi corona melanda dunia, muncul gairah menulis.

Kemudian melihat buku-buku di lemari tidak tertata rapih, sayapun mulai merapikan kembali.

Ketika itu bertepatan program #bekerjadarirumah sehingga banyak waktu luang. Bermula sekedar iseng memeriksa media sosial lalu menemukan blog pribadi yang terlantar. Sejak itu selalu menulis hampir di setiap kesempatan.

Proses panjang menuju gerbang keberhasilan

Bulan Agustus 2020, saya mendafar di Kompasiana. Cukup mudah cara registrasi di blog bersama itu namun saya terhambat saat mengunggah foto profil. Selalu saja gagal. Saya tidak paham bahwa kata unggah itu dalam Bahasa Inggris upload.

Kesulitan satu kata itu memakan waktu 1 jam. Kelemahan saya yaitu pembendaharaan kata dalam Bahasa Indonesia yang sangat minim.

Hari demi hari saya tekun menulis. Tampaknya hobi ini menjadi bagian dari keseharian saya. Saya menemukan dunia yang hilang. Paling tidak membuahkan kepuasan tersendiri.

Saya selalu mengingatkan kedua anak untuk membaca blog di Kompasiana, baik tulisan saya dan Kompasianer lain. Tujuannya agar timbul kecintaan mereka melalui tulisan.

Saya optimis pasti mereka memiliki bakat yang kami miliki karena kakek mereka gemar menulis. Ini buku ayahku yang sempat dikerjakannya semasa hidup.

Kegemaran menekuni hobi menjadi tergila-gila. Tidak menulis dalam sehari, bagai sayur tanpa garam, membuat ketagihan. Jika saya tidak mengunggah dalam Kompasiana setiap hari, bukan berarti tidak menulis. Ya, saya memiliki diari pribadi.

Saya tepis kebosanan dengan berhenti sejenak, membaca buku penyemangat untuk diri (self development).

Lima bulan menjadi Kompasianer membuahkan dua buku kumpulan tulisan dari hasil ngeblog berjudul “Life, Love and Hospitality”  dan “Bunga Rampai – Menuju Kematangan Pribadi. Kisah ini saya tulis di Kompasiana berjudul “Aku Penulis Amatir”

Hobi baru mendatangkan berkat

Kedua buku itu menjadi kenangan pribadi sebagai penulis pemula. Saya bahkan tidak menyuntingnya. Membiarkan saja kesalahan kata dan kalimat, apa adanya. Tujuannya agar dapat menilai kualitas tulisan dari hari ke hari, perkembangan dari bulan ke bulan. Saya tersenyum geli bila membacanya kembali.

Beberapa minggu lalu, seorang kawan dari sebuah perusahaan swasta memohon dibuatkan suatu tulisan sejarah kota A. Saya menyanggupi permintaannya. Ia memberikan imbalan yang lumayan diluar dugaan.

Tidak lama berselang, seseorang meminang saya agar kembali bekerja. Siapa tak mau? Ia membaca tulisan-tulisan saya di blog Kompasiana yang diunggah di Facebook dan Linkedin.

Kali ini pekerjaanku menyusun suatu konsep. Syukurlah saya dapat merangkainya dalam Bahasa Indonesia walau masih harus belajar.

Ada hasilnya bukan? Paling tidak personal branding naik tingkat. hehe

Sekarang, hobi baruku menulis

Akhir-akhir ini saya terangsang membuat puisi. Membaca puisi dari seorang penyair berpengalaman dapat menebak karakter pengarang. Kerap perasaan hanyut terbawa konten. Barangkali dialah penyair berkualitas. Di Kompasiana banyak penyair berkualitas

Tampaknya saya belum bergeser dari hobi menulis dan menyenangi hobi lamaku, bermain gitar.

Di ruang sudut kamar, jendela terbuka, udara segar menyeruak. Tampak tanaman hijau, walau tidak merawatnya setiap waktu, bukan berarti saya tidak perhatian padanya.

Sementara jari-jari menari di atas lap top, ditemani musik piano lembut, saya amat menikmati saat-saat ini.

Menekuni hobi janganlah setengah hati. Menulis, hobiku yang lama tertunda kini bersemi selama pandemi. 

Menulislah hingga menulis mendarah daging. 

Salam hospitality

Jakarta, 6 February 2021

Comments