Ketika duduk di bangku sekolah, saya senang menari tarian Jawa Serimpi dan tari Sunda. Ayahku mengajarkan dasar khusus tari Jawa, jadi tidak perlu les tari katanya.
Bersamaan waktu itu, sayapun
gemar bermain gitar, piano selain melukis. Ayah gemar bermain piano dan gamelan
sedangkan ibuku pandai melukis. Konon hobi melukis ibunda dari sang ayah asal
negri sakura.
Beranjak remaja, bermain gitar
dan menyanyi tetap favorit dibarengi kesukaan baru, mengarang cerpen.
Hobi mengarang tulisan akhirnya
menjadikan juara 3 tingkat nasional dalam rangka HUT PT Pos Indonesia. “Surat
untuk Anak pada Tahun 2000” judul karangan itu. Saya baru engeh kalau itu bibit
hobiku 30 tahun kemudian.
Lakukan hobi sepenuh hati
Memiliki hobi setengah hati itu
seperti hangat-hangat tahi ayam. Sekejap saja berganti arah, musiman. Lakukanlah
dengan totalitas.
Jika saja saya tekuni sejak dulu,
lalu semua hobi diperdalam, mungkin telah mahir pada usia dewasa. Sedangkan
waktu takdapat diputar kembali.
Ketika kami mengamati hobi kedua
anak, ternyata bakat kami mewarisi hampir semua hobi pada mereka, kecuali
menari. Keduanya hobi bermain musik, menyanyi, melukis kecuali hobi filateli hanya
berhenti pada generasiku.
Menekuni hobi ternyata mengikuti
arus jaman. Dahulu menari Jawa, Sunda, Bali adalah kebanggaan masa kanak dan
remaja putri. Saya diunggulkan oleh orang tua dan kakak, teman sekolah, guru
sekolah sehingga nama saya dikenal.
Memasuki usia sekolah atas, juga
karena mengikuti kepindahan pekerjaan ayah, akhirnya hanya hobi bermain gitar yang
saya tekuni, melukis sesekali saja.
Tahun 2015, awal saya tertarik menulis
di blog. Hanya dihasilkan sedikit sekali tulisan. Hingga suatu hari saat
pandemi corona melanda dunia, muncul gairah menulis.
Kemudian melihat buku-buku di lemari
tidak tertata rapih, sayapun mulai merapikan kembali.
Ketika itu bertepatan program
#bekerjadarirumah sehingga banyak waktu luang. Bermula sekedar iseng memeriksa
media sosial lalu menemukan blog pribadi yang terlantar. Sejak itu selalu menulis
hampir di setiap kesempatan.
Proses panjang menuju gerbang keberhasilan
Bulan Agustus 2020, saya mendafar
di Kompasiana. Cukup mudah cara registrasi di blog bersama itu namun saya
terhambat saat mengunggah foto profil. Selalu saja gagal. Saya tidak paham
bahwa kata unggah itu dalam Bahasa
Inggris upload.
Kesulitan satu kata itu memakan
waktu 1 jam. Kelemahan saya yaitu pembendaharaan kata dalam Bahasa Indonesia
yang sangat minim.
Hari demi hari saya tekun
menulis. Tampaknya hobi ini menjadi bagian dari keseharian saya. Saya menemukan
dunia yang hilang. Paling tidak membuahkan kepuasan tersendiri.
Saya selalu mengingatkan kedua
anak untuk membaca blog di Kompasiana, baik tulisan saya dan Kompasianer lain.
Tujuannya agar timbul kecintaan mereka melalui tulisan.
Saya optimis pasti mereka
memiliki bakat yang kami miliki karena kakek mereka gemar menulis. Ini buku ayahku yang sempat dikerjakannya semasa hidup.
Kegemaran menekuni hobi menjadi
tergila-gila. Tidak menulis dalam sehari, bagai sayur tanpa garam, membuat
ketagihan. Jika saya tidak mengunggah dalam Kompasiana setiap hari, bukan
berarti tidak menulis. Ya, saya memiliki diari pribadi.
Saya tepis kebosanan dengan
berhenti sejenak, membaca buku penyemangat untuk diri (self development).
Lima bulan menjadi Kompasianer membuahkan dua buku kumpulan tulisan dari hasil ngeblog berjudul “Life, Love and Hospitality” dan “Bunga Rampai – Menuju Kematangan Pribadi. Kisah ini saya tulis di Kompasiana berjudul “Aku Penulis Amatir”
Hobi baru mendatangkan berkat
Kedua buku itu menjadi kenangan
pribadi sebagai penulis pemula. Saya bahkan tidak menyuntingnya. Membiarkan saja
kesalahan kata dan kalimat, apa adanya. Tujuannya agar dapat menilai kualitas
tulisan dari hari ke hari, perkembangan dari bulan ke bulan. Saya tersenyum
geli bila membacanya kembali.
Beberapa minggu lalu, seorang kawan
dari sebuah perusahaan swasta memohon dibuatkan suatu tulisan sejarah kota A.
Saya menyanggupi permintaannya. Ia memberikan imbalan yang lumayan diluar
dugaan.
Tidak lama berselang, seseorang
meminang saya agar kembali bekerja. Siapa tak mau? Ia membaca tulisan-tulisan
saya di blog Kompasiana yang diunggah di Facebook dan Linkedin.
Kali ini pekerjaanku menyusun
suatu konsep. Syukurlah saya dapat merangkainya dalam Bahasa Indonesia walau
masih harus belajar.
Ada hasilnya bukan? Paling tidak personal branding naik tingkat. hehe
Sekarang, hobi baruku menulis
Akhir-akhir ini saya terangsang
membuat puisi. Membaca puisi dari seorang penyair berpengalaman dapat menebak karakter
pengarang. Kerap perasaan hanyut terbawa konten. Barangkali dialah penyair
berkualitas. Di Kompasiana banyak penyair berkualitas
Tampaknya saya belum bergeser
dari hobi menulis dan menyenangi hobi lamaku, bermain gitar.
Di ruang sudut kamar, jendela
terbuka, udara segar menyeruak. Tampak tanaman hijau, walau tidak merawatnya
setiap waktu, bukan berarti saya tidak perhatian padanya.
Sementara jari-jari menari di
atas lap top, ditemani musik piano lembut, saya amat menikmati saat-saat ini.
Menekuni hobi janganlah setengah hati. Menulis, hobiku yang lama tertunda kini bersemi selama pandemi.
Menulislah hingga menulis mendarah daging.
Salam hospitality
Jakarta, 6 February 2021
Comments