Di-Ghosting!

 

(ilustrasi pixabay)

Subuh pukul 05:00, Nick putraku menelpon dari kapalnya di tengah lautan. Ada apa gerangan? Apakah ada sesuatu hal penting? Tidak seperti biasanya ia menelpon sepagi itu. Pikiran telah melayang kemana-mana.

Hari itu Nick memasuki tahun ke-2, bulan ke-7 bergabung dengan satu perusahaan di Eropa. Tidak kuduga bahwa suatu ujian kehidupan menerpa ketika semangatnya melambung tinggi, mencari jati diri.

Ia menjalin cinta dengan kawan sekelas saat studi di sekolah tinggi. Renita, perempuan belia ini meninggalkan begitu saja tanpa kabar. Inilah penyebab ia jatuh pertama kali dalam perjalanan hidupnya.

Nick kelimpungan mengontak pacar, sama sekali tak dapat dihubungi. Sang pacar memblokir semua akun di media sosial. Hidup serasa hampa, ujarnya. Kata demi kata saya dengarkan dalam percakapan telpon.

Nick dan Renita sedang berpacaran memasuki tahun ke-3, namun karena impian Nick ingin menimba pengalaman di negri sebrang, keduanya harus terpisah.

Ia tidak menangis sewaktu menelpon namun nada suaranya menyiratkan kesedihan, tawar hati serta bingung. Saya mendengarkan keluhannya.

Saat itu pula ia sampaikan, ingin kembali ke tanah air. Saya tahu ia patah hati (broken heart) ditinggalkan kekasih yang telah 3 tahun selalu bersama sebelum kepergiannya ke Eropa.

Kala itu, tahun 2015, di Jakarta sedang riuh oleh para demonstran yang protes terhadap keadaan kaum pekerja. Kami sedih jika ia kembali ke Indonesia.

Selama satu jam menelpon, saya hujani dengan pesan-pesan yang membangkitkan semangat dirinya

(*) Wanita itu tidak hanya satu di dunia
(*) Mulai berharap mencari pacar kembali
(*) Jika ia meninggalkanmu pada saat kamu terikat, biarkan saja, mungkin Tuhan berkehendak lain.
(*) Pesan terakhir, selalu rajin berdoa

Rencana Tuhan selalu indah pada waktunya. Semoga ia berhasil mengalahkan egonya. Cintanya kepada kekasih yang telah menghianatinya, nyaris merusak masa depannya.

Namun saya sebagai ibunya, harus mampu membangkitkan semangatnya yang jatuh agar dapat memulai dengan hal-hal baru.

Tidak puas rasanya percakapan telpon selama 65 menit. Saya berlutut, memohon kepada Sang Pemurah mendamaikan hatinya. Pinta saya hanya ingin hatinya tenang. Itu saja

Keesokan harinya, saya mulai rajin mengirimkan teks terlebih dahulu. Saya harus memonitor setiap hari, begitupun yang dilakukan ayahnya setiap waktu, agar ia merasa tidak sendirian.

Suatu hari saat saya disibukkan pekerjaan, ia menelpon,

“Mom, I have a girl friend!” teriaknya.

Suara nyaring, pertanda senang dan bahagia.

Hari-hari berikutnya, ia mengenalkan pacar barunya melalui video call. Itulah hari pertama saya mengenal  kekasih anakku yang berkebangsaan Brazil. Beberapa bulan kemudian ia menikah di saat usianya 25 tahun.

Kalimat bijak mengatakan, “don’t look back with regret, look forward with hope”. Jangan melihat ke belakang dengan penyesalan, namun lihatlah kedepan dengan harapan.

Jangan mengorek masalah yang telah usai. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari. Jangan biarkan masalah bertumpuk. Jika kita telah berupaya keras namun tidak berhasil, serahkan kepada Sang Kuasa. Kita kerjakan bagian kita semampunya.

Bagi orang tua yang memiliki putra-putri nun jauh di sebrang sana, serahkan segala kekuatiran kita kepadaNya. Hanya itu hadiah bernilai setiap saat yang saya dapat berikan untuknya.

Setelah beberapa tahun berlalu, Nick paham bagaimana ia dapat memecahkan masalahnya saat benar-benar jatuh dalam kesedihan mendalam.

Pedih dan luka rasanya diputus cinta secara tiba-tiba. Tindakan “ghosting” seperti pengecut. Namun mengharapkan manusia sempurna adalah tidak mungkin.

Jadi berjaga-jaga saja. Berserah adalah kata yang pas sebab penyelesaian problema tergantung kita dalam menyikapinya. Anggap saja jalan panjang itu selalu berujung.

Comments