WNA di Mataku

Saat kami tinggal di Johor Bahru, kadang akhir pekan kami rencanakan bermalam di Batam. Dengan menyebrang dengan kapal Feri selama 90 menit,  kami dapat menghilangkan penat.

Setelah tiba di hotel, kami langsung ke kamar. Karena langit hampir gelap saya sempatkan berenang. Airnya bening, tampak beberapa keluarga masih berendam di hari Sabtu petang itu.

(ilustrasi pixabay.com)

Ketika hendak kembali ke kamar, saya ingat kunci kamar  tidak terbawa. Kemudian saya meminta kunci tambahan, namun resepsionis menolak dengan alasan sudah diberi 2 kunci kamar.

Saya berjanji bahwa setelah tiba di kamar, kunci akan dikembalikan. Resepsionis masih menolak memberikan kunci ekstra.

Setelah itu saya menelpon ke kamar dari landphone lobby, tidak ada sahutan. Setelah dicari-cari, ternyata sang suami sedang duduk di Lounge dekat area lobby.

Kesal dengan perlakuan resepsionis, saya langsung menghadapkan suami kepada resepsionis agar ia menjelaskan alasan saya perlu kunci tambahan itu.

Tanpa diminta ia langsung memberikan kunci pada saya, padahal saya sudah tidak memerlukannya lagi. Peristiwa ini membuat penghargaan saya terhadap resepsionis berkurang.

Perlakuan diskriminasi semacam ini sering terjadi di hotel. Saya sebagai hotelier bahkan sering mengalami kejadian tidak terduga dan menyakitkan.

Seperti pada waktu sarapan prasmanan, pramusaji memberikan sapaan ramah dan menyilakan tempat duduk pada bule. Sebaliknya saya tiba di restoran, harus mencari kursi. Namun saat suami datang, waiter menyambutnya denga ramah. Saya terdiam, tapi pemandangan seperti ini sangat tidak menyenangkan.

Saya, seorang istri dari suami bule, memakai kacamata saya bagaimana memandang WNA seperti kisah dari beberapa pengalaman berikut:

(*) Saat pelatihan di Seminyak - Bali selama 14 hari, saya menemukan WNA bersikap norak, tidak sopan di jalanan, ngebut, mengendarai motor tidak berhelem, ugal-ugalan.

(*) Wanita bule kerap tidak sopan berpakaian. Tampak hanya sekedar menutupi saja, selebihnya model terbuka. Ini di jalanan ya, bukan di pantai.

(*) Walau bule, tentu saja ada yang berperilaku baik dan sebaliknya bertingkah laku tidak terpuji.

Seorang bule tergopoh di antrian masuk keberangkatan luar negri Bandara Soeta, menabrak koper saya sehingga koper terpental 1 meter, padahal koper ukuran besar. Ia berlalu saja dengan wajah menyebalkan

(*) Merekapun berstatus kaya dan banyak pula yang kurang makmur. Pacar kawan wanita saya dari Australia, bekerja sebagai tukang pungut sampah yang mengapung di sungai-sungai, begitu penuturannya. Setiap tahun ia menabung agar dapat berlibur ke Indonesia. Di saat berlibur ia harus mengirit pengeluaran.

Dugaan kita adalah mereka berduit banyak. Sebenarnya tidak, hanya prestise mereka saja memaksakan diri agar dapat melancong ke negri sebrang.

(*) Teringat seorang tamu dari German. Ia salah seorang peserta International Exhibition Oil and Mining, sedang berdiri di lobby menanti mobil pengantaran ke Kemayoran Expo, ia berkata “Miss. I don’t know what’s happen with this hotel, why I have to complaint again and again. I know you all have small salary”

Sungguh kasar. Ia berkata kasar. Kata-katanya merendahkan seluruh karyawan hotel. Pernyataan yang membuat saya bungkam seribu basa. Bukan tidak mungkin ia berpromosi buruk kepada kawan di negrinya.

(*) Tahun 2010, kawan bisnis kami, asal warga New Zealand, pernah meminjam uang IDR 8 juta hanya untuk makan sehari-hari. Ia tinggal bertahun-tahun di Singapore. Saat itu perusahaannya bangkrut.

Jadi tepislah anggapan bahwa mereka orang-orang berduit yang membuang uang di Indonesia. Sama halnya dengan peristiwa bule kena serangan netizen yang viral itu.

Banyak pelancong menginap di hotel berharga IDR 200 ribu per malam untuk jangka waktu lama. Seakan surga dunia baginya hidup dengan pengeluaran minim. Pemandangan tak sedap kadang dibarengi dengan membawa gonta ganti teman wanita

Ada pula dari mereka yang kehabisan biaya pulang ke negaranya, walau harus mengemis sebagai jalan akhir. Harga-harga yang super murah membuat mereka terlena, seolah dapat melanjutkan hidup lebih lama di sini.

Kerusuhan di klub pun sering terjadi. Peristiwa mabuk-mabuk di klub popular tiada terlewati. Ada 2 tamu long stay saat saya bekerja di Balikpapan. Pagi check-in, malam membuat onar di klub, mabuk bersama seorang kawannya. Esoknya tamu-tamu bule yang lain geger sebab pembuat onar itu menginap di hotel yang sama.

Tamu ini dikenakan teguran, akibatnya manajemen turut terbeban agar mengawasi tamu pengacau ini.

Teringat pula kejadian seorang long stay asal Amerika yang berkedok konsultan di perusahaan mesin berat (heavy machinery).  Setelah ditelusuri ia seseorang yang tak jelas tujuannya.

Tulisan ini bukanlah bertujuan menjelekan warga asing khusus bule, bukan curhat pula, tapi hanya sebagian  pengalaman mengenal beberapa pribadi mereka.

Tentu saja banyak pula warganegara asing yang berkepribadian baik, santun, intelektual yang kami kenal. Mereka menyesuaikan diri dengan budaya lokal.

Sudah saatnya kita cerdas melihat perangai warga negara asing (WNA) di negara kita. Jangan terlalu berlebihan memperlakukan dan mengagungkan mereka.

Mereka harus dididik berdisiplin mengikuti aturan negri ini selama singgah maupun menetap di Indonesia. Sama halnya seperti Singapore yang disiplin mendidik setiap pendatang.

Itu saja.

* Artikel ini diunggah pada Kompasiana.com

1.      

Comments