Asap lokomotif (ilustrasi pixabay.com)
Sebungkus rokok impor inisial B&H
dibandrol Rp 600 ribuan, itu rokok pertama saya. Bila bepergian 2 atau 3 bungkus
rokok diselip di tepi koper sebagai persediaan.
Karena terlalu mahal dan tidak
mudah ditemukan di Indonesia, sayapun beralih ke rokok E yang ada di Indonesia
tapi sulit ditemukan di toko-toko kecil. Setelah E pun sult didapat, saya
mencoba rokok lokal yang tersedia dimanapun.
Untungnya Rokok S ini dapat
ditemukan pula di Singapore dan Malaysia dengan bungkus dari negara
masing-masing. Harga bandrol rokok di Indonesia Rp 17 ribu sedangkan di
Singapore rokok S ini berharga $11. Jika di kurskan kedalam rupiah sekitar Rp
110 ribu hingga Rp 120 ribu. Harga fantastis.
Namun bagi seorang pecandu rokok,
harga tidak menjadi masalah. Asal tersedia, langsung dibeli.
Bagaimana
rasanya merokok itu?
Bila disibukkan oleh pekerjaan
bertubi-tubi, sebatang rokok penjadi penenang sesaat. Otak agak moncer.
Kemudian munculah ide-ide cemerlang dalam mengerjakan bisnis.
Selain dapat menenangkan rasa
gugup bila akan presentasi atau pertemuan dengan BOD (Board of Directors) juga
melancarkan pikiran yang buntu karena terlalu banyak beban (overload).
Untunglah saya bukan pecinta
kopi. Jadi sebatang rokok untukku tidak berteman kopi.
Tahun 2015 pemeriksaan kesehatan dilakukan sebagai prasyarat kerja. Anehnya dokter tidak menemukan apapun dalam paru-paruku, alias bersih dan sehat-sehat saja. Padahal saya perokok selama 2 tahun. Kemudian terjadi periksa ulang Desember 2018, paru-paru masih dinyatakan bersih.
Sungguh tidak nyaman merokok itu.
Setiap hari saya harus mencuci rambut, baju jas yang cepat bau asap, kuku
berwarna kekuningan, kulit terasa kering. Saya harus membawa permen penyegar f*sher**n
kemana-mana agar nafas terasa segar.
Berhentilah
dengan elegan
Suatu hari, keinginan berhenti merokok
semakin menggebu-gebu. Saya seolah bergantung padanya. Saya ogah jadi donator pabrik
rokok.
Kemudian saya berdoa agar
terbebas dari asap rokok dibarengi keinginan kuat melepasnya. Tanggal 9
September 2019, saya sanggup melepasnya dalam hitungan 2 hari.
Sejak itu keinginan akan asap
rokok lenyap, saya mulai terbebas. Sim salabim bukan sulap! Saya memang selalu
mengandalkan doa.
Namun ada harga yang harus dibayar di awal
tahap melepas yaitu emosi sedikit memuncak, sensitif, kemudian nafsu makan
melonjak. Dalam sebulan berat badan naik 2 kilogram.
Tapi kebahagiaan dapat berhenti dari
kebiasaan merokok, lebih dari segalanya. Sayapun mulai rajin berolahraga setiap
hari.
Kebiasaan merokok harus diikuti
keinginan kuat untuk melepaskannya. Milikilah keinginan gigih melepaskannya.
Jika tidak sekarang, kapan lagi?
* Artikel ini diposting juga di Kompasiana.com
Comments