Kamar Kapsul Bukanlah Peti Mati

 

ilustrasi hotel kapsul (pixabay.com)

Selama kita hidup di bumi ini ada tiga kebutuhan pokok yang harus dipenuhi; sandang, pangan dan papan. Bila kebutuhan ini telah terpenuhi sehari-hari artinya kita patut bersyukur.

“Bekerjalah di bidang salah satu kebutuhan tersebut, Nak” itu pesanku pada anak pertama saat di sekolah tinggi. Hingga suatu hari ia telah terikat kontrak dengan salah satu agen di Filipina untuk Cruiship Carnival. Setidaknya ia bekerja di satu bidang yang sejalan denganku.

Bisnis hotel memang menjadi perhatian saya usai studi di latar berbeda. Dengan modal mulai ratusan juta hingga miliaran bisa terwujud asal kita rencanakan dengan matang bersama konsultan hotel.

Mengapa pebisnis tertarik pada hotel? Sejatinya selama kita bepergian selalu memerlukan tempat untuk meletakkan kepala. Asalkan ada tempat untuk merebahkan badan dan kepala, diperlukanlah kamar. Jadilah sebutan hotel, dari tipe melati hingga tipe penthouse.

Ada jenis hotel di luar kategori hotel umumnya, yaitu hotel kapsul atau dapat disebut sleep box hotel.

Hotel kapsul dibangun awalnya sebagai penampung banyaknya kaum pekerja Di Osaka - Jepang yang bekerja jauh dari tempat tinggal mereka.

Setelah seminggu bekerja, saat kembali ke rumah, para pekerja itu ingin menyegarkan kembali  tubuhnya sebelum bertemu sang istri di rumah. Mereka memerlukan tempat untuk beristirahat sejenak di kamar yang super minimalis, hotel kapsul.

Mereka tidak memerlukan fasilitas restoran, kolam renang spa, gym karena itu kamar dijual murah, terjangkau bagi para pekerja.

Penemuan hotel kapsul pada tahun 1979 kian dimodifikasi dengan arsitek lebih kekinian sehingga menjadi tampak mewah. Bermula dari Osaka akhirnya tersebar ke beberapa negara di wilayah Asia, Amerika, Australia, dsb.

Namun tentu saja ukuran harga kamar kapsul di negara Jepang masih terbilang tinggi dibandingkan di Indonesia. Sedangkan di Indonesia sendiri berkisar antara Rp 100.000 hingga Rp 250.000 permalam.

Pelayanan model hotel kapsul diciptakan seminimalis mungkin. Umumnya hanya menyediakan sprei tidur, bantal, sandal, steker kabel (cable plug). Tempat penyimpanan barang di loker serta kamar mandi berlaku untuk umum. Kamar kaum wanita dan pria dibuat terpisah.

Dilihat dari fungsinya semula yaitu hanya untuk keperluan pelancong single kaum milenial, kategori hotel box menjadi pilihan backpacker.

Pembangunan hotel kapsul semula diwujudkan karena keterbatasan lahan tanah. Dibuatlah kamar loteng secara bertumpuk agar dapat menampung banyak pekerja.

Di Indonesia, hotel kapsul pertama berada di Bandara Soekarno Hatta. Dibuka bulan Agutus  tahun 2018, memiliki 120 kapsul. Tampak terlihat cukup baik dengan harga kamar berkisar Rp 250 ribu hingga Rp 375 ribu, dilengkapi fasilitas TV.

Alhasil karena efek tren, para pebisnis mulai melirik bisnis sederhana ini ketimbang kamar kos-kosan. Jika di Jakarta harga kamar kos Rp 1.8 juta/bulan, jauh lebih untung kamar kapsul dengan pendapatan  rata-rata Rp 3 juta per bulan dengan perkiraan harga permalam Rp 100 ribu.

Bagaimana keberadaan hotel kapsul di area berlahan luas, jauh dari kepadatan? Perlu mempelajari studi kelayakan (feasibility study) secara cermat. Jangan sampai hotel kapsul tidak bertamu setelah pengunjung hotel merasa nyaman menginap di hotel melati atau motel yang ruang geraknya lebih leluasa.

Keberadaan hotel kapsul akan terasa berguna di area kesibukan yang tinggi. Jika lahan di Indonesia masih terbentang luas, sebaiknya hindari mendirikan hotel sejenis ini, kecuali tingkat kepadatan yang super seperti Hongkong.

Kamar kapsul (culturetrip.com)

Tahun 2019, di Kampung Rawa, Jakarta pusat kedapatan seorang pemilik bangunan membangun sleep box ukuran 2 x 1 dengan tinggi 90 cm. Membayangkan ukurannya saja, sama dengan peti mati.

Ide ini muncul dari pemilik rumah setelah hotel kapsul berdiri di Jepang. Namun Wakil Walikota Jakpus,  saat itu Pak Irwandi melakukan inspeksi mendadak dan dinyatakan tidak manusiawi.

Rumah itu terdiri dari tingkat 3 penuh dengan kamar box. Dengan hanya membayar Rp 300 hingga 400 ribu per bulan, penyewa dapat menetap disitu.

Meskipun dinyatakan tidak layak dihuni tapi peminat tumpah ruah. Tempat kos inipun diakhiri dengan penyegelan. Nah lho, bisnis yang kebablasan. Maksud berbisnis namun tidak manusiawi.

Hotel kapsul memang ngetren disaat melambungnya okupansi hotel jika dibangun di tengah lahan yang minim, wilayah sibuk dan pengunjung yang ingin serba cepat. Sejauh ini kawasan bandara cocok  didirikannya hotel kapsul sebagai transit atau short term.

Kamar jenis sleep box marak sejak 3 tahun terakhir di Indonesia. Setelah hotel kapsul di Bandara Soeta munculah hotel-hotel kapsul di Bali, Makasar. Di Jakarta selain Bandara Soeta juga terdapat di area pusat kota.

Seorang kawan hotelier yang pernah menginap ditempat ini merasakan sesuatu yang ganjil saat pertama kali menikmati kamar super kecil ini. Saya sendiri sempat melakukan inspeksi hanya untuk mengenal lebih jauh tipe bisnis tersebut.

Sebagai tamu hotel kapsul, saya hanya dapat membayangkan ketika (maaf) buang anginpun akan terdengar penghuni sebelah. Jika tidur ngorok pasti terdengar. Mau ke kamar mandi harus tampil rapih.

Bagi pelancong backpacker memang pilihan utama atau sekedar mendapatkan pengalaman.

Tengoklah terlebih dahulu peruntukkan jenis bisnis ini. Jangan hanya melihat cuan, tapi tidak manusiawi.

Standar hotel melati 4x3 meter masih dapat dipakai untuk isolasi mandiri selama pandemi, anda terbayang jika isolasi mandiri di hotel kapsul?

Comments