Selama kita hidup di bumi ini ada
tiga kebutuhan pokok yang harus dipenuhi; sandang, pangan dan papan. Bila
kebutuhan ini telah terpenuhi sehari-hari artinya kita patut bersyukur.
“Bekerjalah di bidang salah satu
kebutuhan tersebut, Nak” itu pesanku pada anak pertama saat di sekolah tinggi. Hingga
suatu hari ia telah terikat kontrak dengan salah satu agen di Filipina untuk
Cruiship Carnival. Setidaknya ia bekerja di satu bidang yang sejalan denganku.
Bisnis hotel memang menjadi
perhatian saya usai studi di latar berbeda. Dengan modal mulai ratusan juta
hingga miliaran bisa terwujud asal kita rencanakan dengan matang bersama
konsultan hotel.
Mengapa pebisnis tertarik pada
hotel? Sejatinya selama kita bepergian selalu memerlukan tempat untuk meletakkan
kepala. Asalkan ada tempat untuk merebahkan badan dan kepala, diperlukanlah
kamar. Jadilah sebutan hotel, dari tipe melati hingga tipe penthouse.
Ada jenis hotel di luar kategori
hotel umumnya, yaitu hotel kapsul atau dapat disebut sleep box hotel.
Hotel kapsul dibangun awalnya
sebagai penampung banyaknya kaum pekerja Di Osaka - Jepang yang bekerja jauh
dari tempat tinggal mereka.
Setelah seminggu bekerja, saat
kembali ke rumah, para pekerja itu ingin menyegarkan kembali tubuhnya sebelum bertemu sang istri di rumah.
Mereka memerlukan tempat untuk beristirahat sejenak di kamar yang super
minimalis, hotel kapsul.
Mereka tidak memerlukan fasilitas
restoran, kolam renang spa, gym karena itu kamar dijual murah, terjangkau bagi
para pekerja.
Penemuan hotel kapsul pada tahun
1979 kian dimodifikasi dengan arsitek lebih kekinian sehingga menjadi tampak
mewah. Bermula dari Osaka akhirnya tersebar ke beberapa negara di wilayah Asia,
Amerika, Australia, dsb.
Namun tentu saja ukuran harga
kamar kapsul di negara Jepang masih terbilang tinggi dibandingkan di Indonesia.
Sedangkan di Indonesia sendiri berkisar antara Rp 100.000 hingga Rp 250.000
permalam.
Pelayanan model hotel kapsul
diciptakan seminimalis mungkin. Umumnya hanya menyediakan sprei tidur, bantal, sandal,
steker kabel (cable plug). Tempat
penyimpanan barang di loker serta kamar mandi berlaku untuk umum. Kamar kaum
wanita dan pria dibuat terpisah.
Dilihat dari fungsinya semula
yaitu hanya untuk keperluan pelancong single kaum milenial, kategori hotel box menjadi
pilihan backpacker.
Pembangunan hotel kapsul semula
diwujudkan karena keterbatasan lahan tanah. Dibuatlah kamar loteng secara
bertumpuk agar dapat menampung banyak pekerja.
Di Indonesia, hotel kapsul
pertama berada di Bandara Soekarno Hatta. Dibuka bulan Agutus tahun 2018, memiliki 120 kapsul. Tampak
terlihat cukup baik dengan harga kamar berkisar Rp 250 ribu hingga Rp 375 ribu,
dilengkapi fasilitas TV.
Alhasil karena efek tren, para
pebisnis mulai melirik bisnis sederhana ini ketimbang kamar kos-kosan. Jika di
Jakarta harga kamar kos Rp 1.8 juta/bulan, jauh lebih untung kamar kapsul
dengan pendapatan rata-rata Rp 3 juta
per bulan dengan perkiraan harga permalam Rp 100 ribu.
Bagaimana keberadaan hotel kapsul
di area berlahan luas, jauh dari kepadatan? Perlu mempelajari studi kelayakan (feasibility
study) secara cermat. Jangan sampai hotel kapsul tidak bertamu setelah pengunjung
hotel merasa nyaman menginap di hotel melati atau motel yang ruang geraknya
lebih leluasa.
Keberadaan hotel kapsul akan
terasa berguna di area kesibukan yang tinggi. Jika lahan di Indonesia masih
terbentang luas, sebaiknya hindari mendirikan hotel sejenis ini, kecuali
tingkat kepadatan yang super seperti Hongkong.
Tahun 2019, di Kampung Rawa, Jakarta pusat kedapatan seorang pemilik bangunan membangun sleep box ukuran 2 x 1 dengan tinggi 90 cm. Membayangkan ukurannya saja, sama dengan peti mati.
Ide ini muncul dari pemilik rumah
setelah hotel kapsul berdiri di Jepang. Namun Wakil Walikota Jakpus, saat itu Pak Irwandi melakukan inspeksi
mendadak dan dinyatakan tidak manusiawi.
Rumah itu terdiri dari tingkat 3
penuh dengan kamar box. Dengan hanya membayar Rp 300 hingga 400 ribu per bulan,
penyewa dapat menetap disitu.
Meskipun dinyatakan tidak layak
dihuni tapi peminat tumpah ruah. Tempat kos inipun diakhiri dengan penyegelan.
Nah lho, bisnis yang kebablasan. Maksud berbisnis namun tidak manusiawi.
Hotel kapsul memang ngetren
disaat melambungnya okupansi hotel jika dibangun di tengah lahan yang minim,
wilayah sibuk dan pengunjung yang ingin serba cepat. Sejauh ini kawasan bandara
cocok didirikannya hotel kapsul sebagai
transit atau short term.
Kamar jenis sleep box marak sejak
3 tahun terakhir di Indonesia. Setelah hotel kapsul di Bandara Soeta munculah
hotel-hotel kapsul di Bali, Makasar. Di Jakarta selain Bandara Soeta juga
terdapat di area pusat kota.
Seorang kawan hotelier yang
pernah menginap ditempat ini merasakan sesuatu yang ganjil saat pertama kali
menikmati kamar super kecil ini. Saya sendiri sempat melakukan inspeksi hanya
untuk mengenal lebih jauh tipe bisnis tersebut.
Sebagai tamu hotel kapsul, saya
hanya dapat membayangkan ketika (maaf) buang anginpun akan terdengar penghuni
sebelah. Jika tidur ngorok pasti terdengar. Mau ke kamar mandi harus tampil rapih.
Bagi pelancong backpacker memang
pilihan utama atau sekedar mendapatkan pengalaman.
Tengoklah terlebih dahulu
peruntukkan jenis bisnis ini. Jangan hanya melihat cuan, tapi tidak manusiawi.
Standar hotel melati 4x3 meter masih
dapat dipakai untuk isolasi mandiri selama pandemi, anda terbayang jika isolasi
mandiri di hotel kapsul?
Comments