Ketika saya menulis tulisan ini,
cuaca sedang mendung, langit kelabu tanda mau hujan. Antara senang dan sedih
bila hujan datang. Senangnya tak perlu menyiram rumput dan tanaman di
pekarangan.
Ketika kanak-kanak, bila hujan mulai
turun ayahku keluar rumah dan ingatanku tajam mengenangnya “Rain,
rain go away, come again another day, little Merry wants to play”. Lalu
saya dan adik berlari keluar rumah, bermain air hujan.
Usai hujan-hujanan, tubuh basah
kuyup, kami langsung mandi lalu penganan sudah tersedia di meja. Senangnya masa
kecil.
Setelah beranjak remaja sebisanya menghindari hujan. Siapa senang kehujanan?. Pengendara motorpun menepi, berteduh di tempat kering, memakai jas hujan agar tidak basah kuyup.
Bersyukurlah bila hujan turun,
pak petani senang sawahnya terairi. Pemilik kebun, ladangnya subur. Rumput
halaman menghijau, tampak segar.
Saat belajar biologi, kita paham
bahwa ekosistem lingkungan itu harus dipelihara dan dijaga. Pepohonan, hutan
berfungsi menyerap air guna menjaga keseimbangan. Itu semua untuk kelangsungan
hidup anak cucu.
Nyatanya kita lupa, proyek kota-kota
besar perlu perluasan area, menebang pepohonan dengan alasan pembangunan gedung
kantor, jalan tol, mall, hotel serta bangunan bertembok lainnya.
Terlindas arus teknologi,
kota-kota berubah. Ego manusia mengalahkan hakekat hidup di bumi. Lupa bahwa
Tuhan menciptakan air hujan, terpisah dari cakrawala pada hari ke-2.
Tetiba air sungai-sungai
melimpah, takmampu menahan derasnya air lalu kekiri, kekanan menyusur
pemukiman. “Banjir, banjir…!” teriak
Pak Somad pukul 03:33 pagi, ketua RT 002. “Pak,
Bu ayo siap-siap kita mengungsi segera!”
Kota itu kebanjiran, air meluap
ke jalan raya. Semua penghuni membawa pakaian, makanan seadanya. Air tumpah ke
rumah-rumah membangunkan seluruh warga itu di pagi buta.
Publik mengecam pemimpin di kota
itu. Segala sumpah serapah melalui media. Media sosial penuh video-video
kebanjiran. Akhirnya saya tidak pergi ke kantor.
Dua malam saya bersama seluruh
karyawan hotel menginap di Sheraton Media tempat kami bekerja. Saat sore hendak
pulang, air meluap setinggi 1 meter. Kami urungkan niat pulang hari itu.
Setelah 2 hari banjir surut, air
sebatas lutut. Kami rindu bau kamar di rumah. Akhirnya GM mengijinkan kami pulang.
Keesokan hari saya bersama
seorang kawan pergi bekerja naik gerobak sampah. Jarak dari tempat tinggal sekitar
10 menit. Ongkos Rp 50 ribu untuk 2 penumpang tambah tip.
Saya tak menduga sebelumnya, bisa
naik gerobak di kota metropolitan. Kenangan indah, sayang saya takdapat
mengabadikan peristiwa itu pada bulan Februari 2008 di Jakarta.
Hujan lagi, turun
airnya
Hujan lagi, basah
rumahnya
Hujan lagi, pindah
perabotan
Duh hujan lagi, mama
repot, uring-uringan
Hujan, semua orang
suka hujan
Hujan, asal jangan
kebanyakan
Hujan, kalau banjir
kewalahan
Habis buang sampah
jangan sembarangan
Itu penggalan lagu Bobby Sandhora
Muchsin di YouTube. Lagu jadul banget saat saya kanak-kanak. Tengok saja di
YouTube hehe.
Musim hujan di wilayah Indonesia tahun ini dimulai sejak bulan Oktober 2020 dan akan berakhir bulan Mei mendatang. Demikian perkiraan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Hal ini disebabkan fenomena iklim global La Nina sejak Oktober lalu.
Menghadapi musim hujan, mari kita
perhatikan apa yang perlu disiapkan
(*) Memeriksa genting rumah kalau saja ada kebocoran
karena genting melorot
(*) Membersihkan aliran air hujan di pekarangan rumah
(*) Siapkan payung lipat di mobil, di tas
(*) Siapkan jas hujan bagi pengendara motor
(*) Periksa mesin cuci pakaian secara berkala, guna
menghindari pakaian kotor bertumpuk
(*) Secara gotong royong, warga membersihkan aliran air
di pemukiman
Suara rintik hujan, hujan lebat
dapat membuat kita tertidur pulas. Banyak orang termasuk saya kadang merekam
suara hujan. Alunan deras hujan mendukung untuk bermeditasi.
Bahkan jika sulit tidur dalam
keadaan lelah, memutar rekaman suara deras hujan membuat tidur nyenyak.
Misalnya lelah karena bekerja seharian.
Secara kebetulan Kompasiana
memilih topik hujan di awal tahun 2021. Hujan secara spiritual bermakna
kehidupan melimpah. Dapat diartikan juga sebagai simbol menyongsong kehidupan
serta harapan baru.
Hujannya di luar, basahnya di
pipi. Ternyata saya ingat kamu.
* Artikel ini menjadi artikel pilihan di Kompasiana.com
Comments