Cerita Rakyat Jaka Tarub dan 7 Bidadari

 


Di taman kanak-kanak, saya mendengar cerita ini dari Ibu guru. Ayah mendongengkannya juga di rumah. Beranjak besar saya paham bahwa kisah Jaka Tarub hanyalah cerita rakyat.

Lima tahun lalu saya singgah ke rumah kakak, ia melukiskan Jaka Tarub dengan 7 bidadari di pekarangan belakang rumahnya. Kemudian saya foto lukisan di tembok itu.

Kini saya bertemu lagi dengan cerita rakyat Jaka Tarub dan 7 bidadari ini. Sungguh saya tertarik karena kemolekan 7 bidadari sedang mandi di danau Toyawening yang berair bening dengan pakaian warna warni.

Itulah keindahan lukisan dari cerita ini di buku cerita. Dipandang saja sudah indah apalagi dalam fantasi.

Dikisahkan Jaka Tarub yang hidup sebatang kara menginginkan pendamping hidup. Ia mencuri satu pakaian sang bidadari bernama Nawangwulan ketika ia kedapatan mandi bersama 6 kawannya.

Nawangwulan tidak dapat kembali lagi ke kahyangan karena pakaiannya dicuri Jaka Tarub. Maksud Jaka Tarub pun berhasil yaitu ingin menikahi Nawangwulan.

Jaka memang bahagia kehidupannya setelah memiliki Nawangwulan yang molek dan Nawangsih putrinya. Tapi ia hanya bidadari yang memiliki kesaktian. Kesaktiaannya lenyap seketika setelah tidak berpakaian merah.

Olo ketoro becik ketitik, pepatah jawa yang artinya suatu hari kelakuan seseorang akan terlihat baik buruknya. Begitulah suatu saat pasti terbukti kelakuan buruk Jaka Tarub.

Pada suatu hari Jaka Tarub membuka kukusan nasi yang sedang dimasak istrinya. Sebelum pergi mencuci baju, istrinya telah berpesan agar tidak membuka kukusan nasi itu.

“Mas, jangan kau buka kukusan nasi ini sebelum aku tiba ya” pesannya.

Karena penasaran, ia membuka kukusan nasi itu sekaligus ingin tahu apa yang dimasak istrinya sebab padi di lumbung selalu penuh.

Didapatilah bahwa selama ini istrinya hanya memasak setangkai padi. Itulah sebabnya padi tak pernah habis di lumbung.

Istrinya geram sebab mereka akan kehabisan padi juga harus menumbuk padi. Seandainya saja Jaka menuruti perintahnya tentu padi masih menumpuk di lumbung.

Lama kelamaan lumbung padipun menipis, Nawangwulan menemukan pakaian berwarna merah miliknya dulu. “Oh, ternyata ia pencuri pakaianku” gumamnya. Keburukan Jaka Tarub akhirnya diketahui.

Seketika kesaktiannya Nawangwulan kembali pulih setelah memakai pakaian merah miliknya dulu. Kemudian ia meninggalkan Nawangsih, putri semata wayang dan suaminya ke kahyangan.

 “Istriku, janganlah engkau pergi” pinta Jaka

“Tidak bisa Jaka Tarub, aku kan bukan manusia, aku bidadari” sahutnya


Jaka Tarub menyesal akan perbuatannya, mencuri dan menipu sang istri. Siapa menyimpan durian, baunya akan tercium juga.

Hiduplah jujur dalam meraih cita-cita, tidak menghalalkan segala cara. Jangan mengingini segala sesuatu secara instan juga tidak halal.

Seringkali kita berpikir pendek, hanya melihat tujuan yang menyenangkan diri sesaat. Untuk apa kesenangan sesaat namun berakhir dengan penderitaan.

Jaka harus merawat Nawangsih, putri kecilnya seorang diri. Penderitaan itu dibuatnya sendiri.

Penyesalan selalu ada di akhir cerita. Pikirkan matang sebelum kita melakukan tindakan apapun agar tidak menyesal kemudian hari.

Cerita ini melegenda turun temurun. Takkan pernah pupus.  Jika dahulu dibaca melalui buku dengan gambar indah warna warni, kini dibaca melalui dunia blog.

Anak saya pasti mengingat cerita rakyat dari Jawa Tengah ini sebab saya bercerita juga pada mereka.

* Artikel ini diposting pada Kompasiana.com

Comments