(gambar ilustrasi pixabay.com)
Namanya Endro, karyawan baru,
salah seorang tim penjualan. Seorang kawan memberikan rekomendasi baik terhadap
Endro.
Setelah melalui proses lamaran
kerja, akhirnya Endro diterima sebagai sales manager.
“ mem, cari makanan dulu yuk ” pintanya
Waktu menunjukan pukul 09:55,
masih panjang menuju jam makan siang. Terpaksa kami mampir ke kantin.
Sebetulnya ini jam sales call, tapi Endro merengek.
Wajah Endro tampak pucat. “ Ndro, kamu sakit? ”
“Engga mem” jawabnya lurus.
Endro bekerja dibawah pengawasanku,
Selain Endro ada 4 anggota tim bertanggung jawab untuk Hotel Charlotte, tempat
kami bekerja di kota Garut.
Rina, Nini, Obed, Endro serta
seorang admin, Retno. Kami berkantor disalah satu gedung di kawasan SCBD,
sebagai kantor perwakilan Jakarta.
Kegiatan rutin setiap hari adalah
sales call, blusukan ke kantor-kantor korporat mencari leads. Jika group besar
confirmed, sales yang bersangkutan harus pergi ke kota D, bertugas membantu
kelancaran acara.
Ada satu kecakapan Endro, ia
selalu mudah dan cepat mencari group kamar maupun banquet. Ia lebih luwes serta
murah hati kepada setiap pelanggan.
Endro kos di bilangan Jakarta
Timur bersama seorang kawannya. Alasannya, meringankan beban orang tua, padahal
tempat Ayah dan Ibunya tinggal hanya berjarak 5 km saja dari tempat kos.
Hari ke 14 setelah Endro
bergabung dalam tim kami, saya sempat bertanya tentang penyakit flu-nya yang
tak pernah pulih. Lalu saya sarankan obat flu yang mesti dibeli.
Semula flu biasa, pikirku. Lama
kelamaan agak mengganggu kenyamanan pertemuan.
Keesokan hari, seperti biasa
setelah short briefing, kami
berpencar ke lapangan. Karena Endro pendatang baru maka saya harus mendampingi
agar terarah dan maksimal kinerjanya.
Jam menunjukkan pukul 12:00, jam
istirahat orang-orang kantoran. Sedangkan saya harus menuntaskan satu kunjungan
lagi. Endro menolaknya. “mem, kita makan dulu”
“Wah, tanggung Ndro, ku sudah
buat janji nih” ujarku. Mobil mengarah ke Jalan Merdeka Utara.
Sepanjang perjalanan, ia ngambek.
Sang sopir berbahasa isyarat di kaca spion, agar menepi cari makanan. Kutengok
Endro, duh wajahnya pucat pasi. Terpaksa kami menepi di resto.
Seminggu berikutnya, Endro ijin
tak masuk kerja, sakit flu katanya. Saya baru paham jika penyakit flu Endro tak
pernah pulih. Hari ke-3 sakit, Endro masuk rumah sakit. Kami menjenguknya.
Didampingi ibunya, ia terbaring
sakit. Menurut ibunya terkena leukemia. Kami berempati.
Menginjak bulan ke-dua, sore hari
di kantor. “mem, I need to talk to you”
pintanya
Sambil menutup pintu, saya beri
kesempatan ia berbicara.
“ Begini mem, mem kan sudah baik sama saya, saya engga mau mem kecewa ”
ia memulai
“ Saya percaya mem pasti bisa keep secret ini ya mem ” bujuknya,
santai
“ Apa itu? “ tanyaku
“ Mem, saya sebetulnya HIV Aids positive, dokter sudah kasih tahu saya
” katanya polos
Saya berpura-pura tidak terkejut
mendengarnya. Tetap membiarkan membuka kisahnya hingga ia berterus terang,
selama ini kumpul kebo (samen leven) bersama kekasih prianya.
Saya terdiam beberapa saat.
“ Saya pasti sering sakit mem, telat makan pasti pusing, kadang pingsan
” lanjutnya
Glek! kata ‘pingsan ini yang
bikin ngeri
Jawabku “ lalu, apa yang bisa kubantu Ndro? ”
“ Nothing mem, hanya beri kesempatan saya bekerja dulu di sini ”
“ Ya boleh, tapi ada syaratnya” sahutku tegas
“ Pertama, kamu kembali sama papa, mama. Ke-2, kamu pisah sama pacarmu
itu, ke-3 selalu bawa makanan di tas, ke-4 selalu bawa obat-obat untuk darurat,ke-5
rajin ibadah, gimana, bisa? ” Kataku
lancar
Endro termenung. Entah apa yang
ada dalam pikirannya.
Menjelang masa 3 bulan percobaan,
saya beri kesempatan Endro untuk menganalisa dirinya sendiri dari hasil
kinerjanya. Saya ingin mendengar Ia mengomentari hasil kerjanya sendiri
langsung.
Endro unggul mencari leads, cepat
menolong pelanggan, giat bekerja. Kelemahannya pada kesehatan, fisik yang cepat
lelah serta kelakuan seksual menyimpang.
Pernah suatu ketika, di saat
semua tim sudah pulang, saya mencari file di meja Endro. Lembaran kertas
kontrak ini tertinggal di mejanya. Tanpa sengaja saya menemukan 1 box kondom di
laci.
Esoknya saya introgasi mengenai
barang ini. Ia mengaku, sering mengincar cowoq di luar kota. “ untuk jaga-jaga
mem “ katanya
Pergumulan berat antara menolong
Endro yang menderita aids, menyimpan rahasia penyakit, dengan kepentingan
bisnis, terus menerus dalam pikiranku.
Saya menjadi overthinking.
Menginjak bulan ke-4, Endro masuk
rumah sakit sebanyak 3 kali. Minimal 5 hari ia absen. Saya takmau berdosa
terhadap Endro. Bila saya pecat, sama dengan membunuhnya secara cepat.
Saya memegang janji itu. Seorangpun
tiada yang tahu. Yang saya tahu, cepat atau lambat Endro akan meninggalkan
kita. Itu saja.
Beberapa peristiwa saya coba
tutupi agar ia selamat dari incaran pemecatan SDM.
Tetiba, Ibu Ria dari PT. Angin Ribut menelpon. “ Bu, saya telpon Pak Endro, tapi selalu tak menjawab ”
“ O baiklah Bu, saya bisa bantukah? ” tanyaku
“ Saya akan kirimkan bukti pembayaran group bulan lalu ya bu, totalnya
175 juta ” ujarnya
“ Saya dapat teguran dari accounting Ibu ” katanya lagi (maksudnya
dari accounting hotel)
Beberapa saat, saya periksa bukti
pembayaran. Total sebanyak 3 kali bayar secara tunai. Sekilas tampak mirip invoice dari accounting, namun berbeda.
Masalah baru muncul, Endro telah memalsukan
invoice, memakai seluruh uang pembayaran group itu.
Hotel Charlotte memanggilnya, memaksa
agar ia mengembalikan uang yang terpakai.
Saya kecewa sekaligus malu, Endro
telah menyalahgunakan kebaikan saya.
Setelah menelpon keluarganya, ia
mendapatkan sejumlah itu. Uang itu digunakan untuk berobat, membayar kamar
rumah sakit berkelas mewah karena takmau menjadi beban orang tua.
Akibat peristiwa itu, Endro
dipecat.
Setelah peristiwa pemecatan, satu
bulan kemudian Endro berpulang menghadap Sang Pencipta. Tubuhnya hanya terbalut
tulang, sangat kurus.
Bagaimanapun, ia telah bersama
tim, kami mengasihinya.
(*) Tulisan ini dalam rangka hari Aids sedunia
(*) Seluruh nama orang, hotel, kota disamarkan
Comments