Terinspirasi salah seorang the
best in Citizen Journalism, Kartika Eka H yang gemar membuat kliping dari
koran, saya teringat hobi ketika kanak-kanak yaitu mengoleksi perangko.
Setelah membaca tulisan Mas Eka,
saya tertarik membuka kembali satu persatu album perangko yang tersimpan di
lemari buku setelah puluhan tahun tidak tersentuh.
Total 3 album dengan jumlah
perangko sekitar 2500 - 3000 lembar. Satu halaman terdiri dari 49 – 55 lembar
perangko, tergantung ukuran perangko.
Awal menyukai hobi ini, saat ayah kerap berkirim surat kepada kawan-kawan di luar kota dan luar negri serta hobi melancong ke berbagai negara. Awalnya ia selalu mengguntingnya dari surat-surat yang datang, lalu mengurutkannya di album. Urutan berdasarkan tanggal datang surat-surat.
Perangko popular dimasa itu
adalah Presiden Soekarno. Kegemaran ayah mengoleksi perangko ini diturunkan pada
kakakku, maka takheran sebagian perangko keluaran tahun dimana saya belum
lahir. Contohnya perangko Presiden Soekarno bertuliskan Hotel Ambarukmo Palace
tahun 1965, ada pula yang keluaran 1963. Kakakku yang merawatnya hingga ia
keluar kota guna melanjutkan studi.
Berawal dari gambar-gambar menarik pada perangko itu, lama kelamaan menjadi keasyikan tersendiri mengoleksinya. Hingga suatu hari saya mempunyai sahabat pena dari Perancis, Nadine serta beberapa kawan sahabat pena di manca negara yang setia berkirim surat.
Nadine masih berdarah Indonesia dari sang kakek yang lahir di Perancis. Kedua orangtuanya lahir di Perancis. Ketika ayah pergi kesana, sekalian ia mengunjungi kakek Nadine. Lalu ia menitipkan hadiah beberapa perangko untukku.
Diantaranya prangko dari berbagai
negara. Corak dan ragam prangko-prangko ini sangat unik. Terdapat prangko
bergambar aneka bunga-bungaan. Yang aneh seperti Republique De Haute – Volta, jika
kita masuk dalam pencarian di google, negara itu takkan ditemukan, mungkin
berganti nama, entahlah.
Keasyikan mengumpulkan prangko mendorong kegemaran berkirim surat. Pen pals selain Nadine, juga kawan-kawan dari Amerika, Kanada, China, Malaysia, Vietnam, Noumea Caledonie selalu aktif. Halnya di dalam negri Indonesia sendiri, seingatku saat itu majalah-majalah ramai oleh sudut sahabat pena, kawan pena, dan sebagainya.
Surat menyurat dalam negri
diperlukan prangko senilai Rp. 25, Rp. 30, Rp. 50, Rp. 75, Rp.100, Rp. 200,
dsb. Tujuan luar negri tergantung negara dan berat gram, selembar kertas
biasanya Rp. 500. Lebih dari itu biasanya Rp 800, kadang Rp 1500 memakai surat
tercatat atau status kilat. Kalau kita bandingkan dengan jajanan bakso seharga
Rp 25 per porsi, kaset untuk tape musik seharga Rp 200.
Surat ke luar negri akan tiba
maksimal 20 hari setelah pengiriman kadang satu bulan. Untuk dalam negri
sekitar 5 – 7 hari ditangan penerima. Kilat hanya 2 – 3 hari saja.
Orang-orang bangga kalau ke luar negri, maka para pelancong akan mengirimkan kartu pos bergambar negara yang dikunjungi, tanda bahwa mereka sedang berwisata di negri orang.
Begitupun kartu pos bergambar Danau
Toba, Pantai Kuta Bali, Pura Bali, Wanita menari Bali, Candi Borobudur, diserbu
kebanyakan para wisatawan dari Belanda, Perancis, Australia, Kanada, Inggris,
Amerika, dsb. Harga kartu pos itu sekitar Rp 100 – Rp 150 per lembar.
Sebagai gambaran komunikasi di jaman
itu yaitu saling memberi kabar melalui surat. Di kantor-kantor memakai telex,
beberapa tahun kemudian mesin fax mendominasi. Jika kita ingin saling memberi
kabar kepada kerabat melalui telegram. Pengiriman uang dengan wesel.
Ketika kakak meninggalkan rumah
karena melanjutkan studinya di Jakarta, saya yang mengurus perangko-perangko
itu sementara sayapun masih melakukan surat menyurat dengan sahabat pena.
Seiring berjalannya waktu, menjelang persiapan kuliah akhirnya tersisa 2 sahabat yaitu Nadine dari Perancis dan Bill dari Amerika. Halnya Nadine, Ia berkunjung ke Indonesia di tahun 1987 bersama kedua orang tuanya.
Karena kesibukan studi awal
berkuliah maka kegiatan surat menyurat terhenti begitu saja. Tidak ingat pasti
setelah itu, Nadine dan Bill menghilang, tiada kabar lanjut sejak 1987. Setelah
tahun itu, mulai muncul gawai Nokia pisang, Motorola, Ericson, itu yang
kuingat.
Sejarah takkan terulang. Kisah surat menyurat barangkali hanya terjadi dimasa itu, sambil mengumpulkan prangko menjadikan hobi yang ngetrend dimasanya.
Jaman berganti, album prangko
itu menjadi bukti sejarah dan saya turunkan pada anak perempuanku yang gemar
mengumpulkan benda-benda unik seperti gitar mungil, sepeda ontel mungil, tas
kayu mungil. Mudah-mudahan ia mencintai album itu suatu hari, meski hanya
merawatnya saja.
Sebagai gantinya, kini saya gemar
mengoleksi uang kertas dan koin dari berbagai negara. Hobi ini sejak 6 tahun
lalu kutekuni.
Terakhir, selamat kepada para
pemenang Kompasianival 2020. Terima kasih kepada para Kompasianer senior tempat
saya berilmu. Selalu semangat berkarya, mulai dari kita.
Salam semangat.
Artikel ini menjadi artikel utama, diunggah pada Kompasiana.com
Comments