Kebahagiaan Memberi di Saat Sulit

 

Ketenangan bukanlah berdiri di bawah payung ketika hujan, namun ketika kita mampu berbagi. 

(gambar ilustrasi pixabay.com)

Hari itu hari keberuntunganku. Dua minggu sebelum keberangkatan ke Medan, saya menandatangani kontrak kerja dengan satu hotel disana.

Tiket pesawat sudah siap. Saya membawa 2 koper besar, isinya selain baju, sepatu, alat-alat kosmetik, juga buku-buku yang cukup tebal.

Tiba di bandara Soekarno Hatta, sebelum menunggu boarding, saya pergi ke kamar kecil. Ketika masuk saya berpapasan dengan seorang wanita muda, berusia 25 tahunan. Tetiba mataku tepat melihat gawai dekat wastafel.

Mataku menyapu seluruh ruang-ruang kamar kecil itu. Saya langsung mengambil gawai, berlari mengejar wanita itu. Sudah pasti miliknya, pikirku. Mataku kembali mencari-cari wanita berkulit putih dengan baju sweater merah.

Tepat dugaanku, dari kejauhan tampak ia sedang membongkar tas tangan. Saya berlari kecil menghampiri, seketika menoleh matanya berbinar, tersenyum lebar karena gawainya ditanganku.

“Arigato gozaimasu Celestine san” katanya sambil membungkuk, setelah berbincang singkat.

Ia bersama suami melancong ke Indonesia dalam group wisata dari Jepang. Bersyukur ia mendapatkan gawainya kembali.

***

Tiba di Bandara Polonia Medan, Daun menjemput kedatanganku. Daun sebagai bell boy di tempat hotelku bekerja. Setelah beberapa menit melihatku, ia tergopoh menuju mobil di parkiran.

Wajah Daun tampak lebih tua dari usianya. Bila ia menyebut 25, saya hampir tak percaya.

Keesokan hari, mulai hari itu dan hari-hari berikutnya, setiap pukul 08:00 tim concierge bergiliran menjemput ke tempatku selama menetap di kota perantauan ini. Termasuk Daun kadang menjemput atau mengantar pulang usai jam kerja.

Ketika memasuki masa pandemi bulan Maret lalu, kita semua seolah tidak siap menghadapi keadaan yang membuat panik ini. Seakan segalanya lancar, berjalan normal. Termasuk strategi hotel dengan marketing plan setengah semester 2020 yang telah disetujui manajemen.

Jalan sepertinya buntu. Hotel terpaksa merumahkan setiap karyawan selama 2 minggu secara bergiliran. Akibatnya upah dibayarkan setengah, tanpa embel-embel uang jasa pelayanan, uang makan bagi sales team, tunjangan pulsa, apalagi bonus. Namun kami masih bersyukur, upah masih dibayarkan.

Melihat semakin parahnya tingkat hunian hotel ketika itu, mata ini seolah takpercaya terhadap angka-angka yang menurun tajam. Tingkat hunian yang diperkirakan sebesar 60%, menukik ke angka 30%. Seluruh group dan MICE tertunda, bahkan digagalkan.

Menghadapi kenyataan pahit ini dengan santun saya mengundurkan diri, kembali ke Jakarta untuk sementara. Ketika itu berharap sampai covid mereda. Toh keberadaan saya takbanyak membantu perusahaan. Pasar sepi.

Namun kami masih saling berhubungan. Pada bulan April, Mei, Juni tingkat hunian lebih jatuh, rata-rata 10%.

Tetiba saya menerima pesan bahwa ayah Daun sakit. Ya, saya doakan cepat pulih.

Seminggu berlalu, ia mengabarkan ayahnya berada di rumah sakit. Dua anak dan istri telah 2 hari kekurangan makan. Beras yang dibeli terkadang bergantung pada tip tamu, kini hampa.

Ia mencari pinjaman kesana kemari tapi tak berhasil. Koperasi simpan pinjam di hotelpun tersendat, ia harus menunggu peminjam lain yang berjumlah ratusan. Wabah mengubah segala kenikmatan dunia.

Tanpa pikir panjang, saya memberi sejumlah uang untuk membeli beras serta bumbu dapur. Paling tidak, sekeluarga bisa makan nasi goreng dengan bumbu. Uang itu hanya sejumlah yang tersisa di tabunganku. Nasehat saya padanya, harus berhemat.

Ceritanya ia menangis saat menerima uang itu. Berhari-hari tiada seorangpun yang memberikan pinjaman. Sebelum wabah melanda, Daun dan keluarganya memang takpernah kekurangan. Upahnya lebih dari cukup untuk menghidupi kedua anak dan istri termasuk ayahnya yang sering sakit-sakitan.

Lampu hijau di bisnis hotel seolah temaram, bak jalan tol tak berujung. Tingkat hunian hotel mencapai titik nadir, sepi, tidak bergairah. Bukan saja pemilik hotel, seluruh karyawan pun meradang.

Tak selamanya mendung itu kelabu. Bulan September, hotel resort mulai diserbu para wisatawan domestik. Promosi staycation digencarkan hotelier guna menarik para tamu. Hotel berbenah diri, menciptakan suasana nyaman dan sehat agar dapat dinikmati keluarga yang rindu suasana baru.

Tingkat hunianpun merayap naik walau hanya 40%. Upah karyawan meningkat menuju 60%, lalu kembali naik menjadi 70%.

Sayangnya pekerja kontrak tiada berkelanjutan, mendadak terputus sebab perusahaan lebih mengutamakan karyawan permanen agar bertahan. Jalan terbaik adalah dengan memangkas karyawan kontrak.

***

Di hari Minggu nan cerah, saya menerima paket dari kurir JNE. Pengirimnya Daun dari Medan. Tanpa kuduga, paket itu berisi pot bunga warna merah cabe dari meja kerja, di kantorku.

Sebelum saya berbenah kembali ke Jakarta, pot bunga itu sengaja kutinggalkan, selain memenuhi koper juga tidak begitu penting walau amat menyesal meninggalkannya. Tanpa kuminta, rupanya Daun ingin membalas kebaikanku.

Pot Bunga berbahan plastik tebal itu pemberian tim marketing di ulang tahunku tahun lalu.

Ternyata bahagia itu sederhana. Dimanapun dan kapanpun selalu ada saja kesempatan berbagi kepada orang lain. Perjalanan hidup yang indah adalah ketika kita mampu menyantuni, bukan menikmatinya sendiri.

(*) Artikel ini menjadi artikel pilihan di Kompasiana.com dalam blog competition.


Comments