Karir Bukanlah Segalanya

 

Mereka tidak perduli bagainmana kamu memulainya, namun mereka melihat bagaimana kita mengakhirinya. (gambar ilustrasi CelestineP)

Cita-cita Tia untuk melanjutkan studi perhotelan di Jakarta akhirnya tercapai juga. Beruntung sang pacar Wito studi di kota yang sama. Telah 2 tahun mereka menjalin kasih.

Wito ketua OSIS di SMA Nusa Bakti, pendiam, penuh kharisma, selalu hormat kepada siapapun. Takheran Wito menjadi pujaan teman-teman wanitanya.

Tibalah hari wisuda, seluruh keluarga berkumpul bahagia merayakan kelulusan Tia sekaligus Wito. Lima hari lalu, Tia mengusulkan  “Kak, apa sekalian kita bertunangan saja?”

Wito tidak menjawab, hanya termenung. Tia menunggu jawaban.

Wito memang tidak siap jika bertunangan. Bukan saja karena alasan finansial, tapi dimana mereka akan tinggal, pekerjaan saja belum ada.

Lalu kata Tia lagi, “Begini, kakak bisa tinggal dirumahku dulu sementara melamar kerjaan”

Aduh, ada-ada saja Tia ini. pikir Wito.

Setelah masing-masing melewati masa kelulusan, mentaripun bersinar cerah. Peruntungan menghampiri Wito. Ia diterima bekerja sebagai pegawai di Kantor Pajak setelah melalui berbagai test. Orang tua Wito sangat bangga padanya, begitupun orang tua Tia.

Beberapa bulan kemudian, keinginan agar meminang Tia datang menggebu. Mungkin karena Wito merasa telah sanggup mandiri, tanpa bergantung pada ayah dan ibu. Wito bahkan mampu membiayai seorang istri bila ia menikah sekarang.

“Ya sudah nak, sekalian acara perkawinan saja” Begitu pesan ibunya.

Enam bulan berikutnya hari pernikahanpun digelar. Tia sendiri yang memilih tanggal cantik di hari bahagianya, 16062016, 16 Juni 2016.

Acara berlangsung meriah. Tia tampak anggun, Wito terlihat gagah. Memang pasangan ideal, para tamu kagum.

Ayah Tia memiliki tanah luas yang ditanami tanaman buah nenas. Jika panen tiba, biasanya 2 truk penuh berisi buah dikirim ke berbagai kota di Kalimantan. Keluarga yang kaya raya, namun demikian mereka tetap rendah hati. Mereka bersyukur diberikan rejeki melimpah.

Waktu berlalu cepat sekali. Impian Tia bekerja di Hotel Luxury yang berlokasi di Bogor menjadi kenyataan. Ia dipercayakan sang bos menjadi asisten manajer. Hotel Luxury adalah hotel ke-2 baginya setelah mengundurkan diri dari Hotel Celestial selama 3 tahun bekerja di Jakarta.

Keduanya tampak bahagia menjalani hari-hari penuh kasih. Namun kerinduan akan momongan belum juga diberi oleh Sang Khalik.

“Kak, aku tadi dipanggil Pak Arfan kekantornya” ujar Tia saat makan malam

“Lalu..?”

“Ya, katanya bulan depan aku dipromosikan sales manager”

“Ya bagus dong, kerja saja yang bener” Wito menyahut

Bagi Wito, bukanlah suatu kejutan, toh selama ini segala urusan keuangan telah terpenuhi.

Belakangan ini memang Wito sering kedapatan murung. Terkadang ingin menyendiri, entah apa penyebabnya. Seperti ada sesuatu yang sirna.

Masa berganti, bulan berganti bulan, mereka melaluinya dengan penuh syukur.

 “Kak, ada kabar gembira nih”

“Apa itu?” sahut Wito

“Bos kasih aku mobil, jadi kakak bisa pakai mobilku”

Selama ini memang Tia pergi ke tempat kerja mengendarai mobil hadiah perkawinan dari ayahnya. Sementara Wito mengendarai motor. Wito bukan tidak mampu membelinya, tapi jaraknya yang hanya 15 menit dari rumah memilih memakai motor. Toh hari Sabtu atau Minggu bisa naik mobil Tia.

Selain mobil, ayahnya memberikan hadiah rumah berukuran 120 m2 yang lama tidak ditempati.

Kesibukan Tia di hotel Luxury luar biasa, menyita waktu kebersamaannya dengan Wito. Akhir pekan yang biasanya waktu untuk berduaan, kini Tia harus berada di hotel.

Akhir pekan menyisakan cucian baju yang menumpuk, Wito lah yang mengerjakan. Kebersihan rumah, kamar, tanaman anggrek kesukaan Tia, kini tiada lagi mendapat perhatian seperti sebelum ia sibuk menjadi sales manager.

Wito yang penyabar ini mendapat berkah yang diidamkan, suatu hari ucap Tia “Kak, ini hasil lab tadi pagi”

“Oh, puji Tuhan, selama ini doaku didengarNya” gumam Wito sambil mengangkat kedua tangan, bersyukur.

Akhirnya atas kesepakatan berdua, mereka mengambil pengasuh bayi, walau kandungan Tia masih kecil.

Pekerjaan rumah tangga, memelihara tanaman, mencuci baju, semua dikerjakan Inah sambil menunggu bayi dalam kandungan Tia lahir.

Tiba hari yang ditunggu-tunggu, lahirlah bayi manis. Suasana berganti ceria.

Tiga bulan berlalu, selama masa cuti melahirkan, Tia sibuk mengatur makanan agar tubuh yang melebar itu kembali semula. Sehari-hari hanya kebutuhan dirinyalah yang dikerjakan.

Bayi mungil dalam asuhan Inah, semakin lama semakin dekat dengannya.

Tiga bulan sudah, Tia kembali bekerja sedia kala. Tingkat hunian di kota itu cukup tinggi. Apalagi Hotel Luxury yang memiliki kamar ukuran 54 m2 dengan harga wajar, kolam renang yang bagus, spa yang nyaman, membuat hotel ini selalu penuh.

Sebagai Sales Manager, Tia cakap menangani pekerjaan ini hingga suatu hari Manajemen mempromosikan Tia menjadi Asisten Direktur tim penjualan. Gaji meningkat disertai fasilitas tambahan.

Tentu saja Wito senang. Namun waktu Tia tersita untuk pekerjaannya.

“So, are you married with your hotel?” kata Wito dengan nada suara tinggi

“Yah gimana dong kak, kerjaan ini gak bisa kutinggal, hotel kan 24 jam” kata Tia, ketus

“Lalu, kamu kerja untuk siapa dek?”

“Gini deh, Adek resign saja, kasihan Nera gak ada yang jaga!”

Tia terkejut, Wito menyuruhnya berhenti kerja secepat mungkin. Tia akui, hampir seluruh pengeluaran keluarga memang dari gajinya. Bayar gaji pembantu, Inah pengasuh bayi, ke salon, kosmetik, baju, sepatu, tas, urusan wisata. Lalu bagaimana bila ia mengundurkan diri.

Dibanding gaji Wito yang cukup untuk kebutuhan sehari-hari, pampers, susu, bensin, beras, lauk pauk, lalu bayar listrik.

Sebulan setelah permintaan Wito agar resign, Tia masih asyik menekuni pekerjaannya. Kemarahan Witopun memuncak setelah kedapatan bayi Nera yang dikasihinya demam tinggi. Inah minta pulang kampung 2 hari lalu. Marah, sedih, menangislah ia sejadi-jadinya.

Wito ingin Tia seperti yang dulu, penurut, sederhana, setia, bukan sombong, sok pintar, sok cantik, sok sibuk, tengil.

Sambil memeluk bayi Nera, ia berdoa agar Yang Kuasa meluputkan dari kesukaran ini. Ya kami memang membutuhkan uang Tuhan tapi kami tak mau keluarga ini hancur oleh karena ketamakan.

Uang hanya memabukkan orang. Orang keblinger karena uang.

Tetiba dari dalam rumah Wito melihat mobil Tia. Sang sopir keluar mobil sambil membawa seluruh alat-alat kantor, baju jas Tia, pot tanaman janda bolong dari meja kerjanya, bantal kursi di kantornya

“Kak, mulai hari ini aku mau masak makanan kesukaan kakak”

“Jadi, adek sudah resign?”

“Sudah kak, owner kasih mobil ini untuk kita, katanya pakai saja semau kita. Kalau ku sudah siap bekerja lagi, dia welcome katanya kak”

“oh..” lirih Wito


*Artikel cerpen ini menjadi artikel pilihan pada Kompasiana.com

Comments