Hari ini 19 December 2020 genap 4 bulan saya menjadi Kompasianer. Terima kasih pada Kompasiana – Beyond Blogging yang telah menjadi tempat menuntut ilmu, berliterasi.
Banyak perubahan pada diri saya
setelah mengenal forum terbesar ini. Secara pribadi lebih menghargai karya
tulis Kompasianers, lebih bersikap arif, toleran, lebih bersikap santun dan yang
terdasyat yaitu dapat mengekang diri untuk tidak mengritik.
First of all, tulisan ini datang
dari hati terdalam, bukan mencari pengagum, bukan pula supaya dipuja puji. Saya
tulis apa adanya saja, menurut kata hati saya.
Sebagai penulis pemula, saya
rajin membaca para kompasianers, mulai penulis perdana hingga tulisan VVSP,
very very quality person. Jika saya membaca, saya membacanya hingga tuntas.
Prinsip saya, membaca untuk mendapat ilmu. Terkadang tulisan mahasiswa lebih
menarik.
Sambil menyelam minum air, saya
pasti berikan rating walau sebenarnya tulisan itu menurut saya amburadul, maaf
ya, ini kan menurut pendapat saya. Bisa jadi menurut pembaca lain amat bagus,
namun saya masih memberi rating, agar penulisnya bahagia karena sayapun senang
kalau semua orang bahagia. Nothing wrong
with this. Tak payahlah.
Bukan berarti tulisan saya super,
tidak. Saya gemar membaca sejak kecil, paham tulisan berbobot atau tidak, namun
tidak jago menulis. Karena itu saya belajar menulis.
Karena terlalu rajin memberi
rating, saya menjadi ‘korban’ tombol ‘tidak menarik. Ketika kehadiran tombol berwarna
abu-abu ini menjadi perbincangan kompasianers, jari ini terpeleset. Saya
dijadikan artikel ‘mengapa tulisan saya tidak menarik” dari seorang penulis.
Jalan satu-satunya saya meminta
maaf, tiada niatan saya membuat rating buruk itu. Namun terlanjur telah
terekspos. Nama Celestine Patterson saya ganti Patter. Ketika itu timbul rasa
trauma terpeselet ulang. Akhirnya saya harus merajinkan diri membaca
artikel-artikel agar nama saya kembali dikenal.
Akibat ‘terpeleset itu, saya
absen 2 minggu. Bagaimana tidak terpeleset, tombol yang berdekatan dan
(mungkin) saya membacanya sambil rebahan.
Pelajaran yang berharga. Sejak
saat itu, saya selalu buka lap top walau hanya membaca.
photo
Pertama menulis, saya
menghabiskan waktu 7 hingga 8 jam tanpa jedah. Dua bulan berikutnya dibutuhkan
5 jam waktu untuk menulis. Belakangan ini saya sanggup melakukannya 2 jam tapi
belum tentu juga bagus. Saya hanya merasakan kelancaran menulis saja, kualitas
konten biarlah pembaca yang menilai. Untuk itu saya tak melewatkan tulisan Bang
Khrisna Pabichara, Pak I Ketut Suweca, Romo Bobby, para professor, ilmuwan,
cendikiawan yang tulisannya patut dijadikan contoh.
Dengan latar belakang dunia
perhotelan, saya menulis materi yang benar-benar saya pahami. Ketika pertama
kali masuk kriteria artikel utama, 3 dari 5 artikel utama menyangkut dunia
kerja hotel. Semuanya berisi kritik terhadap kondisi hotel. Selanjutnya saya
merasa terpuaskan setelah menulis curahan hati yang terkubur itu. Saat itu, saya
berjanji untuk tidak menulis lagi perihal kritik, keburukan operasional hotel,
kejadian horor lainnya karena hal ini membuat saya tidak nyaman. Saya merasa
menguliti, menelanjangi hotel-hotel.
Tulisan
itu diantaranya adalah kacamata sales marketing terhadap hotel, Sang ahli waris
hotel, Tim Kecil yang Kompak
Akibat dari keputusan ini, saya
mencoba menulis sebuah cerpen. Adakah yang salah dari tindakan saya ini? Sila
tuliskan dalam kolom komentar ya bapak/ibu, saya nantikan, terima kasih.
Kompasianers senior itu jarang
blogwalking. Mereka yang selalu berada dalam headline, terpopuler, artikel
utama jarang membaca tulisan saya lalu memberi rating. Hanya beberapa saja,
dalam hitungan jari. Padahal saya pasti membaca tulisan mereka dan memberi
rating. Apakah karena sudah pasti artikelnya banyak dibaca orang ya?
Sedangkan saya perlu membaca 80
tulisan Kompasianers bila ingin mencapai 100 viewer saja. Hal ini menjadi
pemicu agar terus rajin menulis. Mungkin tulisan saya monoton, pembaca bosan.
Tak payahlah, saya kan masih belajar.
Bersaing dengan mereka bak
pungguk rindukan bulan, perlu jam terbang serta wawasan luas. Bagi pemula
seperti saya, mendapat tulisan pilihanpun sudah beruntung. Apalagi perlu
membagi waktu antara pekerjaan dan blogging.
Memang orang yang rajin, tekun,
cerdas akan mendapat tempat. Pada akhirnya keahlian, kehebatan Kompasianers
dapat dipertaruhkan pada ajang bergengsi Kompasianival. Tahun ini diadakan
secara virtual. Yang agak gaptek malas mengikuti, maka jangan gaptek, terutama
saya. Gaptek itu gagap teknologi.
Semua ini berawal karena pandemi.
Kesempatan menempa ilmu, berliterasi memunculkan kaum intelektual yang cerdas,
membentuk insan bertakwa, berakhlak baik, berkarakter unggul, tahu menghargai
sesama, bertoleransi, saya temukan di Kompasiana.
Mengakhiri tahun 2020, kepada
Manajemen Kompasiana, para admin, pembaca budiman yang merayakan hari natal,
saya mengucapkan selamat menyambut hari natal dan tahun baru 2021. Biarlah
damai selalu menghampiri kita semua.
Salam hospitality,
Comments