(ilustrasi Pixabay)
“Jadi, gimana sayang?” Tanya Endro berkali-kali.
“Yah, tunggulah mas, ku tanya
abah, emak dulu” Jawab Rina
“Kabarin segera ya sayang,
soalnya waktunya mepet nih” Pesan Endro
Rina sebenarnya agak malas juga
meluluskan permintaan Endro, bekas manajernya itu. Ia memohon agar Rina ikut
bekerja di hotel baru yang Endro pimpin.
Hotel Charlotte memang akan
segera tuntas pembangunannya. Tiga bulan lagi memasuki masa pre opening.
Seluruh manajemen telah tersusun termasuk kepala departemen. Kecuali Endro,
sang hotel manajer belum memiliki sekertaris. Posisi itu sengaja dikosongkan
untuk Rina.
Untuk kesekian kalinya, kembali
Endro memimpin hotel pre-opening. Kali ini ia berencana mengajak sekertaris,
Rina dari hotel sebelumnya.
Endro memaksa Rina agar bekerja membantunya.
Mengapa tidak? Endro selalu bergantung pada Rina. Mereka saling mengenal sejak
3 tahun lalu. Bukan saja Rina pandai namun ia cermat mengatur segala keperluan
Endro, baik urusan bisnis maupun urusan pribadi.
“Kamu pasti suka rumah ini, sayang”, ujar Endro sambil mengusap
rambut di kening Rina. Keduanya menuju perjalanan ke rumah sewa yang akan
ditempati Endro. Seperti biasa Endro selalu meminta pendapat Rina.
“Sayang, kamar kita viewnya kolam renang, kamu bisa renang kapanpun”
Sepanjang jalan Rina diam saja,
sibuk dengan gawainya. Ada sesuatu yang takdapat diungkapkan, antara bahagia, kalut
dan galau.
Seandainya abah, emak tidak
menjodohkanku, pasti tidak segalau ini, pikirnya.
Berada disisi bos setiap waktu membuatnya
jatuh hati. Gayung bersambut, Endro pun sangat mencintai Rina, sekertarisnya.
Bentrokan dalam hatinya tak dapat dibendung kala putri kecil Endro sering
datang bersama istrinya ke hotel.
Rina membantu seluruh keperluan
Endro dan keluarganya. Terkadang ia makan di mall bersama istri Hendro, ke
tempat senam, ke tempat spa.
Rina sangat trampil menyimpan
rahasia ini sedemikian rapih. Iapun membungkus apik di hadapan istri Endro.
Dibandingkan Hera, istri Endro, memang
Rina jauh lebih ayu, apalagi dengan balutan rok mini dengan kakinya yang putih
lenjang.
Tiada seorangpun tahu hubungan
mereka bahkan sopir pribadi yang selalu membawa Endro kemanapun. Hingga
akhirnya memutuskan berpindah hotel ke luar pulau. Endro siap berpetualang
kembali, kali ini bersama Rina.
Di ruang tengah rumah.
“Mas, duduk sini deh”, pinta Rina.
“Begini mas, hmm…hmm”
“Ada apa sayang, masalah serius
nih?”, tanya Endro
“Tapi janji, jangan marah ya Mas”
pintanya
“Abah sama emak sudah sepakat mas,
Rina mau dijodohin” ujar Rina
“Siapa dia?” mata Endro tak
berkedip
“Dia masih saudara jauh Rina sih
mas”
“Lalu, kamu pikir gampang Rin, mas
dah siapin semua supaya kamu betah disini” ujar Endro berang
Lalu keduanya terdiam. Menatap
lantai yang sama.
“Mas, coba pikir deh, Rina kan feel guilty juga sama Mba Hera” Endro
merasa dihakimi
Endro tidak menunjukkan amuknya,
ia membelai Rina, katanya “Tapi kamu sesekali bisa kunjungi mas disini kan?” Rina
mengangguk.
Tiga minggu terlewati, kebosanan
mulai menerpa Endro di kota perantauan itu. Memikirkan Hera dan putri kecilnya,
juga bayangan wajah Rina kerap datang di pelupuk matanya.
***
Endro membolak-balik undangan
perkawinan Rina di mejanya. Pikirannya hanya pada Rina. Hatinya berkecamuk,
bimbang, antara datang dan tidak ke acara nikahan.
“Selamat datang, Pak Endro” para
undangan yang sebagian besar hotelier dari berbagai kota menyalami Endro, istri
dan putri kecilnya.
“Terima kasih Pak Endro, sudah
datang” ujar pengantin pria
Seketika mata Endro menatap heran
“Edi, Edi Sudiro yah?”
“Iya, Endro? Endro Pamungkas?”
Pengantin pria balik bertanya
“Wah, ternyata elo Di” Keduanya
berangkulan.
Edi kawan Endro semasa SMA.
Mereka bukan kawan akrab, justru musuh lamanya di sekolah, gegara Endro merebut
pacar Edi, Riri.
Sesi kedua terulang kembali,
pikir Endro
Tampak Rina mesam-mesem, tersenyum
bahagia. Akankah ia berjumpa Endro kembali?
(*) Tulisan ini menjadi artikel Pilihan di Kompasiana.com
Comments