Money is only a tool (foto Pixabay gratis)
Ketika krisis melanda Indonesia tahun
1998, hotel dimana tempatku bekerja yang baru beroperasi 2 tahun, masih memberikan
pro rata uang service sebesar Rp. 275.000 per karyawan.
Disaat semua hotel di kota itu telah
memangkas gaji karyawannya, hHotel yang berlokasi di Jalan Dago ini tetap berkibar.
Tentu saja karena sokongan kuat anak perusahaan dalam group ini.
Krisis ekonomi 1998
Positifnya pada krisis
1998, tiadanya PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) di hotel ini. Pembayaran gaji masih tetap lancar meskipun uang
jasa pelayanan (service charge) sangat minim dibandingkan sebelum krisis.
Semasa krisis, jasa
perbankan menawarkan aplikasi kartu kredit secara masif. Syarat yang mudah
dan cepat menjadikan jumlah anggota melambung. Dengan modal KTP dan slip gaji, nasabah akan cepat disetujui.
Alhasil saya pun memperoleh 3
kartu dengan jumlah agunan sebesar Rp. 30 juta serta dua kartu masing-masing Rp
15 juta.
Masing-masing kartu dari Bank C, M dan A.
Ini terjadi tahun 1999.
Seluruh kartu kredit ini diperoleh
tanpa sepengetahuan suami. Jadi, senang-senang saja menggunakan kartu-kartu
itu.
Tetiba krisis melanda. Sontak, saya tak sanggup membayar cicilan semua kartu.
Terasa penat ketika dihadapkan
masalah finansial. I really hate
financial problem! Hendak bercerita pada sang suami, kecut juga, takut kena
amuk. Jika kudapat selesaikan sendiri, kenapa tidak, pikirku.
Bom itu akhirnya meledak juga,
ketika saya dihantui masalah ini hari demi hari. Hingga suatu hari, saatnya memang
harus tersingkap. Saya bercerita padanya, tujuannya memohon untuk dibayarkan semua
tagihan itu.
Duh! Berat rasanya, tapi tiada
lagi yang dapat saya perbuat untuk menyelesaikannya. Saya terjepit keadaan.
Resiko ditanggung sendiri, bukankah begitu?
Dengan wajah iba, tapi bersuara tegas
katanya:
“Give me all your cards!”,
“Don’t ever, ever to have another business without my approval, promise? ” ujarnya sambil menggunting semua kartu.
Dengan wajah menunduk saya
berjanji, takkan mengulang lagi. Namun semringah juga karena ia tuntaskan
hingga diangka nol.
Ada 2 kesalahan telah saya
perbuat. Pertama saya tidak jujur pada suami dengan memiliki kartu kredit tanpa
sepengetahuannya.
Kedua, perilaku konsumtif
berakibat lepas kendali dari kebiasaan shopping. Rasanya ingin saja jalan-jalan ke Mall, dine-out, hang out, melancong.
Bahkan dapat disebut candu.
Pelunasan kartu kredit
Dengan membebaninya pembayaran
total Rp 60 juta dimasa krisis, bukanlah angka yang kecil saat itu. Upah
bekerja sebesar Rp 4,5 juta di tahun itu, taksanggup menutupi pembayaran.
Sejak terbelah dua masing-masing
kartu itu saya tak pernah memilikinya lagi hingga saat ini. Artinya 21 tahun
berlalu, bertahan dari godaan itu.
Pernah terbersit keinginan
memiliki, namun saat teringat petuah itu membuat saya berpikir ulang. Seperti
beberapa waktu silam, penawaran dari berbagai bank, selalu saya tepis.
Bagaimana jika keluar negri? Banyak bank memiliki aplikasi bertransaksi dengan mudah, yaitu melalui kartu debit.
Mengantongi lembaran merah Rupiah, membeli dollar Amerika atau dollar Singapore, bila dompet takmau tambun. Gunanya manakala mesin ATM macet, menjual dollar langkah yang cepat.
Kesulitannya saya tak dapat melakukan
transaksi secara online melalui website. Pada kebanyakan situs memerlukan kartu
kredit Visa, Master Card sebagai pembayar.
Contohnya membeli domain blogspot,
ya tak perlu. Seberapa urgent sih untuk kepentingan itu? Masuk member Kompasiana saja, pembayaran bisa
dilakukan melalui transfer debit. Tak mau menjadi member pun bisa, artinya
gratis.
Bila sangat memaksa, vraag aan echtgenoot, artinya njaluk karo bojo, hehe
Tiada hutang, tiada beban
Cara kolot ini mungkin terdengar
kadaluwarsa, bersebrangan dengan gaya hidup masa kini. Hal positifnya, saya tak
pernah dihantui oleh hutang. Kemanapun dapat diakukan melalui transaksi debit.
Kalau pun perlu simpan sedikit uang saja dalam dompet.
Barangkali saya memang kuno,
jadul, tapi saya lega. Sejak pagebluk ini, tidak serupiahpun saya berhutang
walau pemasukan berkurang. Yang dapat
saya lakukan setelah kartu-kartu itu terbelah dua, ya hanya menabung.
Tiada hutang dan jangan berhutang apapun bentuknya, ini prinsip. Jika kita melatih kebiasaan ini, maka anda akan merasa tak nyaman pada awalnya. Namun setelahnya, kita merasa lega, tiada beban.
Anda boleh memiliki kartu kredit
asalkan cerdas dan cermat menanganinya. Ini berlawanan dengan kebiasaan borosku.
Belakangan ini, pay later dari aplikasi
Traveloka menaikkan jumlahnya 10 kali lipat.
Pancingan ini membelalakan mata. Kenapa tidak. Namun,
ingat petuah lama, ya bijaklah menggunakannya. Jika tak dapat membayarnya kelak, tepis dahulu
keinginan melancong.
Kisah ini atas pengalaman pribadi. Semoga berfaedah. Percaya saja, tiada kata terlambat untuk melakukan hal positif.
Dan jangan lupa, selalu berdoa
agar pundi-pundi selalu terisi.
Salam hospitality.
Comments