"Mati Gaya" Akibat Senior Kurang Gaul

 

"Mati gaya" akibat senior kurang gaul (ilustrasi Pixabay getty images)

Namanya Hilary. Ruang kerjanya di sudut menghadap jalan raya. Jadi kalau suntuk, dia buka tirai lalu ngopi.

Ruang kerjaku berlawanan dengannya. Jadi kami tidak saling mengintip.

Saya baru mengenalnya sejak CEO menyuruhku bergabung kedua kalinya di hospitality management itu.

Seminggu pertama, semua laporanku dibaca Hilary karena ia seniorku di kantor.

Semua kolega mengakui bahwa ia cerdas, pintar. Namun wanita berparas cantik ini bergaya unik, aneh, ganjil, kuno, atau apalah kata sejenis itu.

Hilary gak pernah gaul. Jangankan bergaul, ngobrol saja amat jarang. Padahal pekerjaan baruku ini menuntut banyak diskusi dengannya.

Ah, serba salah. Namun saya mesti mengikuti CEO, menciptakan suasana nyaman dalam bekerja.

Suatu hari saya memuji pakaiannya. Hari itu ia mengenakan jeans hitam dan kemeja merah. Ia terlihat segar. Biasanya selalu dalam lilitan scarf dan gaun panjang.

“You look good, nice shirt,” kata-kata pujian meluncur spontan.

“Hm..” ia bergeming. Tiada senyum bahagia. Saya mati gaya, lalu kembali ke ruanganku.

Jam makan siang, jangan harap ia mengajak kita walau BM, bayar masing-masing. Saya penasaran, tanya sana sini, siapa tahu ada sedikit info tentangnya.

“Yah, begitulah. Dia gak gaul. Gak usah basa-basi sama dia!” tutur Dea, akunting manager.

“Oh..”

Tujuh hari terlewati, sikap Hilary tetap sama. Dingin dalam pergaulan. Baru pertama kali inilah saya mengenal pribadi yang dingin dan beku bagai es batu.

Sekali omong, kita bisa mati kutu. Kata-katanya tanpa tedeng aling-aling, tajam, setajam silet. Langsung ke tujuan dan irit. Konon sudah 2 kolega resign karena tak tahan.

Senyum gak pernah, apalagi candaan. Menyapa jarang, apalagi ngobrol. Seakan kantor miliknya.

Kita kan di dunia hospitality, Sob! Kok perangai kurang sejalan. Amat kontradiktif.

Kena batunya

Suatu ketika, Pak Amir pemilik hotel di wilayah Sumatra menelpon CEO.

“Sir, jangan suruh Hilary datang kemari. Saya minta yang lain saja,” itu permintaannya. Konglomerat itu enggan didatangi Hilary yang bete, jutek.

Pak Amir terus terang enggan bertemu Hilary. Kalimat selanjutnya sederet keluhan terhadap sikapnya yang arogan.

“Gak bisa itu. Orang asing yang bekerja di Indonesia, harus bisa bahasa Indonesia,” begitu tutur Pak Amir pada bos.

Hilary kepala batu, malas belajar bahasa. CEO yang juga asal Perancis saja, paham dan lancar berbahasa walau terbatas bahasa pergaulan.

Hilary memang senior di kantor, tapi kami merasa tidak semangat didekatnya. Entah jaga image atau karena pribadi yang introvert.

Sikapnya yang sombong itu tidak memberi aura positif di kantor. Ia pantang menerima bantuan. Sampai-sampai ia buang sampah sendirian, makan siang sendirian, beli kopi instan ke toko di lobi sendiri.

Gaya Hilary yang irit bicara ini membuat komunikasi terhambat. Hilary seolah jadi batu sandungan.

Semua tahu, ia cerdas dan dapat diandalkan. Namun kurang gaul, terkesan sombong.

Komunikasi yang tersendat ini berujung pada komplain berat dari pemilik salah satu hotel di Pulau Jawa. Dua business prospect gagal diraih.

Alasannya mirip dengan Pak Amir. Enggan dilayani Hilary. Jadi yang maju, kalau bukan Venty, pasti diriku.

Bos mencak mencak tapi masih berbaik hati. Hilary dipindahkan sebagai revenue manager, tidak lagi business development.

Di sana, dirinya tidak memerlukan diskusi panjang dengan kolega karena semua dalam bentuk laporan. Teman setianya yaitu computer di hadapannya.

Menghadapi senior di kantor memang gampang-gampang susah. Apalagi hasil rekrutan bos.

Jika dibiarkan, dapat merusak bisnis dalam genggaman, menghilangkan prospek bisnis miliaran.

Senioritas itu tidak cukup mengandalkan kepintaran. Perilaku, sikap positif juga sangat dibutuhkan. Perangai yang positif dalam pergaulan akan membentuk kematangan pribadi.

Kematangan pribadi akan terwujud jika seseorang supel bergaul. Tidak egois.

Celoteh Dea yang tidak perlu basa-basi, tidaklah benar. Masakan komunikasi dalam tim terputus.

Atas pengalaman itu, menurutku seorang senior setidaknya:

a. Pintar, cerdas, harus lebih menguasai bidang pekerjaan.

b. Berkepribadian matang (mature).

c. Dapat mengarahkan (direction)

d. Tempat bertanya

Keempat syarat di atas sudah cukup membentengi tim kerja dan perusahaan.

Hilary hanyalah kisah satu dari sekian banyak seniorku yang unik. Hingga kini, tiada seorangpun yang tahu dimana ia menetap selama di Jakarta, kecuali sang sopir taksi.

Wanita Perancis ini telah kembali ke negaranya sebelum masa pandemi melanda negri. Semoga sukses menyertainya.

Salam hospitality.

 

Catatan: Nama-nama disamarkan

Comments