Ayah dan Anak Perempuan

 

My father didn't tell me how to live. He lived and let me watch him do it

(photo ilustrasi, source IG ndaruRanuhandoko)

Barangkali hubunganku dengan ayah, berbeda dengan siapapun. Kalaupun ada yang mirip, pasti ayah yang lahir di jaman sebelum kemerdekaan atau beberapa tahun setelahnya.

Sosok disiplin, bahkan teramat disipiin kepada kami berlima anak-anaknya. Anak perempuan tak boleh keluar rumah setelah pukul 06 petang. Jika diijinkan pergi, saya harus meyakinkan ada kawan menjemput ke rumah. Kemana dan tujuan apa. Itu salah satu peraturan.

Ada kisah lucu-lucu sedih karena aturan disiplin itu. Saat kami di meja makan, Adikku harus memakan habis makanan dipiring. Ayah akan duduk menunggunya sampai habis sampai kapanpun. Karena terlalu kenyang, sampai ia tertidur di meja makan. Namun ayahku tak marah.

Menurut biography, kakekku dari ayah adalah seorang abdi dalem di Yogyakarta. Kemudian ayah menikah dengan seorang wanita Jepang, ibuku yang bernama keluarga (surname) Yamaguchi.  Keluarga besar ibu masih ada disana hingga sekarang.

Ku teringat Ketika nenek wafat, ia mewariskan beberapa tanah kepada ke 4 anaknya termasuk ayah sebagai anak tertua. Namun ayah membagikan kepada semua adik-adiknya, kecuali ia sendiri tak menginginkannya.

Selalu disiplin

Ayah memang seorang sosok yang lembut hatinya, tetapi sangat ketat dalam hal disiplin.

Masa kecilku dengannya sangat berbeda dengan sosok ayah pada umumnya. Ia bersikap mendidik ketimbang memanjakan.

Pelajaran yang kukesalkan ketika kanak-kanak, saya harus membaca holy bible. Setiap hari, pukul 18:00, satu jam. Duduk manis dan saya membacanya. Tak boleh absen.

Tapi ayahku jarang sekali marah, ngomel atau bersungut-sungut. Dengan sikapnya ini, membuat kami segan untuk memberi alasan apapun.

Karena kepandaiannya beberapa bahasa asing, ia bergabung dengan satu foundation dari Amerika. Cita-cita tertingginya adalah berkecimpung dalam bidang edukasi. Di kemudian hari, menjadikannya pendiri satu institute di Bandung sekitar tahun 1989.

Saya banyak mewarisi hampir seluruh hobi dan kebiasaan ayah. Urusan melancong adalah prioritas. Karena hobi ini, ia sanggup kemanapun seorang diri. Apabila Ibu merasa lelah, ia membiarkan ayah pergi denganku melancong.

Tak pernah memanjakan

Ayah yang lebih kusukai sebagai tempat bertanya segala pengetahuan ketimbang bermanja dengannya. Ibu tempat bermanja namun ayah sebaliknya.

Mungkin terdengar seperti sosok ayah yang kaku bagi jaman now. Saya lebih suka mengadu pada ibu daripada ayah. Namun sesekali ia mengajakku kerumah kawan-kawan bule agar bermain dengan anak-anaknya.

Di kala kesukaran menerpa dalam pekerjaan, justru kuingat pesan ayahku. Ia kerap memberikan semangat ketika kanak, yang tersimpan dalam ingatan hingga kini.

Peraturan di Rumah

Anak lelaki dilarang memasak, anak perempuan tak boleh keluar rumah lebih dari pukul 06:00 petang. Duduk tak boleh kaki bertumpuk ketika berbicara dengan orang tua. Makan tak boleh berbunyi, Makan dilarang sambil jalan atau berdiri. Setiap pukul 18:00 berkumpul di rumah. Itulah peraturan rumah.

Yah, namanya jaman dulu kan begitu. Jadi kaki berpijak pada dua jaman. Satu jaman, pendidikan ketat yang sangat kontradiksi dengan jaman now.

Pecinta buku

Ayah sangat perhatian pada buku-buku yang kubeli. Setiap kali ia membelikan buku-buku kesukaanku. Buku berjilid seperti Life, National Geographic. Juga koleksi buku-buku berbahasa Belanda, German, Perancis memenuhi rak buku. Kami memiliki hobi yang sama. Baginya tanpa buku hidup ini kosong. Sine libris vita lacuna.

Bergaul dengan siapapun membuatnya banyak dikenal. Mulai dari penjaga sekolahku hingga kawan dari berbagai negara selalu berkumpul bersama, bertukar pikiran. Kala itu masih kanak, mereka sering mencubit pipiku.

Hobi menulis

Ayahku senang menulis. Buku kamus hukum “Terminologi Hukum English – Indonesia”, itulah satu-satunya buku yang pernah disusun. Kamus bagi para mahasiswa yang masih terpakai hingga sekarang.  Ucapnya ketika itu, sero sed serio, terlambat tetapi sungguh-sungguh.

"Are you planning to follow a career in law, Miss Celestine? Ask my dad. "No I'm not, I'm helping to do some good in the world (photo CelestineP)

Satu hal yang tak dapat kupenuhi setelah ayah meninggalkan dunia ini adalah keinginannya agar saya menjadi lawyer. Walaupun latarbelakang studi hukum, terperangkaplah saya di dunia perhotelan.

Conditio sine qua non, adalah prinsip hidupnya, artinya perjuangan itu suatu sarana, sesuatu yang tidak boleh tidak ada. Syarat mutlak jika seseorang ingin hidup bahagia.

Walau Ia telah tiada, saya bersyukur mempunyai ayah yang mampu mendidik, mampu hidup di tengah masyarakat, berdisplin, dan terpenting  the fear of the God  is the beginning of knowledge.

Ia meninggalkan bekal yang bernilai. Diamonds are my father and mom.

Topik pilihan Kompasiana kali ini adalah rekaman kenangan semasa bersamanya. Ku tertegun beberapa saat, mengenang peristiwa yang tak terlupakan di sepanjang hidup.

Father’s day bagiku, bila kulihat kepiting rebus dan buah alpukat kesukaannya.

I’m as his blueprint.


To read more please click Description & content

Tulisan ini ditayangkan pertama kali di kompasiana.com/celestinepatterson dengan judul Ayah


Comments