Sejak kumelihat perempuan kecil
itu, entah mengapa ia selalu menyita perhatianku bekerja. Pertama mengenalnya,
ia biasa-biasa saja. Tetiba seperti ia mengamuk, terusik.
Entah anak siapa, selalu
berkelintaran di ruang kantor hotel yang baru kutempati sejak dua hari lalu. Telpon
berdering berulang-ulang. Kubiarkan saja
sebab jam kantor telah usai. Kuangkat telpon, terdengar anak kecil menyapa “halo, halo..”
Tertebar suara disekitarnya
berisik, melengking.
Ah, anak-anak selalu main telpon
dari kamar, pikirku.
Keesokan hari ia menelpon
kembali, diwaktu yang sama. Pekerjaan yang perlu dituntaskan menyebabkan pulang
larut hari itu. Biasanya pukul 20:00 sudah di kamar. Belum lagi tiba tugas
sebagai Manager on Duty (MOD), menyapa para tamu di lobby.
Dua minggu telah berlalu, kumasih
belum menyadari suara riuh dari penelpon. Dan anak kecil itu selalu menelpon
disaat kusendiri.
Suatu hari Ela kawan sekantor, bercerita
tentang perempuan kecil yang sering berlari-lari di ruang kantor. Kantor
marketing ini memang besar, didalamnya terdapat 3 ruangan kecil. Kumenempati
satu ruangan kecil dan 2 ruangan
ditempati sales manager.
Ela kerap bertemu anak ini.
Tuturnya, ia berlari kesana kemari, tertawa-tawa sambil bermain dengan boneka
mickey mousenya.
Anak kecil ini selalu
memperlihatkan dirinya kepada setiap orang, sehingga kami semua tak sing lagi
dengannya. Karena kami sering terganggu, sang pemilik hotel berinisiatif
membuat penolak. Tempat disudut luar ruangan itu akahirnya dijadikan tempat
untuk sesajen.
Suatu malam, kami berdua sedang asyik
berdiskusi, tetiba telpon berdering. Ela mengangkatnya dengan suara mode
speaker. “halo, halo, kamu belum pulang?”
Tiga kali ia mengucapkan kalimat
sama. Kami langsung berkemas, pulang.
Sebelum saya tempati ruang kantor
itu, Pak Budi, hotel manager pernah bercerita seputar kisah dunia gelap disekitar
hotel. Ia takmau saya terkejut dengan ceritanya. Nyatanya, memang setiap hari
sangat mengganggu kami. Semacam terror dari dunia lain.
Karena serangan ketakutan terus dilancarkan
kepada seluruh staff di ruang itu. Nira
- seorang team kami memilih berdamai dengan anak kecil itu. Setiap kali
kami terlambat pulang, ia memberikan uang kertas di tempat khusus itu. 1o ribu,
kadang 20 ribu. Kemudian, anak itu pergi.
***
Bulan berikutnya, tiba giliranku
tugas malam atau manager on duty (MOD). Seperti biasa setiap MOD harus tidur di
kamar hotel dan berhak makan minum gratis selama menginap.
Tiba giliran malam itu, saya harus
tinggal di Suite Room. Saya sanggupi saja padahal malas juga tidur disana.
Selain kamar terlalu besar, juga jarang ditempati tamu.
Kamar itu bersatu dengan kamar
suite yang lain. Jika kita masuk, harus melewati satu pintu besar menuju ke 2
kamar suite yang terpisah di dalamnya.
Harga kamar dijual IDR 2,8 juta
permalam di tahun 2010 an. Kamar mewah. Jarang sekali tamu membelinya, kecuali
tamu penting pasti tinggal disitu. Selain mahal juga terlalu besar bila hanya
ditempati 2 orang.
Setelah selesai memeriksa seluruh
outlet hotel, saya menuju kamar.Tugas hari itu telah selesai. Waktu menunjukkan pukul 21:00. Saya rapihkan alat-alat mandi pribadi, mandi lalu berbaring.
Perlahan, seseorang mencoba
membuka pintu kamar. Tapi rasanya sulit mengganti posisi tidur untuk menengok.
Kali ini saya terbangun karena
suara bising dan gemuruh disebelah kamar. Sayup-sayup terdengar celoteh dan
tawa anak kecil. Semakin dekat, semakin keras suara itu.
Kataku mengusir, “hey, kamu kok
ikuti aku? Jangan ganggu!” Sekilas ia memainkan si mickey dan langsung lenyap.
Kulipat tangan berdoa, agar roh
itu tak mengganggu lagi. Keesokan pagi buta kuperiksa guest list di sistem
computer. Siapa saja tamu yang berada sekitar kamarku, jangan-jangan anak itu
menggangu tamu lain.
Siangnya, sebelum waktu
check-out, kulihat coffee/tea maker bergerak. Sangat jelas terlihat oleh kami berdua ketika staff resepsionis
menemaniku.
***
Akhir pekan tiba, bertiga dengan
kawan sekantor kami pergi makan malam di restoran kecil. Sang pemilik restoran
telah tinggal bertahun-tahun disitu, rumah makan kecil. Jaraknya sekitar 50
meter dari hotel.
Kami berbincang ringan
seputar anak kecil yang sering
bermain-main di hotel. Dahulu, tanah hotel itu adalah lokasi makam. Anak kecil
itu tak pernah meninggalkan tempatnya. Ia hanya ingin menempati tempat itu
walau kuburnya sudah lenyap. Cerita sang pemilik restoran.
***
Tak terasa memasuki bulan ke-3 di
kota itu. Tiba masa cuti 4 hari, saya
sempatkan pulang kampung ke Johor Bahru.
Saya minta dipanggilkan seseorang
pemijat (massageur) seperti biasa. Sudah kebiasaanku, tapi kali ini saya undang
seorang emak, seorang ahli pijat terkenal karena bertenaga lebih kuat dibanding
pemijat lain.
Mak Siti, perempuan paruh baya,
mulai memijat tubuhku. Perlahan ia mulai cakapkan sesuatu, padahal kumalas juga
menjawab pertanyaannya.
“Makcik, terdapat kanak di sini ni”
sambal memijat bagian punggung kananku.
“Apa maksud awak?”
“Please wait, saya tanggalkan dahulu’, ujarnya
“Dia tidak mau menggangu, makcik, dia cuma mau dekat” katanya lagi
Tampaknya telah dua bulan, anak
itu mencengkam di punggungku, sejak tiba di kota tempatku bekerja. Mak Siti
baru saja mengatakannya. Sayapun bercerita kejadian yang menggangu terus
menerus di kantor.
“Pantas, punggung terasa berat, Mak” kataku
Kisah nyata ini terjadi beberapa
tahun silam ketika hari-hari hanya terbuai gemerlap keinginan duniawi. Ketika
kita melepas pakaian rohani, ketika kita tak dekat padaNya. Kenakan selalu
pakaian rohani disetiap langkah.
Sucikan tempat dimana kita
berada: kantor, tempat tidur di hotel, kamar mandi umum, kursi,,,,
Kabarnya perempuan kecil itu masih disana,
entah sampai kapan.
To read more please click Description & content
*Artikel ini menjadi Artike Pilihan di Kompasiana.com
Comments