Anak kecil itu

 

Gambar ilustrasi. Source Wolipop detik.com

Sejak kumelihat perempuan kecil itu, entah mengapa ia selalu menyita perhatianku bekerja. Pertama mengenalnya, ia biasa-biasa saja. Tetiba seperti ia mengamuk, terusik.

Entah anak siapa, selalu berkelintaran di ruang kantor hotel yang baru kutempati sejak dua hari lalu. Telpon berdering berulang-ulang.  Kubiarkan saja sebab jam kantor telah usai. Kuangkat telpon, terdengar anak kecil menyapa “halo, halo..”

Tertebar suara disekitarnya berisik, melengking.

Ah, anak-anak selalu main telpon dari kamar, pikirku.

Keesokan hari ia menelpon kembali, diwaktu yang sama. Pekerjaan yang perlu dituntaskan menyebabkan pulang larut hari itu. Biasanya pukul 20:00 sudah di kamar. Belum lagi tiba tugas sebagai Manager on Duty (MOD), menyapa para tamu di lobby.

Dua minggu telah berlalu, kumasih belum menyadari suara riuh dari penelpon. Dan anak kecil itu selalu menelpon disaat kusendiri.

Suatu hari Ela kawan sekantor, bercerita tentang perempuan kecil yang sering berlari-lari di ruang kantor. Kantor marketing ini memang besar, didalamnya terdapat 3 ruangan kecil. Kumenempati satu ruangan kecil  dan 2 ruangan ditempati sales manager.

Ela kerap bertemu anak ini. Tuturnya, ia berlari kesana kemari, tertawa-tawa sambil bermain dengan boneka mickey mousenya.

Anak kecil ini selalu memperlihatkan dirinya kepada setiap orang, sehingga kami semua tak sing lagi dengannya. Karena kami sering terganggu, sang pemilik hotel berinisiatif membuat penolak. Tempat disudut luar ruangan itu akahirnya dijadikan tempat untuk sesajen.

Suatu malam, kami berdua sedang asyik berdiskusi, tetiba telpon berdering. Ela mengangkatnya dengan suara mode speaker. “halo, halo, kamu belum pulang?”

Tiga kali ia mengucapkan kalimat sama. Kami langsung berkemas, pulang.

Sebelum saya tempati ruang kantor itu, Pak Budi, hotel manager pernah bercerita seputar kisah dunia gelap disekitar hotel. Ia takmau saya terkejut dengan ceritanya. Nyatanya, memang setiap hari sangat mengganggu kami. Semacam terror dari dunia lain.

Karena serangan ketakutan terus dilancarkan kepada seluruh staff di ruang itu. Nira  - seorang team kami memilih berdamai dengan anak kecil itu. Setiap kali kami terlambat pulang, ia memberikan uang kertas di tempat khusus itu. 1o ribu, kadang 20 ribu. Kemudian, anak itu pergi.

***

Bulan berikutnya, tiba giliranku tugas malam atau manager on duty (MOD). Seperti biasa setiap MOD harus tidur di kamar hotel dan berhak makan minum gratis selama menginap.

Tiba giliran malam itu, saya harus tinggal di Suite Room. Saya sanggupi saja padahal malas juga tidur disana. Selain kamar terlalu besar, juga jarang ditempati tamu.

Kamar itu bersatu dengan kamar suite yang lain. Jika kita masuk, harus melewati satu pintu besar menuju ke 2 kamar suite yang terpisah di dalamnya.

Harga kamar dijual IDR 2,8 juta permalam di tahun 2010 an. Kamar mewah. Jarang sekali tamu membelinya, kecuali tamu penting pasti tinggal disitu. Selain mahal juga terlalu besar bila hanya ditempati 2 orang.

Setelah selesai memeriksa seluruh outlet hotel, saya menuju kamar.Tugas hari itu telah selesai.  Waktu menunjukkan pukul 21:00. Saya rapihkan  alat-alat mandi pribadi, mandi lalu berbaring.

Perlahan, seseorang mencoba membuka pintu kamar. Tapi rasanya sulit mengganti posisi tidur untuk menengok.

Kali ini saya terbangun karena suara bising dan gemuruh disebelah kamar. Sayup-sayup terdengar celoteh dan tawa anak kecil. Semakin dekat, semakin keras suara itu.

Kataku mengusir, “hey, kamu kok ikuti aku? Jangan ganggu!” Sekilas ia memainkan si mickey dan langsung lenyap.

Kulipat tangan berdoa, agar roh itu tak mengganggu lagi. Keesokan pagi buta kuperiksa guest list di sistem computer. Siapa saja tamu yang berada sekitar kamarku, jangan-jangan anak itu menggangu tamu lain.

Siangnya, sebelum waktu check-out, kulihat coffee/tea maker bergerak. Sangat jelas terlihat oleh  kami berdua ketika staff resepsionis menemaniku.

***

Akhir pekan tiba, bertiga dengan kawan sekantor kami pergi makan malam di restoran kecil. Sang pemilik restoran telah tinggal bertahun-tahun disitu, rumah makan kecil. Jaraknya sekitar 50 meter dari hotel.

Kami berbincang ringan seputar  anak kecil yang sering bermain-main di hotel. Dahulu, tanah hotel itu adalah lokasi makam. Anak kecil itu tak pernah meninggalkan tempatnya. Ia hanya ingin menempati tempat itu walau kuburnya sudah lenyap. Cerita sang pemilik restoran.

***

Tak terasa memasuki bulan ke-3 di kota itu.  Tiba masa cuti 4 hari, saya sempatkan pulang kampung ke Johor Bahru.

Saya minta dipanggilkan seseorang pemijat (massageur) seperti biasa. Sudah kebiasaanku, tapi kali ini saya undang seorang emak, seorang ahli pijat terkenal karena bertenaga lebih kuat dibanding pemijat lain.

Mak Siti, perempuan paruh baya, mulai memijat tubuhku. Perlahan ia mulai cakapkan sesuatu, padahal kumalas juga menjawab pertanyaannya.

“Makcik, terdapat kanak di sini ni”  sambal memijat bagian punggung kananku.

“Apa maksud awak?”

“Please wait, saya tanggalkan dahulu’, ujarnya

“Dia tidak mau menggangu, makcik, dia cuma mau dekat” katanya lagi

Tampaknya telah dua bulan, anak itu mencengkam di punggungku, sejak tiba di kota tempatku bekerja. Mak Siti baru saja mengatakannya. Sayapun bercerita kejadian yang menggangu terus menerus di kantor.

“Pantas, punggung terasa berat, Mak” kataku

Kisah nyata ini terjadi beberapa tahun silam ketika hari-hari hanya terbuai gemerlap keinginan duniawi. Ketika kita melepas pakaian rohani, ketika kita tak dekat padaNya. Kenakan selalu pakaian rohani disetiap langkah.

Sucikan tempat dimana kita berada: kantor, tempat tidur di hotel, kamar mandi umum, kursi,,,,

Kabarnya perempuan kecil itu masih disana, entah sampai kapan.


To read more please click Description & content

*Artikel ini menjadi Artike Pilihan di Kompasiana.com

Comments