(picture pixabay.com)
Saat memasuki gerbang 2021 memang
tiada hingar bingar petasan dan kembang api. Hanya satu, dua petasan di
lingkungan rumah.
Maklumlah wabah covid-19 belum
reda. Bahkan kasus baru bukan menurun melainkan angka penderita melambung
hingga surat ini kubuat.
Sangkaku bisa kembali sedia kala,
namun akhir belum tiba. Terpaksa kami jalani kembali seperti tahun lalu.
Ketika kududuk di beranda, tetiba
TV menyiarkan kabar pesawat Sriwijaya Air SJ182 dari Jakarta menuju Pontianak
jatuh di Kepulauan Seribu. Jantung berdegup, karena banyak kawan di sana. Hati
turut berduka.
Para penolong dari Basarnas
membantu pekerjaan mereka mencari di lautan kedalaman 21 meter. Sejak pagi
hingga petang tiada henti memberikan yang terbaik bagi keluarga penumpang.
Beberapa anak-anak ingin bertemu
sang ayah di Pontianak, gagal memeluknya. Sang Ayah menangis, berduka, tiada
kesedihan teramat dalam selain kehilangan keluarga yang dicintai.
Ayah sang pramugari Gita,
menangis tersedu, menahan tangis kesedihan, hatinya pilu saat menerima anak
perempuan tercinta dalam peti kayu. Akupun turut berlinang air mata
menyaksikannya di TV.
Ia tidak sendirian, ada 64
keluarga berduka dan jutaan saudara mereka turut sedih.
Berbagai teori dimunculkan.
Akhirnya penemuan black box akan menjadi jawaban.
Belum usai masa perkabungan,
tetiba masyarakat perumahan di Desa Cihanjuang Sumedang dirundung duka. Sabtu
tanggal 9 Januari lalu tanah longsor menimbun 28 saudaraku dan 9 orang
dinyatakan hilang.
Rumah-rumah tertimbun, menyisakan
duka bagi keluarga, tetangga dan seluruh rakyat di negri ini.
BNPB (Badan Nasional
Penanggulangan Bencana Nasional) membantu pencarian. Tim SAR dikerahkan. Terima
kasih Tim, keberadaanmu sangat dibutuhkan.
Delapan hari kemudian, gempa melanda
Majene, Mamuju di Sulawesi Barat. 56 Saudara kita meninggal dunia. Ada yang
terluka berat dan sebagian dirawat di rumah sakit.
Pergerakan orang-orang dan
kerumunan menjadikan berita kasus baru covid-19 menjadi kasus terbanyak
tertanggal 16 Januari 14.224 orang, 253 kematian hanya dalam sehari.
Apakah ini belum puncaknya? Epidemiolog
berujar melambungnya jumlah kasus baru disebabkan banyak yang tidak terdeteksi.
“Kita kebanjiran Bu” tulis pesan Rani di
WhatsApp
“Apa Ni?, banjir? lho kok Kalsel banjir?
Jawabku
Seingatku Kalimantan indah
panorama hutannya, diliputi hutan nan hijau, udara bersih bahkan di tahun 2020
kebakaran hutan dapat ditanggulangi dengan cepat.
Walhi (Wahana Lingkungna Hidup)
mengabarkan penyebab banjir karena penebangan hutan yang kian meningkat dari
tahun ke tahun.
Sungguh tragis bila benar demikian.
Tidak hanya curah hujan tinggi juga alasan botaknya ladang kelapa sawit guna
kepentingan ladang bisnis.
Kantor pimpinan kota roboh,
kabupaten lumpuh. Jalanan ditutupi air coklat hampir menutupi atap rumah hingga
2 meter dalamnya.
Ratusan ribu orang dievakuasi ke
tempat yang lebih aman. Sekelompok anak-anak bermain suka ria. Mereka belum
mengerti arti kesukaran.
Bantuanpun tiba, baju, makanan.
Stadion menjadi tempat pengungsian menunggu
air surut.
Januari masih berlangit kelabu.
Tahun berganti namun bagai masa tiada berubah.
Daratan, lautan, udara, hutan, gunung,
semua milik Sang Pencipta. Manusia harus memelihara dan merawat dengan baik.
Keseimbangan alam yang terganggu menjadi penyebab kesukaran bagi kita. Apakah
kita memanfaatkannya untuk kelangsungan hidup dengan benar?
Gunung Semeru mulai menumpahkan
lahar dingin, hujan abu membuat abu-abu tanaman dan genting rumah-rumah.
Merapi batuk, meluncurkan lava
pijar. Masyarakat di sana telah bersiap menghadapi kondisi ini. Apalagi pendaki
gunung dilarang mendekat.
Beruntun peristiwa terjadi begitu
saja, doakan saja semua saudara-saudara kita di sana. Bantulah sebisamu
Anakku, Ini bukan mimpi nak,
bukan!
Ini nyata!
Biarlah kesukaran berlalu.
Saudaraku bersabarlah, masih ada asa dalam penantian
Comments